Sungguh menyedihkan bahwa versi ini, yang begitu mudah dipercayai oleh orang-orang yang berpengalaman dengan rutinitas belaka, paling banter biasanya tidak lebih riil atau tidak lebih mungkin dicapai daripada sebuah fatamorgana. Kondisi-kondisi penyakit sosial adalah hasilnya.
Film-film menampilkan hal tak biasa. Industri hiburan yang diinvestasi dengan beratus-ratus juta dolar harus bergantung pada jutaan karcis masuk harian, dan jutaan pelanggan dalam tahap pendidikan kita saat ini tidak bisa diharapkan memiliki selera yang terlatih untuk mengapresiasi sejarah sederhana kehidupan normal. Akibatnya, film-film mengupas ekstrim-ekstrim kekayaan dan kemiskinan, kebajikan dan keasusilaan, keberanian dan kepengecutan, patriotisme dan pengkhianatan, kesuksesan dan kegagalan. Kesuksesan pasti berkaitan dengan kebajikan, sementara kegagalan pasti mengikuti perilaku asusila kecuali jika ada pertobatan menit terakhir. Cerita-cerita urusan biasa dan sehari-hari dimutilasi dalam judul dan isi ketika ditayangkan di layar. Kehebohan bertualang dan romantis diperlukan untuk memuaskan permintaan
box office.
Publik Kita yang Tak Terpelajar
Mungkin ekstrim-ekstrim kehidupan dalam film-film yang sukses secara finansial tidak selalu perlu dijadikan sandaran. Beberapa pengecualian telah tercatat. Namun, yang seperti itu terlalu sedikit di masa lalu untuk menyediakan film-film berimbal bagus dalam persentase cukup besar. Membaca sepintas sinopsis-sinopsis singkat beberapa ribu film yang ditayangkan dalam beberapa tahun terakhir mengungkap fakta bahwa skenario biasa dapat didaftarkan sebagai “drama masyarakat ultra-modern”, “melodrama western”, “drama komedi western”, “drama romantis”, “drama bengkok”, “drama rumahtangga segitiga”, “komedi romansa”, “drama komedi misteri”, “drama hati”, “komedi masyarakat atas”, dan semacamnya. Deskripsi-deskripsi yang diberi tanda kutip ini diambil secara sembarang dari
Motion Picture News Booking Guide, Volume VIII, yang memuat daftar beberapa ratus film terpenting yang dikeluarkan antara 1 September 1924 dan 1 Maret 1925. Sinopsis-sinopsis yang diberikan dalam panduan buking ini—dan mereka diduga sangat membantu para ekshibitor dalam memilih pemutaran untuk audiens tertentu—hampir semuanya dimulai dengan pernyataan pengklasifikasi serupa yang sampai taraf tertentu mengindikasikan sifat produk. Judul-judul juga mengindikasikan apa yang menurut produser diinginkan oleh masyarakat. Sekali lagi aku memilih sembarang dari panduan buking yang sama: “K—the Unknown”, “The Lady of the Night”, “The Lady”, “The Last of Pinto Pete”, “The Last Man on Earth”, “Laughing at Danger”, “Learning to Love”, “Let Him Buck”, “Let Women Alone”, “Life’s Greatest Game”. Ada gunanya siapapun yang tertarik pada pengaruh sosial film mendapatkan satu atau dua terbitan
Booking Guide dan membacanya baik-baik dengan pertimbangan untuk masa kini dan masa depan ideal-ideal Amerika.
Setting film-film ini membantu menjalankan ilusi ekstrim-ekstrim. Los Angeles, San Fransisco, Chicago, Philadelphia, New York, dan kota-kota besar lain memiliki banyak sekali teater mewah dan ramah semisal Grauman’s Egyptian, The Capitol, The Stanley, The Fox, dan lain-lain yang diperlengkapi sama megahnya. Kota-kota dengan populasi sekecilnya dua puluh ribu atau tiga puluh ribu orang memiliki tiruan kecil teater-teater besar. Pelayan-pelayan berseragam, karpet-karpet empuk dan gantungan-gantungan, lobi-lobi berornamen, interior dan setting panggung sangat dekoratif, diketahui umum. Orgel-orgel pipa besar, orkestra penuh sesak, prolog dan “divertisemen” panjang-lebar, membantu menciptakan “atmosfer”, sebuah “atmosfer” yang hanya ada di teater untuk kebanyakan penonton, tapi yang tetap punya daya tarik merangsang untuk para penonton tersebut.
Memperturutkan Standar Palsu
Sering ada tuduhan terhadap fraternitas-fraternitas kampus bahwa mereka mengizinkan para mahasiswa muda berharta terbatas untuk menjadi terbiasa dengan standar hidup dan sosial lebih tinggi daripada yang mereka mampu pertahankan setelah lulus; akibatnya dibutuhkan masa penyesuaian ulang yang tak enak ketika hari-hari kuliah selesai. Organisasi-organisasi fraternitas lain yang menekankan ritual, gelar, dan seragam, hotel-hotel modern, klub-klub, buku-buku, majalah-majalah, dan suratkabar-suratkabar, semuanya membantu kita mengangkat diri kita di atas hal yang menjemukan dan biasa, tapi hanya dalam imajinasi dan untuk sementara. Klub kudapan malam (
supper club) dan aula dansa melaksanakan fungsi yang sama. Begitu pula teater-teater sah. Dengan kata lain, teater film tidak seorang diri menjadi objek tuduhan bahwa rekreasi yang dikomersialisasi sedang menciptakan ketiadaan dan kekoboian penghormatan terhadap nilai-nilai sejati.
Dengan demikian, pentas, buku, majalah, suratkabar, organisasi fraternitas, hotel, klub, aula dansa, dan film bersama-sama dalam memperkenalkan dan menyebarkan standar personal dan sosial jauh di luar jangkauan sebagian besar kita. Tak banyak orang menjadi kaya. Sebagian besar kita tidak cantik, berani, atau seratus persen bajik. Individu bekerja keras untuk sukses, dan biasanya meraih sedikit saja. Keuangan seorang anak dihitung dalam peni atau nikel; keuangan seorang pemuda dalam dolar atau puluhan dolar. Aset petani, bankir, mekanik, dan guru semua dihitung dalam denominasi berbeda. Kesulitan timbul ketika mekanik tahu dan mencoba menggunakan ukuran bankir; ketika pramuniagawati netral meniru saudarinya yang lebih difavoritkan di layar; ketika siswa mengidolakan pahlawan-pahlawan palsu dalam film; ketika ibu rumahtangga capek di dapurnya yang panas dan berbau iri kepada matron kalangan atas yang malas dan banyak dilayani. Teater-teater film ada dekat rumah-rumah kita, harga masuknya rendah, dan topiknya dipresentasikan demikian rupa sehingga bisa diserap tanpa susah-payah oleh orang jenius atau orang tolol. Kita menjadi bagian dari film yang kita tonton, atau film menjadi bagian dari kita. Di antara semua hiburan yang disebutkan, filmlah yang paling sering menampilkan standar-standar mustahil kepada sebagian besar orang dengan daya tarik paling personal dan memikat.
Persaingan sosial di masa lalu adalah persaingan dengan tetangga dan sesama pekerja. Seorang petani dan isterinya yang tidak tahu-menahu gaya kota merasa puas dengan pakaian mereka yang ditambal dan ketinggalan zaman. Ketika pemondok musim panas tiba dengan kreasi-kreasi mereka yang lebih anyar, timbul ketidakpuasan, dan si pasangan desa mengadopsi gaya-gaya kota, kadang dengan biaya besar. Gaya-gaya kota boleh jadi tidak disesuaikan dengan pedesaan. Itu boleh jadi terlalu mahal untuk dompet si petani. Itu kemungkinan besar terobek-robek dalam transisi dari kehidupan perkotaan ke pedesaan. Demikian pula, standar sosial dan ekonomi yang dikembangkan oleh satu kelompok boleh jadi tidak disesuaikan dengan kelompok lain, boleh jadi terlalu mahal untuk kelompok lain, dan kemungkinan besar akan berubah bentuk ketika kelompok lain mencoba mengadopsinya. Tapi ada ribuan orang di negeri ini, tua dan muda, yang dengan sadar atau tidak mencoba hidup sesuai standar yang mereka serap dari kelompok-kelompok lain yang terlihat dalam film-film, kelompok-kelompok yang hidup di bawah kondisi berbeda total dan yang dengannya mereka tidak bisa sukses bersaing kecuali secara kebetulan.
Beberapa dari orang-orang ini bisa saja terbantu oleh penegakan standar-standar lebih tinggi yang mungkin dicapai. Efek diinginkan ini tidak boleh dianggap remeh, walaupun mayoritas harus puas dengan peniruan dangkal. Kecantikan bisa saja menemukan pengganti pada pulasan, lipstik, alis cabut, dan potongan rambut bob yang aneh; fesyen bisa saja ditafsirkan sebagai kebugilan dan kelimpahan perhiasan murah; kekayaan bisa saja berarti penghamburan uang; romansa dan asmara bisa saja menjadi pemerturutan bebas “pesta cumbu” dan hubungan seks tak sah; rumah bisa saja diidealkan sebagai vila dengan pelayan, banyak fungsi sosial, dan pengasuh anak-anak; patriotisme bisa berkembang menjadi fanatisme dan heroisme bisa berkembang menjadi lakon-lakon tribun, sebab jauh lebih mudah massa meniru secara murah daripada menyadari kenyataan.