Skip to content
Kala Demokrat Merenung – Relift Media

Kala Demokrat Merenung Cerita fiksi satir

author _Grant Showerman_; date _1914_ genre _Satir_; category _Cerpen_; type _Fiksi_ Sang Demokrat kecewa, tapi dia benar-benar seorang demokrat. Dia telah dibuai dan dididik dalam atmosfer demokrasi, dan dikuasai oleh pendirian seumur hidup akan kebenaran cita-cita demokrasi. Untuk waktu lama—sampai dia tahu lebih banyak tentang urusan demokrasi yang sesungguhnya. Sang Demokrat kecewa, tapi dia benar-benar seorang demokrat. Dia telah dibuai dan dididik dalam atmosfer demokrasi, dan dikuasai oleh pendirian seumur hidup akan kebenaran cita-cita demokrasi. Untuk waktu lama—sampai dia tahu lebih banyak tentang urusan demokrasi yang se­sungguhnya—dia juga tak pernah mempertanyakan praktek demokrasi. Dia muda dan polos. Tapi sisik-sisik telah berguguran dari matanya; pengli­hatan masa dewasa yang tercerahkan telah menyingkapkan banyak sekali hal tak demokratis dalam demokrasi yang eksistensinya bahkan tidak dia bayangkan di masa mudanya. Para pendidik masa kanak-kanaknya tak pernah memberi­tahunya—atau hatinya yang penuh harap tidak membiar­kannya paham—bahwa orang-orang harus berjuang me­lawan orang-orang lain untuk mempertahankan bahkan kese­taraan yang ke dalamnya mereka dilahirkan; bahwa keadilan, bahkan di pengadilan, boleh jadi sudah sewajarnya tidak lebih dari sebuah penghampiran, dan bahwa di antara orang-orang berpengalaman seringkali kekuatanlah yang mengha­silkan kebenaran; bahwa ada cara-cara merampas hak pilih dari orang-orang, terlepas dari adanya undang-undang; bahwa undang-undang bisa dibuat oleh kehendak minoritas, atau perorangan tunggal. Bahkan rapat-rapat kota kadang bisa tak demokratis. Dan telinganya dikejutkan oleh orang-orang yang menyatakan bahwa dalam kehidupan bangsa ini secara luas tidak ada yang tersisa dari demokrasi kecuali tampilan luar. Keyakinannya pada orang-orang mengalami goncangan kasar yang sama seperti keyakinannya pada demokrasi—su­dah sewajarnya, sebab keduanya tidak berdiri sendirian. Dia jadi melihat bahwa kemesuman manusia mencapai keting­gian dan kedalaman yang tak pernah dibayangkan oleh masa mudanya, lamban untuk percaya dan lebih lamban untuk mengindera. Sudah pasti, kecintaan pada uang adalah akar semua keburukan—atau hampir semua. Oratori kampanye yang panas sebagian besar diilhami oleh kecintaan pada uang atau jabatan. Sentimen patriotik yang begitu berlimpah dalam pers adalah sebagian besar antusiasme berlebihan, berita diwarnai, dan segalanya dimiliki oleh orang-orang yang punya kapak untuk diasah. Ya, pers, pendidik masya­rakat yang dibanggakan itu, yang pencapaian dan potensia­litas ajaibnya—ya, dan yang kebebasannya—dituliskan dan diorasikan olehnya dan teman sekolahnya, kadang-kadang dibeli. Suara-suara di TPS-TPS dan di ruang-ruang legislatif kadang-kadang dibeli. Kontrak-kontrak dengan pemerintah kadang-kadang dibeli. Opini ilmiah ahli kadang-kadang dibeli. Kepanikan perang dibuat-buat untuk sebuah tujuan. Industri-industri besar bisa memakai intimidasi untuk me­ngamankan suara karyawan mereka untuk sebuah partai. Tidak ada bentuk kehinaan dalam kehidupan tinggi atau rendah yang tidak bisa menemukan sebuah tangan yang siap melakukannya. Kota-kota adalah lubang-lubang kebusukan dan penderitaan karena mereka menggaji pengelola demo­kratis mereka untuk menjadikan mereka demikian. Ketama­kan orang-orang bisa memaksa orang-orang lain untuk hidup dan melahirkan anak-anak di lingkungan tak sehat dan me­rendahkan; kelahiran ke dalam lingkungan itu sama dengan kelahiran ke dalam perbudakan dan penyakit raga dan jiwa. “Kehidupan, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan” adalah sebuah olokan bagi puluhan ribu orang. Dan semua ini berlangsung di bawah sebuah demokrasi—sebuah pemerintahan yang, menurut pengajaran yang dite­rimanya, adalah paling adil di muka bumi, tempat berlindung kaum miskin dan tertindas, yang berlayar ke tempat berteduh di mana Kebebasan sedang Mencerahkan Dunia untuk memasuki Tanah Perjanjian di mana semua air mata mereka akan diseka! Dan yang terburuk dari ini adalah bahwa orang-orang yang berbicara paling nyaring tentang ideal demokratis adalah orang-orang yang paling berhasrat untuk mendapat keuntungan dengan mengorbankannya. Jika dia bisa mem­persalahkan semua itu pada kaum kaya atau aristokratis, itu tidak bakal seburuk itu; tapi dia tidak bisa. Kaum miskin pada dasarnya sama tamak dan zalimnya dengan kaum kaya, dan tampak sama buruknya dalam praktek saat mendapat kesem­patan, dan demokrat berubah menjadi tiran begitu itu cocok dengan dompet atau ambisinya. Ini mencemaskan. Kontras antara cara kerja demokrasi yang sesungguhnya dan ideal yang disembah oleh keluguannya begitu besar sampai-sam­pai dia kadang ragu apakah mereka memiliki kesamaan sama sekali. Tapi seiring waktu kecemasan, dan bahkan keterkejutan, menghilang, dan dia kembali tenang. Dia kecewa, tapi tetap seorang demokrat. Di saat yang sama dia belajar tentang kelemahan berhalanya, dia belajar tentang kelemahan fitrah manusia. Dia tahu bahwa keburukan-keburukan yang dia ratapi jauh lebih disebabkan oleh kelemahan manusia ketim­bang oleh bentuk pemerintahan di mana keburukan-keburu­kan itu terjadi. Dengan seorang filsuf dari negerinya sendiri, dia sependapat bahwa tak ada bentuk pemerintahan yang begitu baik sampai-sampai tidak bekerja dengan buruk di tangan orang-orang buruk, dan tak ada yang begitu buruk sampai-sampai tidak bekerja dengan baik di tangan orang-orang baik. Mulai saat itu, jika dia harus khawatir, biarlah itu tentang manusia. Alhasil, sang Demokrat, jauh dari partisan, menjadi se­orang Penonton. Demokrasi—atau apa yang disebut demo­krasi—menggelikan: itu begitu manusiawi—begitu manusi­awi dalam kesalahan-kesalahannya, begitu manusiawi dalam pengelabuan dirinya. Dia tergerak untuk tersenyum oleh ton­tonan sebuah bangsa berisi individu-individu yang semuanya dengan bijak menganggap diri mereka pemilih cerdas, pat­riot, dan manajer cakap urusan negara mereka. Apakah itu, bagaimanapun, sebuah demokrasi? Sang Demokrat memiliki seni yang sangat tidak lazim, seni me­lihat ke balik perkataan belaka dan merenungkan Segala Hal Apa Adanya. Dia sedang membaca majalah pada suatu malam—itu memuat salah satu esai ilmu politik menghibur itu, berjudul “Ke Mana Kita Sedang Hanyut?”—ketika dia tercengkeram gagasan untuk menemukan suatu nama yang lebih bagus untuk pemerintahan di mana dia hidup. Jadi dia mengesampingkan esai itu, dan membiarkan pikirannya me­ngalir.
Judul asli : Democrat Reflects<i=1EhhrnUmBKgFgXkJLQZjf-vo3zdrkIyNV 377KB>Democrat Reflects
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Januari 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Kala Demokrat Merenung

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2025)