Skip to content
Mengapa Aku Mendukung Perang Kimia: Antara Humanisasi Perang dan Efektivitas Senjata – Relift Media

Mengapa Aku Mendukung Perang Kimia: Antara Humanisasi Perang dan Efektivitas Senjata Bacaan non-fiksi perang

author _J. B. S. Haldane_; date _1925_ genre _Perang_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Kita belum melakukan studi ilmiah sebab-sebab perang, dan, sebelum kita melakukannya, kita dapat menantikan perang-perang lagi. Jika kita akan mengalami perang-perang lagi, aku lebih suka negaraku berada di pihak yang menang. Pikiran publik sebagian besar bereaksi menentang opini-opini yang ditanamkan padanya semasa perang oleh propaganda negara. Beberapa opini ini dikalahkan oleh kontra-propaganda dalam Pers dan di mimbar; yang lain dibuang karena menghasikan efek-efek yang tidak dihendaki di masa damai, meski mengagumkan semasa perang. Tapi, berhubung perang kimia tidak akan bernilai penting sampai perang serius berikutnya pecah, dan tidak tercantum dalam program partai manapun, masyarakat masih memikirkannya sebagaimana diperintahkan oleh suratkabar pada masa Perang Besar. Sampai batas tertentu aku adalah seorang kimiawan, jadi aku tidak bisa diharapkan bersikap imparsial dalam taksir­anku terhadap nilai ilmu kimia sebagaimana seorang politisi atau pendeta tidak bisa diharapkan memberikan pandangan tanpa bias tentang nilai politik atau agama. Aku hanya bisa berdalih bahwa, tak seperti rata-rata pendeta atau politisi, aku sudah memperingatkan audiensku terlebih dulu dan akan mencoba (meski tentu saja sia-sia) untuk bersikap imparsial. Beberapa pendengarku berpandangan bahwa, meski perang itu sendiri sebuah kesibukan mulia, penggunaan gas beracun adalah inovasi yang kejam dan juga tidak tentarawi. Mayoritas mungkin pasifis, dalam arti mereka lebih suka hampir perdamaian apapun daripada hampir perang apapun, mendukung Liga Bangsa-bangsa atau alat-alat lain untuk pencegahan pertikaian internasional, dan dengan curiga me­mandang persiapan peperangan masa depan, lebih khusus­nya peperangan kimia masa depan. Jika begitu, aku tentu sama-sama keberatan terhadap perang, tapi aku ragu apakah dengan keberatan terhadap perang, kita akan menghindari­nya di masa depan, seberapa luhur pun motif-motif kita atau seberapa tak berkepentingan perilaku kita. Perang akan dicegah hanya oleh studi ilmiah terhadap sebab-sebabnya, seperti yang telah mencegah kebanyakan penyakit epidemis. Selama berabad-abad masyarakat menebak-nebak penyakit-penyakit epidemis adalah hukuman untuk suatu jenis kejahatan manusia. Mereka mencoba mencegahnya dengan berdoa dan bersedekah. Umat Kristiani berhenti mencuci, umat Hindu membebaskan tikus-tikus yang ditangkap selama wabah-epidemi. Ordo-ordo keagamaan dan pendeta-pendeta gereja memberi contoh paling bagus akan pengor­banan diri di masa wabah. Tapi itu bukan cara untuk bisa mencegah wabah. Selain niat baik, dibutuhkan pemikiran akurat jenis khusus. Kita belum melakukan studi ilmiah sebab-sebab perang, dan, sebelum kita melakukannya, kita dapat menantikan perang-perang lagi. Jika kita akan meng­alami perang-perang lagi, aku lebih suka negaraku berada di pihak yang menang. Itulah mengapa aku berbicara tentang perang kepada saudara-saudaraku setanah air. Secara umum, kaum pasifis adalah keuntungan militer yang sangat besar untuk Britania. Pada saat pecahnya pe­rang, mayoritas besar dari mereka menjadi sangat patriotis, padahal sebelumnya mereka memimpin otoritas militer kita sendiri dan juga otoritas sekutu-sekutu dan musuh-musuh potensial kita untuk meremehkan kekuatan kita. Ini men­cegah kita memasuki beberapa perang, dan membawa kita menunjukkan kekuatan tak terduga dalam perang-perang lain. Setelah beberapa tahun perang, ketika politisi-politisi yang mulanya suka perang semisal Lord Lansdowne mulai lelah, para eks pasifis seperti Lloyd Geroge dan Pitt baru saja menjadi familiar. Dengan begitu stamina nasional bertambah banyak. Aku hampir tak usah berkomentar bahwa pemerin­tah-pemerintah masa depan tidak akan memasuki perang tanpa terlebih dahulu membujuk mayoritas besar masyara­kat akan kepantasannya. Ini kelihatannya proses relatif sederhana di bawah kondisi modern. Akan tetapi, pada saat ini, kaum pasifis sedang bergabung dengan tentara-tentara kurang kompeten dalam upaya meng­halangi kemajuan perang kimia. Ini, aku yakin, tidak sesuai dengan kepentingan nasional kita ataupun kepentingan internasional. Sampai 1915, tugas tentara adalah mendorong atau me­lempar potongan logam kepada musuh. Berbagai alat telah dipergunakan untuk melemparnya dengan cepat atau jauh, dan beberapa dari mereka melempar potongan lain saat tiba di tempat tujuan, berkat terutama kejeniusan Mayor Jenderal Shrapnel yang tak terlupakan. Benar bahwa di awal abad 8 M, orang Suriah yang sudah sepantasnya dinamai demikian, Callinicus, memperpanjang umur Kekaisaran Romawi Timur selama 750 tahun berikutnya dan menyelamatkan sebagian besar Kristendom dari dominasi Muslim dengan penemuan­nya berupa “api Yunani”, sebuah cairan mudah terbakar yang kemudian digantikan oleh serbuk mesiu. Di abad 15, pasukan pertahanan Belgrade terhadap Turki menemukan alat serupa, diklaim di bawah ilham langsung dari Roh Kudus, tapi senjata-senjata ini tak terpakai, efek mereka sebagian besar psikologis. Perang kimia sudah diramalkan begitu jauh oleh para negarawan sehingga pada 1907 para penandatangan Kon­ferensi Hague sepakat untuk meninggalkan penggunaan proyektil-proyektil yang tujuannya adalah penyebaran gas asfiksia atau berbahaya. Dengan begitu mereka dilarang menggunakan gas lakrimatori (gas air mata), senjata paling manusiawi yang pernah ditemukan; tapi diizinkan melepas gas dari silinder ke tanah, sebuah praktek yang amat kejam. Regulasi ini bermaksud baik, tapi jalan menuju Agustus 1914 dilapangkan dengan niat baik. Pada 1914, tak satupun negara besar melakukan persiapan untuk perang gas beracun, dan baru pada 22 April 1915, lebih dari 8 bulan setelah dimulainya perang, Jerman memulai penggunaannya. Semasa perang, 25 senjata beracun dipergunakan. Di antara mereka ini, hanya tiga berupa gas di suhu biasa, dan bisa dilepas dari silinder-silinder yang di dalamnya mereka disimpan di bawah tekanan. Sisanya adalah cairan yang berangsur-angsur menguap, menghasilkan uap beracun, atau zat padat yang beracun dalam bentuk asap. Zat-zat beracun ini, yang digunakan sejauh ini, termasuk ke dalam empat golongan menurut efeknya terhadap manu­sia. Pertama ada gas dan uap yang beracun ketika dihirup, tapi tak berefek pada kulit, dan mempengaruhi mata atau hidung hanya ketika hadir dalam konsentrasi yang beracun bagi paru-paru. Mereka semua bisa dicegah masuk oleh respirator, dan bernilai militer hanya terhadap pasukan tanpa pelindung, atau dalam aksi kejut lokal. Kelompok ini, yang meliputi klorin dan fosgena, barangkali hampir sama usangnya dengan meriam bubuh-cerompong (muzzle-loading cannon). Kelompok kedua hanya beracun dalam konsentrasi sangat tinggi, tapi mengiritasi mata ketika hadir dalam jumlah begitu kecil sampai-sampai satu bagian dalam lima juta dapat membuat seseorang buta karena menangis dalam beberapa detik. Sejauh yang kutahu, tidak ada bukti sese­orang terbunuh atau bahkan terbutakan permanen oleh zat-zat ini; tapi mereka memiliki efek sebentar yang hebat. Mereka bisa dicegah masuk oleh respirator, atau bahkan goggle. Kelompok asap beracun ketiga, kebanyakan senyawa arsenik, kurang dikembangkan semasa perang. Namun, mereka adalah senjata sangat efisien, dan diketahui luas telah dipakai oleh Britania pada skala sangat luas di tahun 1919. Dalam jumlah kecil, asap-asap ini cuma membuat orang bersin. Dalam jumlah agak besar, mereka menyebab­kan nyeri sangat hebat pada kepala dan dada. Nyeri di kepala digambarkan mirip nyeri yang timbul ketika air segar masuk ke dalam hidung saat mandi, tapi jauh lebih parah. Gejala-gejala ini disertai kesusahan dan kesengsaraan mental yang sangat mengerikan. Beberapa tentara yang keracunan zat ini dicegah dari melakukan bunuh diri, yang lain menjadi gila sementara, dan mencoba menggali ke dalam tanah untuk melarikan diri dari para pengejar khayali. Tapi dalam 48 jam sebagian besar pulih, dan hampir tak seorangpun menjadi cacat permanen. Zat-zat ini, saat berbentuk asap, akan me­nembus respirator apapun yang dipakai dalam perang ter­akhir, meski respirator-kotak Britania bakal mencegat hampir mereka semua dalam konsentrasi yang digunakan kala itu. Di masa mendatang mereka kemungkinan akan dipakai dalam konsentrasi jauh lebih besar dan dalam partikel lebih halus daripada yang dibentuk oleh peluru asap Jerman. Sulit sekali memproduksi sebuah respirator yang akan sepenuhnya mencegat asap amat halus, karena alasan berikut. Pada sebuah gas, molekul-molekul (atau partikel-partikel pokok) bergerak sangat pesat, dengan kecepatan beberapa ratus yard per detik, terus-menerus berbenturan dan memantul. Oleh karenanya, sebuah molekul gas kemungkinan akan mengenai sisi-sisi lintasan lumayan sempit yang melaluinya ia ditarik. Tapi sebuah partikel asap bergerak pada kecepatan yang diukur dalam inchi per detik, dan jauh kurang mungkin untuk mengenai dinding respirator, dan ditahan oleh permukaan serapnya. Jika kita coba mempersempit lintasan-lintasan yang melaluinya udara ditarik, misalnya dengan mengisap udara melalui kapas mentah (yang akan mencegat sebagian besar asap), ternyata kita menciptakan resistensi mengerikan terhadap pernafasan. Ada sebuah metode elektris untuk menyingkirkan partikel asap sepenuhnya, tapi itu kemung­kinan akan lebih dari menggandakan bobot respirator, dan tidak kedap air atau anti gagal. Kelompok keempat, kelompok gas pelepuh, mengandung hanya satu zat yang dipakai semasa perang, dikloretil sulfit, atau “gas mustard”. Ini sebetulnya cairan, yang uapnya tidak hanya beracun saat dihirup, tapi juga melepuhkan bagian kulit apapun yang sekadar disentuhnya. Sebagai contoh, setetes cairan ini dibubuhkan pada selembar kertas dan dibiarkan selama lima menit pada lengan baju seseorang. Uap menembus mantel dan kemeja wolnya, menyebabkan lepuhan yang efek-efeknya bertahan enam minggu. Tapi penguapannya begitu lamban sehingga tanah yang tercemar cairan ini akan tetap berbahaya selama seminggu. Gas mus­tard bisa menyebabkan lebih banyak korban pada Britania dibanding gabungan semua senjata kimia lain. Itulah senjata-senjata yang ilmu kimia berikan kepada kita. Sering ada pertanyaan mengapa para kimiawan tidak bisa menghasilkan sesuatu yang akan menidurkan musuh-musuh kita dengan nyaman dan memungkinkan kita mena­han mereka. Jawabannya adalah bahwa zat-zat demikian eksis, tapi dalam jumlah kecil mereka tidak berbahaya, dalam jumlah besar fatal. Hanya dalam kisaran konsentrasi moderatlah efek mereka sekadar membius. Kita cuma perlu memikirkan contoh familiar uap kloroform, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memberikan tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit.
Judul asli : Callinicus: A Defence of Chemical Warfare<i=18kdRbmfKlZeE60KC5w-eE30K07v5uNaY 398KB>Callinicus: A Defence of Chemical Warfare
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Januari 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Mengapa Aku Mendukung Perang Kimia: Antara Humanisasi Perang dan Efektivitas Senjata

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2025)