“Saat aku pulang dalam keadaan terluka, setiap orang hanya mengasihani penampilan fisikku dan mencoba membuatku tetap bahagia untuk sementara, seraya menyembunyikan yang sebenarnya—tapi kupikir melakukan itu akan membawa kepada masa depan tak bahagia untuk kita berdua...”
Kinuko pertama kali bertemu Shinichi di sebuah penatu swalayan sumpek lantai dua di mana jendela-jendelanya memasukkan sinar matahari terbenam.
Waktu itu hari Desember yang tak biasanya hangat, jadi pemanas arang tidak diperlukan. Shinichi kerap menyeka keningnya dengan saputangan.
Sesekali Kinuko menengok untuk mengamati ekspresi Shinichi.
Dibingkai dua cuping telinga yang besar, wajahnya pucat karena lama dirawat di rumah sakit tapi tak menunjukkan tanda-tanda khawatir. Shinichi memiliki rahang persegi, tapi Kinuko menangkap kefamiliaran tertentu di wajahnya—yang kadang menengok ke arah dinding seolah menghindari sinar matahari menyilaukan—seakan-akan dia sudah mengenalnya berabad-abad.
Shinichi duduk di samping sebuah jendela, bersetelan rapi. Yoshio, bertindak sebagai mak comblang, dengan kikuk membawakan teh dan susu, kepalanya melambung-lambung.
“Kinuko, tawarkan sushi pada Shinichi,” katanya, kembali ke lantai bawah seolah hendak mengurus sesuatu di sana.
Seekor lalat terbang di atas sushi, sayap-sayap mungilnya mengeluarkan bunyi dengung membosankan. Menepaknya, Kinuko dengan tenang menghampiri piring sushi, menghidangkan beberapa ke atas piring kecil yang lantas dia letakkan pada pangkuan Shinichi. Shinichi tersipu, mengangkat piring dengan kedua tangan. Kinuko memisahkan sepasang sumpit kayu dan tanpa berkata-kata menaruhnya ke tangan Shinichi, yang cepat-cepat dia angkat ke atas matanya sebagai tanda sopan-santun berterimakasih.
Ketika jarinya bersentuhan sesaat dengan jari Shinichi, Kinuko merasakan kehangatan yang menyesakkan dada.
Dia sungguh menyukai Shinichi.
Rasa kasih-sayang kuat meluap dari dalam dirinya, jenis perasaan tanpa penjelasan logis.
Shinichi tetap diam, piring bersandar di pangkuannya.
Cerobong asap tinggi sebuah perusahaan bir kelihatan di luar melalui pintu kaca. Keheningan membuat Kinuko gelisah, jadi dia menuangkan beberapa tetes kecap ke atas piring, lalu berhati-hati mengoleskannya pada setiap potong sushi, satu persatu.
“Oh, terimakasih...”
Shinichi menurunkan pandangannya sedikit saat mencium bau kecap, lagi-lagi tersipu malu. Kinuko berpikir Shinichi pria yang baik, dan dia sebaiknya memulai obrolan yang baik dengannya. Jadi dia memutar bermacam-macam ide dalam pikirannya, tapi tak bisa memutuskan apa yang harus diobrolkan.
Shinichi mengenakan kacamata agak berwarna yang memberi kesan seseorang yang sehat tanpa masalah penglihatan.
Dia mengumpulkan keberanian dan bertanya, “Jadi, Tn. Murai, apa kesukaanmu?”
“Apa kesukaanku? Jika yang kau maksud makanan, aku bisa makan apapun.”
“Begitu ya... Tapi apa makanan favoritmu?”
“Anu, makanan favoritku...kurasa aku suka udon...”
“Oh, sungguh,” kata Kinuko terkikih. Dia sendiri suka udon, dan saat dia tinggal di keluarga Ninomiya, anak perempuannya juga suka udon, jadi Kinuko menyiapkan udon berbumbu ringan hampir setiap hari.
Begitu menangkap kata “udon”, Kinuko tiba-tiba mendengar suara jernih ombak-ombak yang menghantam pantai Omaezaki, seolah mereka dekat sekali. Kinuko dan Shinichi berasal dari kampung halaman yang sama, dan Shinichi berumur 28, berselisih tujuh tahun darinya. Tahun lalu Shinichi kembali dari perang dengan hanya satu mata.
Judul asli | : |
Beyond Happiness 幸福の彼方<i=1f_hZMjipEE7JP8CfKpTKIKuIAmCwWimx 326KB>Beyond Happiness<br/> 幸福の彼方 (1940) |
Pengarang | : | Hayashi Fumiko |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2025 |
Genre | : | Keluarga |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |