Skip to content
Surat Tak Sampai – Relift Media

Surat Tak Sampai Bacaan non-fiksi romansa

author _Anonim_; date _1917_ genre _Romansa_; category _Surat_; type _Nonfiksi_ Aku pikir dia tak kunjung paham. Tapi dia berbeda dari apa yang disangka oleh orang-orang di sekitarnya. Dia mencoba berpikir dan mencoba memahami ketika mereka menyangka dia tidak berpikir atau merasa sama sekali. Ada banyak dari dirinya yang masih tinggal di sini. [Setahun lalu seorang gadis sangat cantik dan juga cerdas bertunangan dengan seorang pemuda yang sedang menjalani tahun terakhirnya di sebuah universitas besar Amerika. Sete­lah lulus si pemuda pergi ke New York. Tentu saja surat-surat berlalu banyak dan cepat di antara kedua muda-mudi ini. Dan kemudian suatu hari si gadis menyadari bahwa hal-hal yang sebetulnya paling dia ingin katakan kepada pemuda itu tidak dia katakan. Jadi dia mulai menulis kepadanya surat-surat yang tidak dia kirim. Surat-surat itu telah didapatkan oleh The Home Journal dan mereka salah satu dokumen manu­sia paling luar biasa yang para Redaktur pernah baca. Kami akan mencetak mereka—“The Letters She Never Sent”—dalam tiga seri, tahun ini. Entah kau seorang gadis atau wanita dewasa, mereka akan menarik perhatianmu secara mendalam—Editor The Ladies’ Home Journal.]
“Aku jadi merasa hampir tak kewanita-wanitaan karena merasakan hal-hal yang kutulis dalam surat-surat ini. Seakan-akan aku terlalu tak sabar. Kami wanita tidak seharusnya seperti itu. Kami seharusnya menunggu—dengan sabar dan rendah hati. Aku harus tampak demi­kian—bahkan bagimu. Dalam surat-suratku kepadamu, aku tidak boleh mengisyaratkan pikiran-pikiran hakiki ini. Aku bisa memberitahumu rasa cintaku, tapi aku tak boleh memberitahumu apa yang didambakan rasa cinta itu. Tapi dalam surat-surat ini, ditulis di kamarku yang begitu mengenalku, aku bisa menulis semua yang ku­rasakan dan kurindukan dan kudambakan dan kuimpi­kan, dan aku akan melakukannya.”

I

25 Juni Yang tersayang: Stephen, kau pergi baru beberapa hari, tapi rasanya sudah sebulan. Mungkin memang begitu. Mungkin kau memang sudah pergi sejak malam itu, empat minggu lalu, saat kau memberitahuku rencana barumu. Pokoknya, dalam memikirkanmu saat ini, pikiranku kembali ke waktu itu. Sekarang sudah larut—hampir tengah malam. Aku sedang duduk di sini di kamarku—kamar yang belum pernah kau lihat. Tapi kamar ini bagian dariku hampir seperti bebe­rapa bilik rahasia dalam jiwaku. Ada banyak bilik rahasia juga yang belum pernah kau masuki, meski kita sudah ber­tunangan setahun—banyak bilik rahasia, Stephen, meski saat kita bertunangan aku sudah berikan kuncinya. Aku tidak bisa berbuat lebih. Setelah itu aku hanya bisa berdiri dan menunggu. Kami wanita harus banyak sekali menunggu! Itu diajarkan ke dalam diri kami sebagai sebuah kebajikan. Itu menyatu dengan kesantunan. Itulah kenapa, walaupun aku pulang dari stasiun dan menulis kepadamu surat panjang seperti yang kujanjikan, aku tak bisa ceritakan semua hal yang ingin kuceritakan. Itulah kenapa aku sedang menulis surat kedua ini yang takkan pernah dikirim. Dengan diriku sendiri se­kurangnya aku bisa berterus-terang. Itu sedikit membantu; tapi, jika kau mau percaya, bahkan sebelum melakukan ini aku harus menurunkan kerai rapat-rapat dan mengunci pintu. Ini adalah kamarku, Stephen sayang, sejak aku kecil. Aku tumbuh di sini—tumbuh dari usia sepuluh sampai dua puluh—masa yang sangat singkat dalam sejarah dunia; tapi bagiku itu terasa lebih panjang daripada semua sejarah yang pernah kupelajari. Dan segala hal terjadi di kamar kecil ini. Apapun yang terjadi di luar, itu tidak benar-benar terjadi sampai aku kembali ke sini di malam hari dan memikirkan semua itu—bahkan dirimu, Stephen. Sampai kau menjadi terbiasa di sini dengan penutup seprai bercorak bunga-bunga matahari kuning besar yang Nenek Pearce wariskan kepada­ku, dan gorden dimiti putih, dan meja rias mahoni tuaku, dan meja tulisku di mana aku duduk sekarang, dan peti kamfer yang menyimpan banyak sekali rahasia indah, dan permadani bergambar dengan mawar hitam dan merah—sampai aku bisa melihat Kau yang sangat besar tepat di sini di antara mereka tanpa gemetar, kau belum benar-benar bagian dariku. Sampai saat itu aku belum bisa mengizinkanmu memandang dari fotomu di atas mejaku kepadaku. Aku tak pernah bilang padamu, tapi untuk waktu cukup lama, bah­kan setelah kita bertunangan, aku biasa menguncimu dalam laci dan mengeluarkanmu hanya sesekali. Ada begitu banyak bagian diriku di sini yang tak bisa kubiarkan kau lihat semua sekaligus. Ada gadis kecil ber­kuncir yang biasa menyelinap ke sini di malam hari dan membaca Scott dan duduk dalam gaun malamnya, bertopang dagu, setelah lilin dimatikan, dan memandangi bintang-bintang di luar jendela, bertanya-tanya apakah masih ada ksatria-ksatria jantan seperti di zaman dulu. Dan dia biasa setengah menyangka melihat seseorang datang berkuda di jalan yang tenang dan diterangi bulan, dan dalam kebutuh­annya dia mencoba keras untuk menciptakan orang itu dari polisi gendut dan tongkat berayunnya. Sungguh konyol, Ste­phen, tapi sungguh indah juga bagaimana seorang gadis kecil berkuncir mengidealisasikan semua pria—bagaimana mula­nya mereka semua masuk ke dalam kesadarannya sebagai tampan dan mulia dan berani, bahkan sebagai orang yang akhirnya mengambil tempat semua orang lain. Luar biasa juga bagaimana di usia itu kebutuhan samar dan redup akan seorang ksatria mulai terasa. Aku yang itu hidup di sini sampai rambutku mulai ditata dan rokku mulai diturunkan, dan dalam selang waktu itu aku mulai menjadi malu-malu. Sebelumnya, jika ksatriaku datang dengan tombak dan perisainya, aku biasa mengangkat jendelaku dan bercengkerama dengannya. Aku biasa berperan sebagai Juliet untuk Romeo-nya. Lalu tiba-tiba aku jadi takut. Entah mengapa atau karena apa, tapi para pria, selain tampan dan mulia dan berani, harus ditakuti. Sayang sekali, bukan, Stephen? Aku bersekolah swasta waktu itu dan bersiap ke per­guruan tinggi. Aku mulai bertemu beberapa pemuda—tidak banyak, karena kami diberi pemahaman bahwa tidak pantas kami berhubungan dengan mereka. Hari demi hari rasanya seolah sebuah penghalang sedang dibangun di antara kami dan mereka. Seolah kami satu ras manusia dan mereka satu ras lain. Padahal semua studi kami adalah tentang pria: sejarah kami, sastra kami, seni kami. Ini aneh sekali. Terasa lebih aneh lagi sejak aku jadi mengenalmu. Aku takut kau bakal menertawakan Aku yang itu yang tinggal di sini selama tahun-tahun itu. Dia sangat pemalu dan canggung, dan diisi dengan banyak pikiran dan kerinduan yang dia tidak pahami sedikitpun. Aku pikir dia tak kunjung paham. Tapi dia berbeda dari apa yang disangka oleh orang-orang di sekitarnya. Dia mencoba berpikir dan mencoba memahami ketika mereka menyangka dia tidak berpikir atau merasakan sama sekali. Ada banyak dari dirinya yang masih tinggal di sini. Lalu datang perguruan tinggi dan kebebasan lebih luas. Gadis yang hidup di sini sejak saat itu seharusnya sudah dewasa. Dia adalah Nona Peggy Pearce. Bagi para pemuda yang dia jumpai, aku menduga mereka menyebutnya rupa­wan. Setidaknya mereka agak perhatian dan senang meng­ajaknya ke pertandingan di stadion dan ke dansa. Selama tahun pertama, Aku yang itu biasa kembali ke sini setelah peristiwa-peristiwa kecil ini, dalam keadaan terengah-engah karena kegirangan. Itu dunia yang luar biasa—serba meng­getarkan. Sering aku bertanya-tanya apakah para pria menyadari betapa menggetarkannya mereka bagi wanita-wanita muda yang dibesarkan seperti aku—seperti gadis rata-rata dibesarkan. Aku tidak berpikir aku terlalu sentimental. Aku tidak abnormal dan tidak pula cengeng. Sejauh yang kutahu aku sepenuhnya normal, tapi aku sangat hidup dan mudah terkesan. Aku tahu aku penuh sentimen, tapi itu sentimen secara abstrak. Aku sedang menjelajahi sebuah dunia baru, dan aku terus-menerus menantikan sesuatu yang aku bah­kan tidak coba analisa. Aku biasa kembali ke sini dan menyi­sir rambutku di malam hari, heran dengan pipiku yang ter­sipu dan mataku yang terang. Tapi aku tak punya hubungan kecil yang bahkan mende­kati romantis, seperti yang gadis-gadis lain bicarakan; aku tidak menginginkan hubungan seperti itu. Tak seorangpun dari pemuda-pemuda yang kujumpai pernah menyangka bahwa mereka memainkan peran tak karuan dalam hidupku. Sebagai individu mereka tidak. Emosi-emosi ini datang dari dalam diriku. Andai kupikir emosi-emosi ini berasal dari sumber lain, aku pasti sudah malu—aku pasti sudah me­nangis. Jadi selama dua tahun Aku yang itu hidup di sini dan kemudian—kau datang. Bagaimana kau kebetulan datang, aku bertanya-tanya? Pertemuan kita begitu sepele sampai nyaris seperti kecelakaan—sebuah pertemuan kebetulan, usai pertandingan Yale, antara kau dan Ben Rogers, dan aku kebetulan sedang bersamanya; sebuah perkenalan, dan bebe­rapa menit kemudian kau ditelan massa lagi. Tapi malam itu saat aku kembali ke sini, insiden itu, di antara siang yang mengesankan, terasa paling berarti. Sebab, bukan sekadar salah satu dari genus pria, seperti Ben Rogers, kau adalah Stephen Hutchins. Ada sesuatu pada tubuh bongsor enam kakimu yang menjadikanmu begitu; sesuatu pada rambut hitam dan mata gelapmu, hidung lurus dan mulut besar tegasmu, yang menjadikanmu begitu. Kau adalah Stephen Hutchins, dan tidak mungkin yang lain. Maksudku, aku tak pernah salah mengenalimu sebagai orang lain. Aku tak bisa melupakan wajahmu dan mengingat nama, atau melupakan nama dan mengingat wajahmu. Andai aku tak pernah melihatmu lagi, aku akan selalu sadar bahwa kepribadian tegas itu—seorang Stephen Hutchins—ada di suatu tempat di dunia ini. Tapi aku punya keyakinan aku akan melihatmu lagi. Malam itu aku bertanya-tanya kapan dan bagaimana. Aku tidak kaget saat beberapa hari kemudian Ben me­minta izin untuk mengajakmu ke rumah. Kau datang, dan karenanya Aku yang lain lagi mulai hidup di sini di kamar ini.

II

26 Juni Stephen yang tersayang: Aku baru saja selesai membalas surat panjang yang kuterima darimu pagi ini, di mana kau menceritakan hari pertamamu di New York, dan, meski aku jujur dengan semua yang kukatakan dalam balasanku, ada begitu banyak yang tak kukatakan sehingga aku harus meneruskan dengan surat lain yang kumulai tadi malam. Aku berniat merobeknya, tapi tidak jadi. Aku berpikir, me­nuliskan pikiranku dan membacanya akan membantu me­luruskannya. Kau menyebutku berani dan kuat. Aku mencoba, Stephen. Dan aku tidak ingin, demi seribu dunia, kau menganggapku sebagai sesuatu yang lain. Tapi jika bagi diriku sendiri aku menjadi bingung dan bimbang, tidak ada yang bisa di­lakukan selain mengakuinya, kan? Itulah tanggungjawab diri yang berat—kenyataan sebenarnya, tak peduli seberapa me­nyakitkan. Kau pernah bilang itu padaku. Semalam saat mataku begitu berat sampai aku tak bisa menahannya terbuka lebih lama lagi—waktu itu pukul dua lewat, Stephen, dan kau ingin aku tidur awal setiap malam—aku sedang mencoba menceritakan seperti apa persisnya jenis Aku yang baru yang hidup di sini setelah pertama kali bertemu denganmu. Mulanya, Stephen, itu adalah jenis Aku yang terpesona. Itu karena, bahkan di awal, kau begitu nyata, begitu konkret. Alih-alih sekadar salah satu dari jenis kelaminmu, kau adalah satu-satunya. Entah kenapa ini begini. Aku tak ingat aku ber­pikir romantis tentangmu. Agak sedikit lama sebelum aku mulai, bahkan bagi diriku sendiri, memikirkan cinta. Tapi malam pertama itu, saat kau berkunjung dengan Ben, aku hampir tak sadar bahwa kau ada di ruangan. Seolah-olah kita berdua saja. Hampir seolah-olah kau seorang diri, dan aku berdiri di kejauhan memperhatikanmu dan mendengarkan­mu. Aku memandang dan mendengarkan sambil menahan nafas, berusaha dengan sadar untuk mengendalikan nafasku dan mataku dan aliran darah yang deras ke pipiku. Karena kau berbeda dan membuatku merasa berbeda. Kau mem­buatku sadar akan jenis kelaminku sendiri. Ya, aku pikir itulah rahasianya. Sampai kau datang, aku juga tidak nyata. Aku Peggy Pearce, tentu, tapi aku salah satu dari segolongan Peggy Pearce. Aku seorang wanita, tapi aku salah satu dari segolongan wanita muda. Aku tidak menyadari suatu identitas istimewa. Aku hidup seperti me­reka semua, berpakaian seperti mereka semua, mempelajari hal-hal yang sama yang mereka semua pelajari, dan dihibur oleh hiburan yang sama. Kami gadis-gadis memiliki dunia kecil kami sendiri sebagaimana kalian pria-pria memiliki dunia kecil kalian sendiri. Ketika kami mencoba-coba masuk sedikit ke dalam wilayahmu, seperti kami pergi ke pertan­dingan dan dansa, itu mengasyikkan, tapi kami menyelinap kembali ke wilayah kami sendiri sebelum kami pergi tidur. Jadi, sebatas yang kutahu atau pedulikan, itu mungkin akan berlangsung selamanya. Tapi Kau! Kau mengeluarkanku dari itu dan memisahkan­ku. Duduk di seberangmu di ruangan itu, seolah-olah dengan satu sapuan lengan besarmu kau menyisihkan semua teman perempuanku dan berkata: “Aku sedang bicara padamu—cuma kamu.” Malam itu, saat aku menjabat tanganmu dan memintamu berkunjung lagi, jari-jariku membara. Aku lari ke kamarku di atas begitu pintu ditutup. Lalu, dalam gelap, aku melepas pakaian dan menyelinap ke tempat tidur dan berbaring terjaga dengan mata terbuka lebar. Aku merasa seperti orang lain. Aku merasa seolah berada di kamar orang lain. Satu kali aku bangkit, menyalakan lilin dan mengangkatnya di atas kepalaku dan melihat-lihat se­kelilingku untuk memastikan aku ada di rumah. Tak ada yang berubah. Tapi begitu aku meniup lilinku segalanya ber­ubah. Maka, jelas, telah terjadi sesuatu dalam diriku. Apa itu, aku baru tahu belakangan. Aku bukan lagi seorang gadis kecil, dan telah menjadi seorang wanita. Aku telah menjadi seorang wanita karena Stephen Hutchins telah memasuki hidupku. Saat aku pergi kuliah keesokan hari aku berpikir aku pasti terlihat lebih serius dan lebih dewasa. Beberapa teman perempuan akrabku bertanya apa aku merasa lelah, dan itu membuat pipiku merona. Aku tidak lelah, tapi aku begitu sibuk dengan banjir pikiran dan perasaan baru yang melanda dari dalam diriku sampai-sampai aku ingin sendirian. Aku sedang berjalan di sebuah dunia baru. Sejak saat itu betapa cepat minggu-minggu berlalu, Ste­phen! Kau berkunjung lagi dan lagi dan lagi, dan karenanya sedikit demi sedikit aku jadi terbiasa denganmu. Dan, meski rasa penasaranku tidak berhenti, aku tidak lagi dibuat kelu olehnya. Pikiran-pikiran yang mulanya memenuhiku dengan perasaan terpesona kini memenuhiku dengan perasaan luar biasa indah. Seiring kau bertambah akrab denganku, kau me­menuhi seluruh dunia baruku dengan keindahan, Stephen. Kau memekatkan birunya langit, emasnya mentari, peraknya bintang-gemintang, wanginya bunga-bunga. Itu adalah se­buah dunia dipersangat, didramatisir, yang ke dalamnya kau menuntunku. Segera aku tidak berjalan sendirian di dalam­nya, tapi bersamamu. Bergandengan tangan kita menjelajah. Itulah cinta, Stephen, sihir cinta menggetarkan pertama. Ketika akhirnya kau melamarku, tak ada pilihan untuk­ku selain mengangguk. Aku tak habis pikir bagaimana se­orang wanita bisa ragu bahwa dirinya jatuh cinta. Itu seperti ragu apakah dia hidup atau tidak; jauh lebih mudah untuk ragu apakah sampai sekarang aku hidup sama sekali. Aku tahu aku bisa melihat kepada gadis-gadis lain, di mana aku salah satu dari mereka belakangan ini, dan heran bagaimana mereka terus memutari lingkaran kecil remeh mereka de­ngan begitu puas. Duniaku menjadi besar dengan begitu tiba-tiba, Stephen! Di mana sebelumnya hanya beberapa jalur sempit terbuka di hadapanku, masing-masing tampak dengan gerbang ter­kunci, kini seribu jalan, lebar dan tak berkesudahan, meng­undangku. Aku merasa seperti itu terutama setelah kita ber­tunangan, karena bagiku ikrar yang kuberikan padamu bagaikan penunaiannya yang sesungguhnya. Pernikahan mendatang hanyalah tetek-bengek. Secara batin aku sudah menikah denganmu. Itu sesuatu yang kupikir tidak kau mengerti, Stephen. Andai kau—
Judul asli : The Letters She Never Sent<i=1DTi0IGSFtVZSpsdBeiczIUTyyZk0euDd 536KB>The Letters She Never Sent
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Februari 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh