Skip to content
Nasionalisme Sebagai Agama – Relift Media

Nasionalisme Sebagai Agama Bacaan non-fiksi politik

author _Carlton J. H. Hayes_; date _1926_ genre _Politik_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Di sini terdapat petunjuk berharga untuk kita. Tidak mungkinkah kita di sini menemukan penjelasan paling meyakinkan untuk kekuatan nasionalisme modern, semangat rasul-rasulnya, dan pengabdian murid-muridnya? Bukankah sebuah fakta terbuktikan bahwa nasionalisme, bagi sejumlah besar orang, telah menjadi agama sungguhan. Generasi masa kini punya hobi aneh, yaitu setidaknya berpura-pura menyukai sesuatu bukan karena itu mengandung keunggulan intrinsik tapi semata-mata karena itu baru. Di beberapa tempat, hobi ini ditafsirkan sebagai “kemajuan”. Bahkan Manusia Dari Mars dalam peribahasa, yang diinisiasi ke dalam watak zaman kita dan diberitahu mode mutakhir nasionalisme di Bumi, mungkin sewajarnya mengira nasionalisme dipuji oleh kita karena itu modern. Aku sudah coba tunjukkan, dia tepat dalam menebak itu modern; dia boleh jadi sebetulnya mengatakan itu sangat modern; tapi dia bakal keliru dalam menyimpulkan moderni­tasnya adalah penyebab tunggal atau utama atas popula­ritasnya. Nasionalisme kontemporer dinisbatkan pada peristiwa-peristiwa historis abad 18, 19, dan 20. Ada penjelasan bahwa persentuhan demokrasi politik, Revolusi Industri, dan ro­mantisisme filosofis dengan kesadaran populer kebangsaan yang berkecambah lama telah menghasilkan sebuah proses nasionalis dan sebuah doktrin nasionalis—raga dan jiwanya nasionalisme, boleh dibilang. Juga ada penjelasan bahwa doktrinnya didakwahkan dan prosesnya dibuat lezat untuk massa umat manusia melalui agensi pendidikan dan agensi propagandis yang Revolusi Prancis anggap layak dan yang Revolusi Industri jadikan praktis—pendidikan kebangsaan, militerisme kebangsaan, dan jurnalisme kebangsaan. Akan tetapi, penjelasan-penjelasan ini tidak sepenuhnya memuas­kan. Mereka mungkin valid sampai taraf tertentu, tapi mereka tidak menjelaskan dengan sempurna mengapa rasul-rasul nasionalisme dicirikan oleh sebuah semangat misio­nari/dakwah yang berapi-api dan mengapa banyak muridnya memiliki cinta yang menguras tenaga. Mengapa jutaan orang siap dan bersedia mengorbankan nyawa mereka demi nasio­nalisme? Ada banyak proses historis dan khotbah filosofis yang di masa lalu tidak membangkitkan respon sepopuler yang di­timbulkan oleh nasionalisme di zaman sekarang. Stoikisme kuno, nominalisme atau realisme zaman pertengahan, hedo­nisme modern, sama-sama menghasilkan spekulasi menarik dari “para intelektual”, diterima oleh para anggota berpenga­ruh kelas-kelas atas, dan sekurangnya berefek tak langsung terhadap massa, tapi kumpulan-kumpulan besar orang tak pernah berperang dan mati demi satupun filosofi tersebut. Pasti ada sesuatu lebih dari sebuah filosofi, sesuatu lebih dari sebuah doktrin dan sebuah proses historis, pada nasiona­lisme modern. Sesuatu ini jelas-jelas sebuah emosi, sebuah loyalitas emosional kepada ide atau fakta negara-bangsa, sebuah loyalitas yang begitu emosional sekali sampai-sampai itu memotivasi segala jenis orang dan menyebabkan mereka mensubordinasi semua loyalitas manusiawi lainnya di bawah loyalitas kebangsaan. Tentu saja, di negarabangsa-negara­bangsa modern, warga individual masih mempertahankan banyak, jika bukan kebanyakan, loyalitas emosional kepada orang-orang tertentu, tempat-tempat khusus, dan ide-ide khas yang telah menandai ras manusia sejak permulaan sejarahnya. Loyalitas orang Amerika kepada seorang pemim­pin politik, sebuah loji rahasia, sebuah gereja, sebuah serikat pekerja, sebuah perguruan tinggi, sebuah kota New England, sebuah perkebunan di wilayah Selatan, atau sebuah ranch di wilayah Barat, berbeda derajatnya tapi tidak berbeda jenisnya dari loyalitas orang Romawi kuno, Yahudi kuno, dan Mesir kuno. Saat ini, seperti dulu, juga bisa saja terjadi seorang individu harus memilih antara dua loyalitas: dia bisa saja mencampakkan seorang pemimpin politik demi melaksana­kan perintah sebuah loji rahasia; dia bisa saja meninggalkan loji atas perintah pendeta-pendetanya; dia bisa saja berbalik melawan pendeta-pendeta demi mengikuti peruntungan seorang pemimpin politik. Tapi dewasa ini, dan di sinilah terletak perbedaan fundamental antara kita dan leluhur kita di zaman kuno, pertengahan, dan modern awal, individu umumnya cenderung (bilamana terjadi konflik) mengorban­kan loyalitas satu demi satu, loyalitas kepada orang-orang, tempat-tempat, ide-ide, bahkan loyalitas kepada keluarga, demi seruan tertinggi kebangsaan dan negara-bangsa. Ini adalah nasionalisme, dan itu pasti memiliki kandungan sa­ngat emosional untuk mengatasi semua loyalitas emosional lain dalam generasi masa kini. Nah, saat kita menengok balik pada bermacam-macam halaman sejarah manusia, kita terperanjat oleh frekuensi dan kekuatan gerakan-gerakan manusia yang dorongan utama­nya adalah emosi keagamaan. Di sini terdapat petunjuk berharga untuk kita. Tidak mungkinkah kita di sini mene­mukan penjelasan paling meyakinkan untuk kekuatan nasio­nalisme modern, semangat rasul-rasulnya, dan pengabdian murid-muridnya? Bukankah sebuah fakta terbuktikan bahwa nasionalisme, bagi sejumlah besar orang, telah menjadi agama sungguhan, mampu membangunkan emosi menda­lam dan memaksa itu, yang pada esensinya emosi keaga­maan? Kepada aspek ini mari kita mengarah.
Judul asli : Nationalism as a Religion<i=12t-xP5h6oPA_PP-Oz0eJRM5Cyf05kB4D 540KB>Nationalism as a Religion
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Januari 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Nasionalisme Sebagai Agama

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2025)