“Sini, anak-anak!” perintah singkat. “Kalian selalu melakukan tugas kalian. Hari ini kalian harus melakukannya dua kali lipat, karena Jerman sudah menambah daftar kejahatannya. Salah satu kapal selamnya menenggelamkan Lusitania. Ada korban-korban tak berdosa yang harus dibalaskan.”
Terendam dalam lumpur setinggi lutut, para “Alpen” Prancis, para “Iblis Biru”, demikian Jerman menjuluki mereka, sedang menyaksikan pemberondongan posisi musuh. Kolom-kolom asap hitam besar memuncaki garis putih parit-parit di bawah semak-belukar spruce, dan setiap kali ledakan hebat, bongkah-bongkah tanah, karung-karung pasir, dan pelat-pelat baja beterbangan tinggi ke udara.
Menanti huru-hara, para “Iblis Biru” berdiri menyandar pada senapan, sebagian tertawa dan bercanda, sementara yang lain serius dan tegang, membaca sekali lagi surat-surat terakhir orang-orang tercinta.
Kopral Dupin duduk, memandangi foto isteri dan bayi. Ketika situasi menjadi kacau, Dupin sedang hidup tenang di Kanada, dan dia datang sebagai pria terhormat untuk bergabung dengan panji-panji itu, meninggalkan keluarga kecilnya di sisi lain samudera yang lebih aman. Antaran pos pagi baru saja membawakannya kabar bahwa isteri dan bayinya telah berlayar di atas Lusitania, agar lebih dekat dengannya... Jantungnya berdetak kencang!
...Sudah pasti dia akan keluar dengan selamat dari pertempuran ini, tapi dia akan bersikap ksatria seperti biasa, dan barangkali cukup beruntung mendapat cuti 24 jam dan menemui isteri dan bayinya di suatu tempat, barangkali di Belfast atau di Nancy. Dia sudah bisa membayangkan pertemuan itu. Dia bahagia. Betapa sepenuh hati dia pergi bertugas hari ini!...
Dia menangkap suara letnan.
“Sini, anak-anak!” perintah singkat. “Kalian selalu melakukan tugas kalian. Hari ini kalian harus melakukannya dua kali lipat, karena Jerman sudah menambah daftar kejahatannya. Salah satu kapal selamnya menenggelamkan Lusitania. Ada korban-korban tak berdosa yang harus dibalaskan.”
Lusitania! Astaga! Dengan tak sabar Dupin merebut kertas dari tangan sang perwira. Dia membaca dan membaca kembali daftar korban yang diselamatkan. Dua detik kemudian tidak ada lagi ruang untuk ragu, dan dia tahu semua yang dia cintai di dunia ini telah tenggelam.
Oh, bunuh! Bunuh para pembunuh itu dan balaskan dendam!... Bunuh dan siksa!... Berapa lama pemberondongan akan berlangsung? Kapan sinyal serbuan akan datang?...
Ah! Roket mirip bintang yang dinanti-nanti! Meriam-meriam Prancis memperpanjang tembakan mereka, memberondong garis atas parit-parit... Teriakan lantang dan huru-hara gila... Para “Iblis Biru” beraksi.
Ta, ta, ta, ta... Senapan-senapan mesin Jerman. Sh! Sirr! Peluru shrapnel meledak dengan lidah api cepat dan awan-awan kuning kecil... Mayat-mayat berjatuhan.
Tapi sisanya terus berlari dan melompat sampai mereka tiba di benteng Jerman. Meriam-meriam “75” telah mengakibatkan perintang kawat kacau-balau, dan parit utama hancur-lebur, dipenuhi mayat... Peluru-peluru mendesing, granat-granat meletus, orang-orang terluka menjerit.
Dari sebuah tingkap hitam, sebatang peluru meleset dari Kopral Dupin saat mengejar seseorang yang lari, dengan bayonet di depan. Dia melepaskan mangsanya, melempar bom ke dalam sarang, dan segera setelah bom meledak dia menyerbu masuk.
Berlumuran darah, seorang perwira Jerman tergeletak. Dia mengancam Dupin dengan pistol kosongnya, lalu, sadar segalanya sudah berakhir untuknya, dia melempar pistol sambil tertawa liar, dan dengan menantang dan angkuh melotot pada Dupin. Mata biru dingin si Teuton tidak salah kira dengan sentimen Dupin. Kepada mata sang kopral yang gelap dan melirik, matanya membalas kebencian dengan kebencian. Dupin berpikir komandan kapal selam itu pasti mirip. Ya, orang ini akan membayar mahal atas utang si pembunuh berdarah dingin. Jam pembalasan telah tiba.
Judul asli | : | When “Kultur” Was Beaten<i=1i89Dryy9iDubbNl8WT4qSpCFBkWiq3Ed 218KB>When “Kultur” Was Beaten (1916) |
Pengarang | : | Lieutenant X |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2025 |
Genre | : | Perang |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |