Hal dramatis, hal spektakuler, hal heroik, itulah yang mencengkeram si anak; dan dari ciri-ciri film inilah si anak mendapatkan impresinya yang gamblang dan awet; baginya pelajaran moral cerita adalah faktor tak relevan.
Ada tiga ciri film (dianggap sebagai sarana hiburan) yang harus dipertimbangkan serius oleh penstudi etika yang memikirkan kaitan institusi ini dengan kesejahteraan mental dan moral generasi muda. Yang pertama adalah universalitas daya tarik yang dihasilkan oleh film. Statistik yang ada akan menunjukkan bahwa tak kurang dari 20.000.000 orang mendatangi teater film setiap pekan. Tentu saja, banyak dari mereka adalah “pengulang”. Tapi, meski begitu, jumlah individu berbeda yang dijangkau dan dipengaruhi oleh bentuk hiburan ini setiap pekan pasti mencapai jutaan. Di antara jumlah ini persentase besar adalah anak-anak dan remaja. Dan institusi yang berkontribusi pada pengalaman begitu banyak anggota masyarakat, di masa-masa paling mudah terpengaruh dalam hidup mereka, tidak boleh terus dibiarkan tak diteliti oleh moralis.
Ciri kedua dari film yang harus diteliti moralis adalah fakta bahwa saluran daya tariknya adalah mata ketimbang indera-indera lain. Bagi mayoritas orang, impresi visual adalah yang paling gamblang dan paling awet. Dan arti penting dari pertimbangan ini ditekankan oleh keadaan bahwa impresi visual yang tercetak pada pikiran penonton selalu terkait dengan citraan konkret dari karakter paling detil. Terdapat perbedaan psikologis sangat besar antara mendengar atau membaca keterangan pembunuhan, atau penyerangan, atau ketertarikan menggebu-gebu antara dua jenis kelamin, dan melihat hal-hal ini betul-betul digambarkan di layar. Dalam kasus pertama, impresi verbal yang diterima harus diterjemahkan ke dalam citraan visual konkret sebelum fakta-fakta yang dinarasikan bisa benar-benar dimengerti dan signifikan. Dan jika pengalaman lampau si penonton tidak menyediakan citraan demikian, fakta-fakta tidak akan tercetak pada pikirannya secara signifikan atau permanen. Dengan demikian, kebajikan dalam obrolan meja makan dan dalam suratkabar sebagai sarana komunikasi hanya sebatas ini: Mereka memisalkan cakupan dan kedalaman pengalaman sebagai sebuah latar penting untuk informasi yang mereka tanamkan yang kemungkinan besar tidak dimiliki oleh individu-individu belum dewasa. Di sisi lain, film tidak terlalu menuntut pengalaman penonton muda. Itu menyisakan sedikit, jikapun ada, untuk imajinasinya. Berapapun “massa aperseptif” yang tidak dia miliki dipasok kurang-lebih lengkap oleh penggambaran grafis aksi dan peristiwa. Dan karakter gamblang, detil, dan permanen dari impresi-impresi yang dicetak dengan cara demikian pada pikiran belum dewasa merupakan alasan penting kedua untuk memeriksa film secara kritis, dalam kaitannya dengan kesejahteraan remaja.
Namun, ciri paling serius dari film dari sudutpandang pengaruhnya terhadap pikiran dan moral remaja adalah fakta bahwa terlepas dari dominannya anak-anak, remaja, dan kawula muda di antara orang-orang yang menghadiri pertunjukan film, film-film yang diproduksi dan program-program yang disusun sebagian besar mempertimbangkan audiens dewasa. Tentu saja ada pengecualian pada kaidah ini. Beberapa film yang ternyata paling populer di kalangan dewasa sangat cocok untuk anak-anak. Dan di beberapa teater kota kita, program-program khusus anak sedang ditayangkan dalam selang waktu tertentu. Ini tentu langkah menuju arah yang benar. Namun, secara umum, belum dan tidak ada upaya konsisten dari pihak produser atau ekshibitor film untuk membedakan minat dan reaksi pikiran tipe dewasa dan belum dewasa yang diwakili oleh klien mereka. Dan keadaan ini sebagian besar menjelaskan apapun efek tak sehat film terhadap pikiran dan moral generasi muda. Oleh karenanya, mengevaluasi secara kritis institusi ini merupakan pertimbangan urgen.
Akan tetapi, hendaknya dipahami bahwa melakukan serangan besar-besaran terhadap film atau mengingkari bahwa itu memiliki nilai apapun untuk anak-anak dan kawula muda bukanlah tujuan penulis sama sekali. Popularitas universalnya di kalangan muda dan juga tua merupakan bukti mengesankan akan bentuk-bentuk kepuasan intens dan beranekaragam yang diberikannya. Banyak dari kepuasan ini tak diragukan lagi mengisyaratkan minat dan kebutuhan sah, dan karenanya melambangkan nilai nyata. Tapi, bukankah bahaya jika kita menerima fakta nilai-nilai ini secara terlalu tak kritis? Bukankah mungkin penemuan, kejeniusan, kemewahan, keindahan, romansa, kepentingan manusia—yang dilukiskan oleh perusahaan film—berkombinasi untuk memberikan keglamoran pada produk-produknya sedemikian rupa sehingga penilaian kita terhadap nilai riil produk-produk ini cenderung kurang-lebih berbias? Penulis berpendapat inilah persis yang terjadi. Kita, sebagai sebuah masyarakat, sepenuhnya berada di bawah mantra film-film sampai-sampai kita cenderung membesar-besarkan kebajikan mereka dan mengabaikan, atau sekurangnya mengecilkan, kekurangan mereka. Dan perspektif tak benar ini terutama disayangkan dalam kegagalannya untuk menilai dengan tepat pengaruh film terhadap generasi muda. Mari kita lihat apakah kita tidak bisa memperkuat anggapan ini.