Skip to content
Jubah-jubah Agama – Relift Media

Jubah-jubah Agama Bacaan non-fiksi petualangan

author _John Foster Fraser_; date _1908_ genre _Petualangan_; category _Memoir_; type _Nonfiksi_ Agama baginya adalah sesuatu yang menenangkan, yang membunuh diri, yang mengurangi jiwa sampai itu meluncur ke dalam kedamaian abadi—yakni Nirvana. Aku menyukai perjuangan, aksi, dan kerja—dari lidahku jatuh jargon tentang tugas, membantu mereka yang lemah, meninggalkan dunia dalam keadaan lebih baik. Seorang pendeta Buddhis Myanmar mengajariku indahnya kontemplasi. Dia kurus dan pucat seperti mayat, dan kulitnya cokelat, dan Buddha adalah pembimbingnya. Pipinya cekung, bahu­nya berlubang, dan kulit licinnya menunjukkan kerut tulang-belulang di dadanya. Kepalanya gundul, dan dia tak menge­nakan sandal. Pakaiannya hanya jubah panjang, longgar, kuning kecokelatan. Jadi aku melihat betapa kurusnya dia. Dia lemah, kecuali kekuatan di matanya, yang berkilat dan menyorot tajam. Dia seusiaku, dan kami berteman. Jadi, dalam embun pagi, aku bertemu dengannya dekat Kuil Emas Mandalay—kuil fantastis, aneh dan sangat indah. Kami berjalan menem­bus hutan, di mana pepohonan tumbuh lebat dan menetes. Matahari masih di belakang bukit, tapi ketika ia mendaki, sejuknya hari baru akan terbakar dari langit, udara hutan akan menguap dan membuat rileks, dan kaki-kaki berkeri­ngat akan pegal karena berjalan. Kuil-kuil cantik, dengan ukiran-ukiran aneh, menjulang lancip, dan lonceng-lonceng kecil bernyanyi dengan permai­nan angin sepoi. Di belukar-belukar lebat subur terdapat patung-patung Buddha, duduk bersilang kaki, satu tangan terkulai, telapak satu lagi menghadap ke atas, dan tatapan mata yang mengesankan kedamaian—ketenangan agung. Patung-patung ini mentah, putih, tapi, berlatarkan tanaman berdaun lebar, pas dengan keadaan. Aku sudah melepas keja­hilan lamaku bahwa para Buddhis adalah penyembah ber­hala. Mereka duduk di depan patung Buddha bukan karena sedang menyembah sosok tanah liat itu, tapi karena itu mem­bantu mereka mengingat Buddha, kelembutannya, pengorba­nannya, kedamaian yang datang kepada jiwanya melalui kontemplasi. Aku dan si pendeta berbincang-bincang tentang makna banyak hal. Tapi dia berasal dari Timur yang misterius, men­jemukan, puitis, dan aku dari Barat yang sibuk, energik, praktis. Agama baginya adalah sesuatu yang menenangkan, yang membunuh diri, yang mengurangi jiwa sampai itu me­luncur ke dalam kedamaian abadi—yakni Nirvana. Aku me­nyukai perjuangan, aksi, dan kerja—dari lidahku jatuh jargon tentang tugas, membantu mereka yang lemah, meninggal­kan dunia dalam keadaan lebih baik daripada saat menemu­kannya. Kami tak pernah sependapat. Tapi aku menghargai semua pendeta Buddhis karena mereka seperti anak kecil, bergerak mengikuti langkah-lang­kah master mereka. Mereka mengesampingkan kebersama­an dengan wanita; mereka tak pernah punya uang; mereka bergantung pada mengemis nasi harian mereka setiap pagi; mereka makan irit di pagi hari, dan tak pernah setelah tengah hari, sebab saat itu darah cenderung melempem dan jiwa mengantuk. Mereka telah mempelajari kebenaran yang datang hanya kepada para asketik. Well, well; ada orang-orang baik dan khusyuk di Gereja Roma, orang-orang di Gereja Anglikan yang menjadikan hidup mereka pengorba­nan, orang-orang di gereja-gereja lain yang bergerak menuju ideal mereka. Tapi aku tak pernah bertemu kepala gereja renta, enak, baik hati di Inggris, dengan rumah jadul tente­ramnya, perpustakaan nyamannya, dan kursi besar untuk tidur-tiduran, tanpa terpikir pada si pendeta Buddhis, yang tentu tidak punya harta-benda, bergantung pada derma untuk makanan, minum hanya air dan makan hanya nasi. Kami menembus hutan lebat dan kusut, dengan dahan-dahan bercakar menjulurkan lengan mereka seolah hendak menahan kami, dan udara semakin panas dan berbau daun-daun busuk, dan bunyi lengking sejuta serangga di telinga kami, dan kupu-kupu cantik bersayap ornamen berkepak-kepak, dan bunga-bunga anggrek yang subur di tepi jalan. Kami menemukan sebidang tanah kecil terbuka, dan di situ kami duduk. Aku capek, dan jatuh ke posisi terlentang. Pendeta duduk di atas pangkal pahanya dan menyingsat jubah kuningnya. Aku mengeluarkan pipa dan merokok. Setelah beberapa saat aku menengok. Pendeta sedang duduk dalam posisi Buddha, seluruh tubuh tenang, satu tangan menunjukkan telapak, satu lagi bergantung. Badan sedikit bungkuk ke depan. Aku hendak bicara, tapi aku ter­bungkam oleh wajah orang itu. Bagiku ada suatu kegaiban pada wajah Timur, khususnya pada mata cokelat hampir hi­tam, dan corak oker pada bola mata, seolah ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak dipahamkan kepada orang-orang dari warnaku. Tapi ketika wajahnya adalah wajah orang Timur yang sejak masa kanak-kanak telah mendisiplinkan daging (raga), ketika itu kurus cekung, dan kepala gundul, dan selu­ruh pembawaannya tak bergerak seperti patung, tapi di mata­nya ada tatapan (tak sadar akan lingkungan sekitar) seolah sedang mengamati menembus kabut, maka suatu sensasi mengalir dalam darah seseorang, menahannya terdiam tak­zim, membuatnya merasa bahwa mematahkan mantra itu adalah kemungkaran. Sang pendeta Buddha telah tenggelam ke dalam kontemplasi. Jeritan seekor burung yang kaget, yang meluncur kepada kami dan melesat pergi, membuat pendeta mengangkat kepalanya. Dia bangun dari lamunannya. Dia menoleh kepadaku dan tersenyum. Aku membuka kaleng kecil berisi nasi yang kubawa, dan kami berjongkok berseberangan dan, dengan jari-jari dan jempol, pelan-pelan, hampir meditatif, mengakhiri puasa kami. Hari menghangat; udara pekat dan beruap dan pengap. Dunia sedang mengantuk. Lalu dia bicara padaku: “Tugas jiwa adalah mengabaikan raga. Jadi kau harus singkirkan dirimu dari dunia. Adalah baik manusia berkontemplasi. Datanglah ke tempat seperti ini, di mana orang-orang lain tidak akan mengganggu, dan duduklah seperti Master. Jangan kendalikan pikiranmu; jangan bimbing mereka. Diam dan biarkan mereka pergi ke manapun mereka mau. Satu jam, dua jam, tiga jam akan berlalu—apa itu waktu?—dan kemudian datanglah keheni­ngan kepada otak. Semua urusan dunia terasa menguap, kekerasan hati melunak, dunia menjadi alam damai. Lalu datang keburaman penglihatan, hampir koma, dan kau merasa hanyut ke dalam kemurnian. Setelah itu, kau dapat melihat dengan jernih. Itu tidak selalu datang, dan kadang datang pelan-pelan. Jadi kau duduk dalam transe, seluruh dunia dilupakan, dan jiwamu damai. Ah! kau dapat duduk sejak matahari terbit sampai matahari terbenam dalam pemujaan kedamaian. Ketika itu selesai, kau berjalan dengan bahagia—kau sudah mengikis kontaminasi dari jiwamu; kau baik kepada dunia, tapi kau mengetahui kenihilan semua itu. Kepada kegelapan damai yang darinya kau datang saat lahir, ke sana pulalah kau akan kembali saat mati. Apa kau pernah mencurahkan seluruh harimu untuk kontemplasi, duduk sendirian di tengah hutan?” “Tidak,” kataku.
Judul asli : Life’s Contrasts: Chapter 3. The Cloaks of Religion<i=1kPJuQxVDpatNlmRWgd7wq9Hd19ApzrEx 362KB>Life’s Contrasts: Chapter 3. The Cloaks of Religion
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Januari 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Jubah-jubah Agama

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2025)