Skip to content
Din-i-Ilahi: Sebuah Agama Baru Untuk Mempersatukan? – Relift Media

Din-i-Ilahi: Sebuah Agama Baru Untuk Mempersatukan? Bacaan non-fiksi sejarah

author _Makhanlal Roychoudhury Sastri_; date _1941_ genre _Sejarah_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Din bukanlah agama di luar Islam, bukan pula potongan darinya. Seorang Ilahian tak pernah menganggapnya agama terpisah; seorang Ilahian seringkali sama ortodoksnya dengan seorang Mullah. Kredo Sufi Din-i-Ilahi diumumkan pada awal tahun 1582. Menurut Bartoli terdapat sebuah dewan for­mal sebelum pengumuman Din-i-Ilahi, “Syeikh (Mubarak) diutus untuk memproklamirkan di semua tempat bahwa dalam waktu dekat hukum yang hendak dianut di seluruh pelosok Kekaisaran Mughal akan dikirim dari istana dan mereka mesti bersiap mengambilnya untuk yang terbaik dan menerimanya dengan hormat apapun itu. Kita tidak tahu lebih banyak tentang perutusan Mubarak; terlebih nada dan bahasanya tidak cocok dengan Ujaran Bahagia-nya Akbar, “Mengapa aku mesti mengklaim menuntun manusia sebe­lum aku sendiri tertuntun.”

Prinsip-prinsip Din-i-llahi

Smith mengatakan prinsip-prinsip sistem ini tidak ditetap­kan dengan tepat dan ada banyak ketidakpastian terkait maknanya sampai 1587. Itu memang “tak ditetapkan”, karena itu bukan agama baru; itu adalah rangkuman agama lama. Dengan tiadanya risalat tertulis mengenai subjek ini, ada banyak keleluasaan untuk imajinasi. Von Noer berpen­dapat sistem itu seperti sistem Freemasonry atau Illuminati. Jadi tidaklah perlu untuk mendeklarasikannya di depan umum. Badauni juga mengatakan sang Mujtahid agama baru ada­lah satu-satunya tempat penyimpanan azas-azas agama ter­sebut. Cerita Badauni hanya berkenaan dengan ritual-ritual luaran kredo tersebut dan menggambarkan formalitas yang dijalankan oleh Akbar. Badauni hampir tidak memberi infor­masi baru apapun tentang prinsip-prinsip kredo. Seperti seorang Mullah biasa, dia mengidentikkan azas-azas dengan tambahan-tambahan, dan formalitas salah dikira sebagai prinsip. Abul Fazl dalam Ain No. 77 perihal “Yang Mulia seba­gai penuntun spiritual masyarakat”, mengawali dengan nada Sufis tapi meninggalkannya dengan harapan saleh, “Seandai­nya kesibukanku memberi cukup waktu luang dan seandai­nya masa hidup kedua diberikan kepadaku, aku berniat meng­hadirkan kepada dunia sebuah jilid terpisah perihal ini.” “Kesibukan”-nya tidak memberinya waktu luang, pun “masa hidup kedua” tidak diberikan kepadanya dan kita kehilangan jilid terpisah perihal itu. Para misionaris Portugis yang me­ngunjungi istana semasa periode ini punya cara aneh dalam menggambarkan keadaan, mereka umumnya mencampur gosip dengan fakta yang seringnya melucuti kenyataan dari esensinya jika ada esensi sama sekali. Satu-satunya penulis yang menceritakan azas-azas Din-i-Ilahi adalah Mohsin Fani yang menggambarkan sebagiannya dalam Dabistan-i-Mazahib-nya yang terkenal. Dabistan tidak secara langsung mendiskusikan Din-i-Ilahi tapi secara tidak langsung meng­ungkapkan prinsip-prinsip internal sistem melalui lisan sang filsuf dalam sebuah dialog. Narasumber Mohsin Fani adalah Mirza Shah Muhammad, anak Baigh Khan yang mengeta­huinya langsung dari Azam Khan—anggota Din-i-Ilahi. Mohsin Fani adalah pengamat yang simpatik, tak seperti Badauni atau para pendeta Portugis; dan ada sentuhan romansa dalam caranya mengatakan sesuatu. Sang filsuf Dabistan yang mewakili Kaisar di akhir sebuah debat umum di mana para pembela agama-agama lain hadir, mengemu­kakan Din-i-Ilahi dalam sepuluh kebajikan:
  1. Kerelaan hati dan kemurahan hati.
  2. Pengampunan pelaku keburukan dan penolakan amarah dengan kelembutan.
  3. Pemantangan dari keinginan-keinginan duniawi.
  4. Pemeliharaan kebebasan dari ikatan-ikatan eksis­tensi duniawi dan kekerasan selain pengumpulan simpanan berharga untuk dunia nyata dan abadi di masa depan.
  5. Kebijaksanaan dan kebaktian dalam sering-sering merenungkan konsekuensi tindakan.
  6. Kekuatan kehati-hatian tangkas dalam keinginan tindakan-tindakan ajaib.
  7. Suara lembut, kata-kata lembut, tutur kata menye­nangkan kepada setiap orang.
  8. Perlakuan baik kepada saudara, sehingga kemauan mereka didahulukan daripada kemauan kita.
  9. Pengasingan total dari para makhluk dan keterikatan total dengan Yang Maha Tinggi.
  10. Pengabdian jiwa dalam kasih Tuhan dan persatuan dengan Tuhan sang pemelihara segala.
Keseluruhan filosofi Akbar adalah: “Shast murni dan penglihatan murni tak pernah salah.” Dengan demikian, penekanan besar diberikan pada kemurnian kehidupan individual dan kemurnian pandangan terhadap urusan hidup. Amal-amal yang diikuti oleh Akbar dan “Ujaran Bahagia”-nya, sebagaimana dikutip oleh Abul Fazl, menguatkan kenyataan yang terdapat di balik filosofi Akbar. Dalam mendiskusikan sistem Sufi-nya Akbar, kita tidak boleh meluputkan ritual-ritual dan pendeta-pendetanya, seremoni-seremoni dan amal-amalnya, inisiasi-inisiasi dan simbol-simbol persaudaraan kredo Sufi ini, sebab mereka adalah bagian pengiring dari sistem. Bahkan dalam setiap agama, entah utama atau turunan, formalitas ditonjolkan sebanyak ideal yang akan dipuja. Dalam latar belakang per­kembangan sebuah agama terdapat pengalaman keagamaan pengusungnya. Perbedaan di antara sistem-sistem keaga­maan besar didasarkan bukan pada perbedaan cita-cita ter­tinggi, sebab objek ibadahnya sama hampir di setiap tempat, tapi mereka berbeda dalam bentuk ibadah. Perang adalah jalan tapi bukan tujuan. Sesungguhnya formalitas dan ritual bukanlah tujuan, tapi hanya sarana menuju suatu tujuan. Tapi sayangnya sejarah agama menunjukkan bahwa bentuk-bentuk rupanya dianggap sebagai tujuan, dan tujuan hilang di labirin bentuk-bentuk; dan kredo-kredo baru lainnya ber­kembang bukan sebagai perbedaan azas tapi sebagai perbe­daan formalitas, ritual, dan seremoni.
Judul asli : Din-i-Ilahi: Chapter 7 & 8<i=18OhYc0STZPI1HQUYAVn-YMEphc1qgu5s 524KB>Din-i-Ilahi: Chapter 7 & 8
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Januari 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Din-i-Ilahi: Sebuah Agama Baru Untuk Mempersatukan?

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2025)