Di sini terdapat petunjuk berharga untuk kita. Tidak mungkinkah kita di sini menemukan penjelasan paling meyakinkan untuk kekuatan nasionalisme modern, semangat rasul-rasulnya, dan pengabdian murid-muridnya? Bukankah sebuah fakta terbuktikan bahwa nasionalisme, bagi sejumlah besar orang, telah menjadi agama sungguhan.
Generasi masa kini punya hobi aneh, yaitu setidaknya berpura-pura menyukai sesuatu bukan karena itu mengandung keunggulan intrinsik tapi semata-mata karena itu baru. Di beberapa tempat, hobi ini ditafsirkan sebagai “kemajuan”. Bahkan Manusia Dari Mars dalam peribahasa, yang diinisiasi ke dalam watak zaman kita dan diberitahu mode mutakhir nasionalisme di Bumi, mungkin sewajarnya mengira nasionalisme dipuji oleh kita karena itu modern. Aku sudah coba tunjukkan, dia tepat dalam menebak itu modern; dia boleh jadi sebetulnya mengatakan itu sangat modern; tapi dia bakal keliru dalam menyimpulkan modernitasnya adalah penyebab tunggal atau utama atas popularitasnya.
Nasionalisme kontemporer dinisbatkan pada peristiwa-peristiwa historis abad 18, 19, dan 20. Ada penjelasan bahwa persentuhan demokrasi politik, Revolusi Industri, dan romantisisme filosofis dengan kesadaran populer kebangsaan yang berkecambah lama telah menghasilkan sebuah proses nasionalis dan sebuah doktrin nasionalis—raga dan jiwanya nasionalisme, boleh dibilang. Juga ada penjelasan bahwa doktrinnya didakwahkan dan prosesnya dibuat lezat untuk massa umat manusia melalui agensi pendidikan dan agensi propagandis yang Revolusi Prancis anggap layak dan yang Revolusi Industri jadikan praktis—pendidikan kebangsaan, militerisme kebangsaan, dan jurnalisme kebangsaan. Akan tetapi, penjelasan-penjelasan ini tidak sepenuhnya memuaskan. Mereka mungkin valid sampai taraf tertentu, tapi mereka tidak menjelaskan dengan sempurna mengapa rasul-rasul nasionalisme dicirikan oleh sebuah semangat misionari/dakwah yang berapi-api dan mengapa banyak muridnya memiliki cinta yang menguras tenaga. Mengapa jutaan orang siap dan bersedia mengorbankan nyawa mereka demi nasionalisme?
Ada banyak proses historis dan khotbah filosofis yang di masa lalu tidak membangkitkan respon sepopuler yang ditimbulkan oleh nasionalisme di zaman sekarang. Stoikisme kuno, nominalisme atau realisme zaman pertengahan, hedonisme modern, sama-sama menghasilkan spekulasi menarik dari “para intelektual”, diterima oleh para anggota berpengaruh kelas-kelas atas, dan sekurangnya berefek tak langsung terhadap massa, tapi kumpulan-kumpulan besar orang tak pernah berperang dan mati demi satupun filosofi tersebut. Pasti ada sesuatu lebih dari sebuah filosofi, sesuatu lebih dari sebuah doktrin dan sebuah proses historis, pada nasionalisme modern.
Sesuatu ini jelas-jelas sebuah emosi, sebuah loyalitas emosional kepada ide atau fakta negara-bangsa, sebuah loyalitas yang begitu emosional sekali sampai-sampai itu memotivasi segala jenis orang dan menyebabkan mereka mensubordinasi semua loyalitas manusiawi lainnya di bawah loyalitas kebangsaan. Tentu saja, di negarabangsa-negarabangsa modern, warga individual masih mempertahankan banyak, jika bukan kebanyakan, loyalitas emosional kepada orang-orang tertentu, tempat-tempat khusus, dan ide-ide khas yang telah menandai ras manusia sejak permulaan sejarahnya. Loyalitas orang Amerika kepada seorang pemimpin politik, sebuah loji rahasia, sebuah gereja, sebuah serikat pekerja, sebuah perguruan tinggi, sebuah kota New England, sebuah perkebunan di wilayah Selatan, atau sebuah ranch di wilayah Barat, berbeda derajatnya tapi tidak berbeda jenisnya dari loyalitas orang Romawi kuno, Yahudi kuno, dan Mesir kuno. Saat ini, seperti dulu, juga bisa saja terjadi seorang individu harus memilih antara dua loyalitas: dia bisa saja mencampakkan seorang pemimpin politik demi melaksanakan perintah sebuah loji rahasia; dia bisa saja meninggalkan loji atas perintah pendeta-pendetanya; dia bisa saja berbalik melawan pendeta-pendeta demi mengikuti peruntungan seorang pemimpin politik. Tapi dewasa ini, dan di sinilah terletak perbedaan fundamental antara kita dan leluhur kita di zaman kuno, pertengahan, dan modern awal, individu umumnya cenderung (bilamana terjadi konflik) mengorbankan loyalitas satu demi satu, loyalitas kepada orang-orang, tempat-tempat, ide-ide, bahkan loyalitas kepada keluarga, demi seruan tertinggi kebangsaan dan negara-bangsa. Ini adalah nasionalisme, dan itu pasti memiliki kandungan sangat emosional untuk mengatasi semua loyalitas emosional lain dalam generasi masa kini.
Nah, saat kita menengok balik pada bermacam-macam halaman sejarah manusia, kita terperanjat oleh frekuensi dan kekuatan gerakan-gerakan manusia yang dorongan utamanya adalah emosi keagamaan. Di sini terdapat petunjuk berharga untuk kita. Tidak mungkinkah kita di sini menemukan penjelasan paling meyakinkan untuk kekuatan nasionalisme modern, semangat rasul-rasulnya, dan pengabdian murid-muridnya? Bukankah sebuah fakta terbuktikan bahwa nasionalisme, bagi sejumlah besar orang, telah menjadi agama sungguhan, mampu membangunkan emosi mendalam dan memaksa itu, yang pada esensinya emosi keagamaan? Kepada aspek ini mari kita mengarah.
Judul asli | : | Nationalism as a Religion<i=12t-xP5h6oPA_PP-Oz0eJRM5Cyf05kB4D 540KB>Nationalism as a Religion (1926) |
Pengarang | : | Carlton J. H. Hayes |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2025 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |