Studi sejarah, sastra, sosiologi, filsafat dalam beraneka bentuknya adalah studi perubahan progresif terus-menerus, menuruti hukum tertentu, dan dengan kekuatan-kekuatan tetap. Apakah fenomena keagamaan juga berkarakter evolusioner? Apakah ilmu agama akan menerima sudutpandang ini?
Kita butuh teologi baru, tapi bukan agama baru. Agama adalah kehidupan Tuhan dalam jiwa manusia. Kehidupan ilahi ini selalu baru dalam manifestasinya, selalu lama dalam prinsip esensialnya. Teologi adalah ilmu tentang kehidupan ini, dengan kata lain itu adalah pernyataan intelektual, secara tertib, tentang hukum kehidupan tersebut sebagaimana dipahami oleh manusia. Pernyataan intelektual kehidupan semacam itu berubah dari waktu ke waktu dengan bertambahnya pengetahuan dan dengan berubahnya sudutpandang. Bintang-bintang masih sama, tapi kita memiliki astronomi baru; bunga-bunga masih sama, tapi kita memiliki botani baru; agama masih sama, tapi kita butuh teologi baru.
Kita membutuhkan bukan sekadar modifikasi dan perbaikan kredo-kredo historis, misalnya perubahan Pasal-pasal Pengakuan Iman Westminster menyangkut bayi-bayi terpilih, atau penambahan pada Pengakuan Iman menyangkut kebenaran kasih Tuhan. Amandemen yang diusulkan dalam gereja Presbiter di Amerika, deklarasi tafsir yang diusulkan oleh gereja Presbiter Bersatu di Skotlandia, tidak bisa memenuhi kebutuhan intelektual zaman kita. Kita butuh sebuah teologi baru yang dikonstruksi di atas fondasi baru, sebuah penafsiran baru terhadap kehidupan beragama yang dilihat dari sudutpandang modern. Semua gerakan terkini ke arah teologi baru sebetulnya merupakan kontribusi, sadar atau tidak, menuju pencapaian akhir ini.
Sudutpandang kehidupan modern diekspresikan oleh kata evolusi, yang didefinisikan oleh Profesor Le Conte. Pemikir modern ini percaya bahwa kehidupan adalah “perubahan progresif terus-menerus, menuruti hukum tertentu, dan dengan kekuatan-kekuatan tetap”. Kepercayaan ini mendasari semua ajaran di perguruan tinggi dan seminari tinggi kita. Bukan penstudi ilmu-ilmu alam saja yang menerima definisi kehidupan ini sebagai sebuah aksioma, tapi penstudi sastra dan filsafat juga tak kurang menerimanya. Studi sejarah, sastra, sosiologi, filsafat dalam beraneka bentuknya adalah studi perubahan progresif terus-menerus, menuruti hukum tertentu, dan dengan kekuatan-kekuatan tetap.
Apakah fenomena keagamaan juga berkarakter evolusioner? Apakah ilmu agama akan menerima sudutpandang ini? Apakah kehidupan beragama adalah perubahan progresif terus-menerus, menuruti hukum tertentu, dan dengan kekuatan-kekuatan tetap? Kristus memberi jawaban eksplisit dan pasti yang mengiyakan untuk pertanyaan ini. “Kerajaan Allah,” katanya, “adalah seperti seseorang yang akan menyebar benih di tanah. Dia tidur dan bangun, malam dan siang, dan benih itu mengeluarkan tunas dan bertumbuh. Dia tidak tahu bagaimana terjadinya karena tanah menghasilkan dengan sendirinya. Mula-mula tunas, kemudian bulirnya, lalu biji-biji gandum dalam bulir itu.” Dalam tamsil ini semua elemen definisi milik Le Conte dilibatkan: serangkaian perubahan progresif (mula-mula tunas, kemudian bulirnya), menuruti hukum tertentu (benih itu mengeluarkan tunas dan bertumbuh), dengan kekuatan-kekuatan tetap (tanah menghasilkan dengan sendirinya).
Tapi teologi tradisional kita memiliki sudutpandang sangat berbeda; menafsirkan kehidupan beragama dengan cara sangat berbeda; memandang kata divine (ilahi) dan supernatural (supranatural) sebagai sinonim; memandang kehidupan beragama sebagai non-natural karena ilahi; memperlakukan itu sebagai bukan disebabkan oleh kekuatan-kekuatan tetap, tapi oleh intervensi-intervensi berturutan; pendek kata, teologi tradisional kita bersifat kataklismik, bukan evolusioner. Menurut teologi tradisional, penciptaan, sebelum dimodifikasi oleh pemikiran modern, adalah sebuah intervensi mendadak di alam oleh sebuah persetujuan ilahi, enam ribu tahun lampau. Wahyu adalah sebuah intervensi lain untuk tujuan menyampaikan kebenaran kepada bangsa yang diistimewakan. Inkarnasi adalah sebuah intervensi lain, dituntaskan dalam satu episode sejarah dan berlangsung sekitar sepertiga abad. Penebusan adalah sebuah intervensi lain, menurut sebuah mazhab besar yang efeknya terbatas pada segelintir orang terpilih; hukuman adalah sebuah intervensi lain untuk tujuan memenuhi keadilan ilahi, jika bukan balas dendam ilahi. Pada hakikatnya setiap istilah penting dalam teologi tradisional menggambarkan kepada akal manusia bukan sebuah perubahan progresif dan spontan dalam kehidupan, tapi sebuah intervensi luar yang misterius jika bukan sewenang-wenang terhadap kehidupan. Dengan demikian kita memiliki dua ilmu alam yang tumbuh bersama: ilmu alam, yang didirikan di atas teori bahwa seluruh kehidupan adalah serangkaian perubahan progresif, dan ilmu agama, yang didirikan di atas teori bahwa kehidupan spiritual disebabkan oleh serangkaian intervensi berturutan dari luar. Yang gereja butuhkan adalah para guru agamanya mengakui terang-terangan bahwa gereja telah keliru dalam penafsirannya, dan mesti merekonstruksi teologinya di garis evolusi, sehingga itu cocok dengan pandangan hidup yang lebih besar dan lebih baik yang telah dicapai oleh pengetahuan modern. Jangan menyangka bahwa dalam catatan seringkas ini penulis akan mencoba menyediakan sebuah teologi rekonstruksi, tapi mungkin saja untuk memberikan beberapa petunjuk mengenai arah ke mana rekonstruksi tersebut betul-betul sedang berjalan.
Kita sedang mulai melihat bahwa tidak ada pembedaan antara yang supranatural dan yang natural; bahwa yang natural adalah serba supranatural, dan bahwa yang supranatural adalah serba paling natural. Kita sedang mulai melihat apa yang Bushnell uraikan dalam Nature and the Supernatural-nya, bahwa satu-satunya pembedaan nyata adalah antara yang spiritual dan yang materil. Oleh karenanya, mukjizat-mukjizat tidak lagi dipandang oleh para cendekiawan pandai sebagai pelanggaran terhadap hukum alam. Providensi-providensi khusus dipandang sebagai gambaran-gambaran khusus akan sebuah providensi yang universal. Jawaban doa, sebagai bagian dari seluruh pengalaman komuni dengan Tuhan, adalah sesuai dengan hukum misterius besar yang mengatur interaksi antara roh dan roh. Pendek kata, imanensi Tuhan sedang mulai diakui sebagai fakta fundamental dalam teologi baru—Tuhan ada dalam setiap hal; semua kekuatan adalah milik-Nya; semua fenomena, kecuali fenomena kedosaan manusia, adalah manifestasi-Nya; seluruh kehidupan memancar dari-Nya. Dengan demikian Dia dipandang, sebagaimana Yohanes menggambarkan-Nya, sebagai Firman abadi, yakni Tuhan yang selalu terungkap sendiri. Barangkali dalam sastra modern tidak ada gambaran lebih mulia untuk kebenaran ini daripada risalat revolusioner tapi konservatif karangan Dr. Samuel Harris, The Self-Revelation of God.
Judul asli | : | The Need of a New Theology<i=1apKuWqB6ZOkoQMy7lVMS4uKD_idXNRzI 282KB>The Need of a New Theology (1897) |
Pengarang | : | Lyman Abbott |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2025 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |