Skip to content
Patriotisme dan Kemanusiaan – Relift Media

Patriotisme dan Kemanusiaan Bacaan non-fiksi politik

author _F. Melian Stawell_; date _1915_ genre _Politik_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Nafsu agresif ini, yang menguat dan diperkuat oleh ide-ide keliru tugas dan patriotisme, akan menyapu segala hal di depannya, kemanusiaan, nalar, kepentingan diri, keinginan akan kenyamanan, cinta kehidupan. Tak ada hal baik atau buruk menahan suatu kaum sekalinya insting pengorbanan diri dan harapan kekuasaan dalam diri mereka terbangkitkan. Apa sebetulnya patriotisme ini, yang atas namanya hampir semua bangsa-bangsa Eropa kini saling ber­tarung? Itu telah menyebabkan, atau turut menyebabkan, tragedi menggemparkan ini, kubangan keberanian dan kemurkaan ini, yang begitu mengerikan, begitu luhur, dan sekaligus begitu bodoh. Di seluruh dunia barat, berjuta-juta pria dan wanita siap memberikan nyawa mereka dan semua yang mereka sayangi, masing-masing dan semuanya untuk negara mereka. Paling tidak, dunia harus mengalami keseng­saraan tak terukur tersebut bukan karena tiadanya kekuatan spiritual mentah. Ini suatu pelipur dalam kegelapan. Jelas ada cukup heroisme di planet ini untuk menjadikannya sebuah surga, andai saja kita bisa mempersatukan kehendak bangsa-bangsa ketimbang menantang satu sama lain sampai mati. Mengapa mereka harus bertentangan, bangsa-bangsa yang seharusnya memimpin dunia dalam keselarasan? Mengapa manisnya pengorbanan diri harus berubah menjadi pahitnya pembunuhan? Adakah keterdesakan menakutkan yang harus mendorong kita kepada ini? Ada sebuah doktrin suram yang menjawab “Ya” karena ia memandang setiap bangsa, praktisnya, terbatasi pada kepen­tingannya sendiri. Satu-satunya tugas/kewajiban yang perlu dirisaukan warga biasa adalah tugas kepada negaranya; dan demi pertumbuhan kekuatan dan kekuasaannya dia harus siap untuk tak hanya mati tapi juga mengambil nyawa orang lain. Sesuatu seperti ini mendasari konsepsi patriotisme yang lebih kasar di setiap tempat; “Ini negaraku, entah benar atau salah!” adalah seruan lazim; dan di Jerman, sepanjang generasi ini, doktrin semacam itu diajarkan. Tapi begitu itu dinyatakan dengan jelas, akal manusia yang lebih dalam bangkit memberontak. Mengapa, kita bertanya dan kita me­nanyakannya atas nama patriotisme, bangsa mesti dibatasi pada cita-cita hina-dina keuntungannya sendiri? Bukankah keuntungan semua manusia adalah hal yang jauh lebih agung? Dan bukankah keagungan nyata sebuah bangsa ter­hubung dengan pelayanannya kepada hal itu? Sekarang begitu sulit untuk manusia mengingkari ini, karena bagai­manapun manusia punya nalar dan nalar berdiam bersama universalitas, sampai-sampai para patriot perang pun meng­akuinya. Tapi mereka mengakuinya dengan tak sungguh-sungguh dan berbuat sekuat tenaga untuk meniadakannya dengan berasumsi bahwa keuntungan suatu kesatuan paling terlayani ketika setiap seksi melupakan kesatuan dan ber­juang untuk dirinya sendiri. Mudah-mudahan apa yang sedang Eropa derita dapat menjelaskan sedikit kebodohan raksasa dalam asumsi ini kepada imajinasi orang-orang. Bagaimana [asumsi] itu sampai dibuat sama sekali? Melalui kebaikan maupun keburukan dalam diri manusia. Patriotis­me intens dan sempit menarik keduanya: menarik wawasan maupun kebutaan manusia, menarik daya pengorbanan diri maupun kecongkakan remeh yang membuat individu meng­hargai hanya dirinya sendiri dan orang-orang yang serupa dengannya. “Kami, dan hanya kami, adalah Bangsa Pilih­an”—itu, dalam satu atau lain bentuk, telah menjadi seruan perang setiap bangsa yang cenderung pada penaklukan. Tapi nilai nyata patriotisme berasal dari nilai pengembangan diri yang merdeka untuk semua orang bersama-sama dengan sesama mereka; itu berasal dari konsepsi bahwa umat manusia harus tumbuh melalui kerja semua orang, bukan satu individu atau segelintir atau banyak, masing-masing de­ngan nilai unik dan karenanya masing-masing dengan bukan hanya hak tapi kewajiban untuk mengerjakan sumbangsih­nya sendiri. Konflik kehendak mungkin dan memang terjadi dalam pengerjaannya, tapi konflik tersebut tidak mungkin krusial, dan bahkan semua orang yang meyakini suatu per­himpunan sekurangnya meyakini sebuah pendekatan me­nuju solusi damai, sebuah solusi yang bergantung pada keadilan pikiran individu yang memadai untuk mempertim­bangkan orang-orang lain di samping dirinya. Kita jadi tenang saat mengingat bahwa ide-ide funda­mental ini telah disampaikan sekuat-kuatnya oleh orang-orang Jerman. Seorang Jerman-lah, Kant, yang merumuskan aturan bahwa setiap orang harus diperlakukan sebagai tujuan itu sendiri, tak pernah semata-mata sebagai sarana. Kant pulalah yang merumuskan visi agung Kerajaan Tujuan, harmoni semangat-semangat manusia bebas. Seorang Jer­man-lah, Goethe, yang tak pernah jemu menegaskan bahwa “umat manusia hanya bisa dibuat oleh semua manusia”, sebagaimana dunia hanya dibuat oleh semua kekuatannya bersama-sama; bahwa karunia dan kemuliaan tiada akhir yang terpendam dalam umat manusia harus semuanya di­kembangkan, “bukan hanya dalam satu individu, tapi dalam banyak [individu]”. Goethe tak pernah mengingkari bahwa konflik dan kontradiksi terjadi, tapi dia selalu menunjuk pemecahannya dalam “kekuatan jiwa”. Dia tidak akan menye­but “benar” orang yang bersikeras hanya dirinya yang benar:
“Tak ada orang yang benar, kecuali dia menyembuh­kan perselisihan dalam kekuatan jiwa, memahami orang lain, meski dia tak pernah dipahami.”
Prinsip yang sama mendasari permasalahan rumit kebang­saan. Nilai sebuah bangsa terkait dengan nilai individualitas; kita menghargai keanekaragaman di antara bangsa-bangsa hanya karena kita melihat bahwa individu-individu, sebagai sebuah fakta alam, dikelompokkan ke dalam tipe-tipe berane­karagam, dan umumnya perlu bekerjasama dengan pria-pria dan wanita-wanita dari tipe mereka sendiri untuk pengem­bangan mereka. Oleh komrad-komrad alaminyalah, di atas yang lain, seseorang dibuat; pertama-tama dan terutama dengan merekalah dia bisa membuat masyarakat sejati. Kebangsaan sejati sama dalamnya dengan persahabatan, atau kasih-sayang keluarga, atau afinitas elektif apapun. Seseorang tidak bisa hidup sendirian, dan di negaranya dia bisa sama-sama memiliki kehidupan lebih besar sebaik-baik­nya, dan kehidupan yang terbaik bukan untuk dirinya saja tapi untuk ribuan lain, dan, melalui mereka, kehidupan ber­nilai unik untuk dunia. Orang pemberani dan patriotis biasa tentu saja tidak mempertimbangkan dirinya dengan cara abstrak ini; dia mencintai negaranya seperti dia mencintai ibunya, dan bertempur untuknya karena perasaan naluriah ini tanpa analisa lebih lanjut. Padahal di balik naluri terdapat kepercayaan ini sebagai justifikasinya, dan di mana keper­cayaan itu sendiri dijustifikasi, itu menjustifikasi kelahiran dan eksistensi sebuah bangsa sebagai kesatuan terpisah. Kita harus akui itu tidak bisa selalu dijustifikasi; mungkin akan lebih baik untuk dunia, dalam kasus-kasus ekstrim ter­tentu, jika kesatuan nasional tidak dibuat sama sekali, atau, bila dibuat, sebaiknya digantikan. Tak banyak orang bisa menyesali kegagalan Konfederasi Selatan di Amerika untuk membentuk sebuah politi independen, dan, apapun kenyata­annya, pihak union dan pihak separatis tidak mungkin benar dua-duanya, sebagaimana di Irlandia hari ini. Sesuatu yang lebih tinggi harus dipanggil untuk memutuskan di antara pendirian-pendirian yang saling bersaing itu. Bangsa indi­vidual, sebagaimana orang individual, harus bisa melihat ke luar dirinya, dan, jika perlu, memenuhi dirinya dengan me­ngorbankan dirinya. Tapi meski naluri ke arah pelestarian diri nasional tidak sempurna, seperti halnya semua naluri lain, itu memang menunjuk akurat (dalam kebanyakan kasus), sehingga ada beberapa hal di seluruh dunia yang lebih sering layak diperjuangkan dibanding kehidupan sebuah bangsa. Kita berbicara tentang bangsa sejati, tak boleh tertukar dengan kekaisaran-kekaisaran artifisial yang dipertahankan hanya dengan kekuatan. Kekaisaran semacam itu berdosa terhadap kebangsaan. Tapi suatu bentuk bangsa tulen, kehi­dupan korporat sukarela, tampak vital bagi cita-cita manusia, dan karenanya warga loyal selalu melihat negaranya sendiri—boleh dikatakan—di bawah aureole. Tapi mengapa visinya mesti berakhir di situ? Negara asing memiliki aureole juga. Apakah seseorang betul-betul percaya bahwa hanya satu bangsa, hanya satu tipe, yang bisa menghabiskan beragam kemungkinan kemanusiaan yang tak terhingga? Ataukah kebebasan dan kemerdekaan itu hanya baik untuk satu kelas? Jika dia percaya demikian, tidak ada lagi yang bisa dikatakan; sasarannya adalah penyerapan semua Negara lain ke dalam negaranya sendiri. Negara-negara ini tentu saja akan mela­wan, dan perang takkan pernah berakhir. Tapi kemiskinan konyol dari kepercayaan demikian terlihat jelas bagi semua orang yang merenung. Sama konyolnya jika berpikir bahwa satu manusia bisa merangkum semua manusia. Bahkan Treitschke, dengan penuhanannya terhadap Negara, akan menyatakan dengan tegas, “Semua kaum, persis seperti halnya orang-orang individual, adalah berat sebelah, tapi dalam kesempurnaan keberatsebelahan ini terlihat kekayaan ras manusia. Berkas-berkas cahaya ilahi hanya terlihat di bangsa-bangsa individual yang pecah tak terhingga; masing-masing menampakkan gambaran berbeda dan konsepsi ber­beda akan keilahian.” Sayangnya, secara teori dan praktek, pegangan pada konsepsi mulia dan luas ini lepas lagi dan lagi. Andai kita bisa tetap berpegang padanya, peperangan antar bangsa akan setidaknya selangka perang sipil. Ini mungkin tampak seperti truisme, tapi karena ketidakkuku­han pada truisme inilah dunia jadi basah kuyup dengan darah dan kengerian.
Judul asli : Patriotism and Humanity<i=19zHPqVOL_Z0qZ6SqR9s03-vMoVs7Y4FG 295KB>Patriotism and Humanity
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Januari 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Patriotisme dan Kemanusiaan

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2025)