Sungguh Sekuleris lebih suka mencari keabadian dalam hati manusia, Sekuleris lebih suka mengakui kekekalan kerja-kerja agung yang terlaksana, kebebasan yang dimenangkan, semua pengaruh itu yang tak pernah bisa mati, ketimbang mendesah untuk kemuliaan remeh nyanyian mazmur dan tekukan lutut yang tiada akhir.
Ada yang bilang “setiap bangsa memiliki pemerintahan yang berhak didapatnya”. Hal yang sama mungkin dapat dinyatakan terkait agamanya, dengan sama benarnya, atau sama tak benarnya. Aku cenderung mempertanyakaan kejujuran pepatah tersebut. Jika dulu kita menerima aksioma semacam itu begitu saja, semua gerakan progresif besar akan sudah mustahil. Namun, kita harus ingat bahwa reformasi politik, agama, atau sosial selalu bermula dari kaum minoritas—reformasi-reformasi itu umumnya diperjuangkan di hadapan cibiran, cemoohan, ketawaan khalayak, dikerjakan di tengah persekusi dan kesulitan, terakhir diselesaikan berkat tekad keras dan pengorbanan diri mulia. Dan ketika reformasi-reformasi atau progresi-progresi besar ini menjadi fakta tak terpungkiri, orang-orang menengok balik dengan gemetar apa yang mereka terima dengan puas dan tanpa dendam, dan jadi memandang sebagai barbar dan jijik apa yang tadinya dianggap wajar dan nyaman. Pembebasan para budak tak bakal pernah tercapai jika keinginan masing-masing budak ditanyakan terlebih dulu. Tahun-tahun panjang perbudakan dan penindasan telah membuat ribuan mereka apatis dan masa bodoh dengan kebebasan. Kalau bukan karena orang-orang semisal Rousseau, Voltaire, dan Montesquieu, Prancis tak bakal pernah melepaskan diri dari penindasan monarki yang menggilas, sementara berkat Mazzini dan Garibaldi-lah, para nabi dan pembebas Italia, lahir titik balik dalam sejarah negara itu. Kebebasan politik dan agama bergandengan tangan—kaum wanita Inggris membutuhkan keduanya. Hari ini mereka meminta hak-hak politik—meminta suara dalam pembuatan undang-undang yang mereka terpaksa patuhi, dan dalam pemungutan pajak yang dipertanggungkan kepada mereka; besok mereka akan melempar belenggu-belenggu takhayul, dan mengirup udara murni kebebasan berpikir keagamaan.
Aku mengarahkan kata-kataku khususnya kepada kaum wanita malam ini, karena kita dengar, dan kuakui dengan sungguh-sungguh, wanita adalah tulang punggung Gereja-gereja Kristen hari ini. Jemaat gereja-gereja dan kapel-kapel kita terdiri utamanya dari para wanita, sementara di antara hadirin dan perhimpunan Pemikiran Bebas, kaum wanita tentu saja minoritas. Sebanyak apapun kita menyesalkan fakta ini, itu tetaplah kenyataan. Dan alasannya tidak perlu dicari jauh-jauh. Berabad-abad pendidikan kaum wanita telah diterlantarkan. Kebutuhan mereka akan progres mental telah diabaikan sama sekali. Gereja, yang berutang begitu banyak pada wanita, selalu bersikeras posisi wanita adalah sebagai budak pria; mengingkari kebebasan intelektualnya, menindasnya dengan rantai perbudakan dan ikatan kejahilan.
Adalah fakta terakui, dan kurasa Kristiani paling saleh atau fanatik sekalipun tidak akan mencoba mengingkarinya, bahwa takhayul telah senantiasa menjadi pembantu kejahilan. Kredo Kristen bermula dari dongeng-dongeng mitologis, para pengikut perdananya diambil dari kelas-kelas tak berpendidikan, guru-gurunya adalah orang-orang buta huruf; para pemujanya sejak saat itu sampai sekarang terdiri sebagian besar dari pria-pria dan wanita wanita yang siap menerima—tanpa pikir—ajaran-ajaran para pendetanya, sementara mereka yang menolaknya biasanya adalah orang-orang telah belajar sains dan fenomena alam. Dan alhasil bid’ah menyebar ke manapun sains belum menginjakkan kakinya, ketidakpercayaan yang jujur berkembang sebanding dengan majunya pendidikan, dan karenanya orang-orang yang dihalangi dari manfaat budaya ilmiah tetap dalam cengkeraman kejahilan dan kelekaspercayaan religi.
Dalam rangka memahami status miskin mental yang sampai baru-baru ini diduduki kaum wanita, penting sekali menengok sepintas ke masa lalu dan mempertimbangkan sebentar malam ini kondisi dan lingkungan kaum wanita dalam Perjanjian Lama dan Baru. Dalam pasal kedua dan ketiga Kejadian, kita diperkenalkan kepada “wanita pertama” yang, menurut riwayat tersebut, diciptakan oleh Tuhan, sebagai semacam pikiran susulan, dari rusuk Adam selagi dia berbaring tidur. Hampir sejak permulaan karirnya dia diajari bahwa dirinya hewan inferior: “Tetapi kamu tetap akan berahi kepada suamimu, dan dia akan berkuasa atasmu” (Kejadian iii:16). Kitab Kejadian lantas menceritakan bagaimana makhluk inferior ini, wanita ini, bercakap-cakap dengan seekor ular (dan rupanya hewan-hewan mampu berbicara di masa luar biasa itu), dan bahwa, menuruti arahan si ular (yang tampaknya jauh lebih tahu soal dunia daripada dia atau Adam), dia memungut sebutir apel dan memberikan satu kepada suaminya, yang “juga makan” dan yang melempar semua kesalahan kepada isterinya, setelah mengendap-endap ke balik pepohonan begitu dia ketahuan, layaknya pengecut.
Sepanjang Perjanjian Lama, kaum wanita diperlakukan dengan jijik. Mereka diperjualbelikan sebagaimana barang-barang dagangan lain. Ribka dibeli dengan benda-benda berharga oleh pelayan Abraham untuk Ishak. Cerita pembelian itu disampaikan dalam Kejadian xxiv:53. Yakub membayar pengabdian tujuh tahun kepada Laban untuk masing-masing dari dua isteri pertamanya (Kejadian xxix:15:28). Dalam pasal 21 Keluaran, dari ayat 7 sampai 10, diberikan izin kepada para pria untuk menjual anak-anak perempuan mereka ke dalam perbudakan. Kita juga mendapati bahwa, dalam banyak kasus, tidak betul-betul ada upacara perkawinan. Sarah menghadiahkan Hagar, pembantunya, kepada Abraham; dalam kata-kata Alkitab, “dia memberikannya kepada Abraham, suaminya, untuk menjadi isterinya”; dan ketika Abraham bosan padanya, dia menyuruhnya pergi bersama anaknya ke gurun, dengan hadiah agung berupa sepotong roti dan sebotol air dari simpanan kekayaannya. Dan ini, kita dengar dalam Kejadian pasal 21 ayat 12, adalah dengan izin tegas dari Tuhan.
Dalam Keluaran xxi:4 diceritakan bahwa bila seorang pria adalah budak, dan menikah semasa perbudakannya, saat merdeka dia harus meninggalkan isteri dan anak-anaknya; dia harus “keluar seorang diri”, sementara isteri dan keluarganya menjadi kepunyaan tuannya. Sedikit lebih lanjut (Ulangan xxiv:1) kita menemukan bahwa setelah seorang pria mengambil seorang isteri, jika dia tidak menyukainya lagi, dia boleh “menulis surat cerai dan memberikannya kepada perempuan itu dan menyuruhnya pergi dari rumahnya”. Setelah dia mengusirnya, si isteri boleh,
jika dia suka, pergi menjadi isteri pria lain; dan karena tidak ada yang dikatakan tentang soal memberinya uang, atau makanan, atau pakaian, kemungkinan besar dia akan harus melakukan itu atau kelaparan. Setelah dibuang terkatung-katung beberapa kali, mungkin juga dia akan lebih memilih kelaparan. Sebaiknya perhatikan pula bahwa si wanita tidak memiliki hak banding. Si suami adalah pendakwah, hakim, dan juri. Dia tinggal menulis kalimat cerainya, memberikannya kepada isterinya dan menyuruhnya pergi ke dunia luas. Para wanita juga boleh dijadikan tawanan perang, diperkosa, dan kemudian dibuang. Arahan-arahan jelas untuk perlakuan seperti ini diberikan dalam pasal 21 Ulangan dari ayat 10 sampai 14. Poligami adalah umum di kalangan kaum-kaum dalam Alkitab; barangkali contoh paling luar biasa dari pria beristeri banyak adalah Solomon/Sulaiman, “manusia paling bijak yang pernah hidup”, yang salah satu perbuatan bijaknya adalah memiliki 700 isteri kelas satu dan 300 isteri kelas dua. Tapi kita tak usah bersandar pada ajaran-ajaran Perjanjian Lama saja untuk menemukan bukti betapa kaum wanita selalu dinilai rendah di zaman Biblikal.