Jika, tanpa memenuhi kekurangan ini, kita mencoba mengerahkan siswa-siswa kita kepada patriotisme yang sungguh-sungguh luar biasa, mereka akan menyerang kita dengan tuntutan untuk ditunjuki sesuatu yang luar biasa inspiratif tentang Republik Amerika.
Semua orang akan sependapat bahwa patriotisme adalah perhatian yang sangat penting, bahwa sekolah-sekolah negeri bisa dibuat menggalakkannya, dan bahwa mereka dapat dipergunakan untuk maksud ini, bahkan seharusnya dipergunakan demikian. Nyatanya, terdapat kepantasan istimewa dalam upaya merangsang patriotisme di antara murid-murid di sekolah-sekolah ini. Adalah bagian dari tugas sekolah negeri untuk menghasilkan warga yang baik. Di bawah teori pemerintahan kita, sekolah negeri eksis bukan untuk manusia sebagai manusia, tapi untuk melengkapi karakter kewarganegaraan setiap murid, sebab, tanpa pendidikan, dia tidak bisa menjadi anggota badan politik yang aman atau bermanfaat. Hanya ketika ini dipahami dan ditekankan kita bisa membela sistem sekolah kita dari tuduhan umum bahwa itu bersifat sosialistik. Hanya dengan begitu kita bisa menunjukkan hak tegas atas pajak untuk tujuan pendidikan publik. Tercamkan dengan sangat jelas pada kita bahwa sekolah-sekolah kita eksis untuk tujuan publik, dan bahwa mereka gagal sebagai sekolah negeri kecuali jika mereka membantu melayani tujuan ini.
Pertanyaan menarik adalah: Bagaimana hasil bermanfaat tersebut bisa dihasilkan? Menyinggung diskusi kita saat ini dengan lebih tepat, bagamana pelajaran sekolah negeri, yang ditanamkan oleh begitu banyak orang di antara kita, bisa dibuat melayani—dalam derajat setinggi-tingginya—sentimen dan tujuan patriotis sejati pada murid-murid kita, dan melalui mereka pada sebagian besar warga kita?
Keliru jika kita menyangka akan menggapai tujuan ini, sampai taraf yang bermanfaat, melalui oratori 4 Juli atau melalui pembelian dan pengibaran bendera, sesuai tren menyenangkan yang kini begitu digemari. Bahkan, meski sepenuh hati menghargai kebiasaan ini, aku khawatir ada suatu bahaya di era kita kalau-kalau bendera AS akan menjadi sebuah fetish bagi banyak orang. Sebagaimana pengenaan salib belaka tidak bisa menjadikan seseorang Kristiani, begitu pula pengibaran emblem nasional di atas gedung-gedung sekolah tidak akan pernah dengan sendirinya menjadikan kita pemuja setia kebahagiaan bangsa ini. Bukan stars and stripes, tapi apa yang dilambangkan oleh stars and stripes: kebebasan, union/serikat, hak, hukum, kekuasaan untuk kebaikan di antara bangsa-bangsa—mereka inilah pacu sah untuk antusiasme kita sebagai warga negara. Dan dalam membela hal-hal ini dan atribut-atribut terpuji karakter nasional kita lainnya di hari jadi dan di waktu-waktu lain, kita tidak butuh kefasihan pidato yang histeris. Kebenaran apa adanya, yang disampaikan dengan tenang, akan lebih baik. Kalimat-kalimat periodik yang membumbung, retorika bombastis, atletisisme paru-paru yang dengannya Kemerdekaan biasa dirayakan, tapi yang kini telah beralih terutama ke Hari Memorial/Pahlawan dan ke pengibaran bendera, sangat tidak penting.
Lebih tak ada gunanya lagi menanamkan semangat partisan atau seksional, atau mencoba membuat siswa-siswi percaya bahwa kehidupan bangsa bergantung pada berlakunya kebijakan remeh ini atau itu. Dari semua dalih khusus semacam itu, banyak yang harus ditakutkan, nihil hal bernilai yang bisa diharapkan.
Kita memiliki terlalu banyak warga yang mengidentikkan kebaikan partai atau seksi mereka dengan kebaikan bangsa, dan tidak bisa menemukan patriotisme dalam hal apapun yang memusuhi pandangan atau kepentingan kesayangan mereka. Para pemegang obligasi nasional, kita perhatikan, selalu sangat patriotis. Mereka ingin bangsa ini hidup dan makmur; dan aku sudah dengar soal orang-orang di antara mereka yang meragukan cinta negara dari orang-orang lain yang mendesak refunding dengan tingkat bunga lebih rendah, dan penghapusan cepat utang nasional seluruhnya.
Ada orang-orang Protestan yang mengingkari hak orang-orang Katolik, karena buta terhadap fakta bahwa tanah ini secara hukum, sebagaimana secara agama, bukan tanah Protestan; dan ada orang-orang Katolik yang gairahnya untuk gereja mereka membuat mereka secara fatal mengabaikan elemen-elemen publik dan sipil dalam pendidikan yang patut untuk kaum muda mereka.
Sosialis yakin kita tersesat kecuali jika kita menerima sistem miliknya; dan walaupun yakin langkah-langkah evolusi begitu jauh, dia bekerja tak kenal lelah untuk membantu dalam prosesnya. Anarkis tidak melihat harapan kecuali jika negara lenyap total. Komunis ingin kita “memecah-belah dan menaklukkan”. Banyak orang berpikir kemiskinan akan pergi, beserta segala macam penyakit sosial, seandainya kita tidak memajaki tanah saja. Ya Tuhan, selamatkan kami dari semua kepicikan tersebut, entah landasannya geografis, eklesiastik/ gerejawi, politik, atau sosial!
Pun kita tidak mendapat keuntungan apapun dengan meluputkan keburukan-keburukan yang melekat pada politik kita dan pada warga-warga masyhur kita, di masa lalu atau masa kini, atau dengan menggambarkan kemungkinan atau kebajikan negara kita sebagai lebih besar dari sebenarnya, entah secara absolut atau secara perbandingan dengan kemungkinan atau kebajikan bangsa-bangsa lain, atau dengan mengecilkan atau mengingkari bahaya-bahaya sangat serius yang menimpa pandangan politik dan sosial kita. Mempertuhankan Jefferson atau Franklin atau bahkan Washington adalah buruk. Jangan melakukan pemalsuan tentang kaum Federalis, kaum Demokrat, atau kaum Whig lama, entah sebagai semacam fitnah ataupun pemberhalaan. Itu tidak akan ada untungnya.
Orang mendengar banyak sekali pidato menyala-nyala tentang kebesaran negara kita dan institusi-institusinya yang, sekuat apapun negara membangun kepuasdirian nasional, tidak pernah bisa memajukan patriotisme tulen. Tidak ada negara beradab lain di kolong langit ini yang kota-kotanya diperintah seburuk kota-kota kita. Tidak ada negara beradab lain yang dalam pemerintahannya undang-undang ekonomi politik dan keuangan publik dipelajari sesedikit atau ditentang semencolok di negara kita. Metode-metode pemajakan kita bahkan begitu tak masuk akal dan tak adil sampai-sampai jika masyarakat memahami sifat opresifnya, aku yakin pemerintahan kita bakal digulingkan dalam sehari, seperti rezim lama di Prancis. Tidak ada negara lain kecuali Turki yang pelayanan sipilnya sekorup kita, atau di mana kemampuan khusus dipandang seremeh oleh kita dalam seleksi jabatan publik. Di negeri lain di planet ini tidak ada kemiskinan yang begitu lazim atau begitu parah bila diperbandingkan dengan sumberdaya nasional. Sistem pensiun kita lebih mahal dalam dolar dan sen daripada sistem militer terburuk Eropa yang begitu sering dan begitu patut kita sayangkan, dan pengaruh totalnya dalam menciptakan kemiskinan adalah sepuluh kali lebih buruk. Sistem pos kita jauh dari terbaik. Begitu pula organisasi sekolah kita. Begitu pula dan lebih lagi pengaturan elektoral kita, yang untungnya kita baru mulai perbaiki. Biarkan pekerjaan yang baik terus berjalan! Di beberapa negeri lain, aku pikir, keadilan umum antar manusia lebih pasti dan lebih cepat daripada di negeri kita.
Ada ketidakpatutan selanjutnya yang sama-sama kita miliki dengan bangsa-bangsa lain, tidak lebih buruk dari mereka. Di sini, seperti di tempat lain, dalam pengertian yang sangat menyedihkan, kaum kaya bertambah kaya dan kaum miskin bertambah miskin. Dengan kata lain, ambang pintu masyarakat, massa rakyat jelata, yang tidak diberkahi dengan bakat istimewa, seni, keahlian, atau kedudukan, tapi terpaksa mencari nafkah dengan kerajinan-kerajinan dasar, semakin kurang berarti seiring tahun-tahun berlalu. Konflik antara buruh dan modal, yang mengelilingi seluruh cakrawala dengan awan, menghitamkan langit kita juga, dan aku tidak melihat sedikitpun gejala menyingsing pada awan itu.
Sebuah bahaya pertanda buruk, yang khas pada kita sebagai bangsa, menantang kita dalam ukuran negara kita dan kompleksitas peradaban kita. Rasanya aneh bahwa, segera setelah perang sipil empat tahun yang berhasil mencegah pemotong-motongan union/serikat kita, masih saja tidak pasti apakah Negara-negara Bagian ini akan secara permanen melanjutkan bangsa tunggal. Tapi pada saat ini banyak yang merasakan hal yang sama. Sesudah perang kita berharap rel kereta dan telegraf antar seksi, dengan meningkatnya perbauran penduduk dan kepentingan, akan melanggengkan rasa persatuan dalam masyarakat kita yang, sebagaimana sejarah tunjukkan, harus menjadi ciri penduduk bangsa manapun yang ditakdirkan akan memelihara keutuhannya. Ini masih harapan, tapi dengan banyaknya orang yang berpikir, itu sedikit lebih dari harapan. Semangat seksional yang mematikan Roma sedang bekerja dengan kuat di tengah-tengah kita. Itu hampir tidak pernah, bahkan sebelum perang, lebih nyata daripada saat ini. Timur, Selatan, Barat, Tengah, masing-masing bekerja untuk dirinya sendiri seolah itu negara. Mayoritas orang di satu wilayah tidak terlalu peduli pada orang-orang di tempat lain.
Judul asli | : | Patriotism and the Public Schools<i=10-B5Uba5MbJh5VC8BlBYMXKd-nEAQD1y 322KB>Patriotism and the Public Schools (1890) |
Pengarang | : | Elisha Benjamin Andrews |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2025 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |