Skip to content
Dialog Jiwa dan Raga – Relift Media

Dialog Jiwa dan Raga Cerita fiksi filsafat

author _Edward Plunkett Dunsany_; date _1910_ genre _Filsafat_; category _Cerpen_; type _Fiksi_ Satu demi satu dia ceritakan mimpi-mimpi semua yang tidur di jalan itu. Kadang dia berhenti untuk mencaci-maki raga karena bekerja buruk dan lambat. Jari-jari dinginnya menulis secepat yang mereka bisa, tapi jiwa tak peduli soal itu. Maka malam terus beranjak sampai jiwa mendengar kerincing dalam langkah kaki pagi jauh di langit Timur. “Mengapa kau tak ikut menari dan bergembira dengan kami?” kata mereka kepada raga tertentu. Dan kemudian raga ini mengakui kesusahannya. Ia berkata: “Aku dipersatukan dengan sebuah jiwa yang galak dan keras, yang sepenuhnya tiran dan tak membiarkanku istirahat, dan dia menyeretku dari tarian kerabatku agar aku banting tulang dengan peker­jaan jeleknya; dan dia tak membiarkanku melakukan hal-hal kecil, yang akan memberi kesenangan kepada orang-orang yang kucintai, tapi hanya suka menyenangkan anak-cucu saat dia sudah selesai denganku dan menyerahkanku kepada cacing-cacing kelak; dan sepanjang waktu dia membuat tuntutan rancu, yaitu kasih-sayang dari orang-orang di dekatku, dan terlalu angkuh untuk bahkan memperhatikan apapun yang kurang dari tuntutannya, sehingga orang-orang yang semestinya baik kepadaku semuanya membenciku.” Dan si raga tak bahagia tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dan mereka berkata: “Tak ada raga berakal yang peduli pada jiwanya. Jiwa adalah benda kecil, dan tidak semestinya memerintah raga. Kau mestinya minum dan merokok lebih banyak sampai dia berhenti menyusahkanmu.” Tapi raga hanya berderai air mata, dan berkata, “Jiwaku adalah jiwa yang menakutkan. Aku sudah menghalaunya dengan minu­man untuk beberapa lama. Tapi dia akan segera kembali. Oh, dia akan segera kembali!” Dan raga pergi tidur, berharap untuk istirahat, sebab ia mengantuk karena minuman. Tapi persis saat tidur men­dekatinya, ia mendongak, dan di sana jiwanya sedang duduk di ambang jendela, sesosok nyala cahaya berkabut, dan me­mandang ke sungai. “Kemarilah,” kata jiwa tiran, “dan lihatlah jalan raya itu.” “Aku butuh tidur,” kata raga. “Tapi jalan itu indah,” kata jiwa dengan berapi-api; “sera­tus orang sedang bermimpi di sana.” “Aku sakit karena kurang istirahat,” kata raga. “Itu tak masalah,” kata jiwa kepadanya. “Ada jutaan sepertimu di bumi, dan jutaan lagi akan pergi ke sana. Mimpi-mimpi orang-orang sedang mengembara jauh; mereka melin­tasi lautan dan pegunungan peri, menyusupi jalan-jalan seta­pak berseluk-beluk dituntun oleh jiwa-jiwa mereka; mereka datang ke kuil-kuil keemasan berdentingkan seribu lonceng; mereka melewati jalan-jalan curam diterangi lentera-lentera kertas, di mana pintu-pintunya hijau dan kecil; mereka tahu jalan mereka ke bilik-bilik para penyihir dan kastil-kastil tenung; mereka tahu mantra yang membawa mereka ke jalan-lintas sepanjang pegunungan gading—di satu sisi menengok ke bawah, mereka melihat ladang-ladang masa muda mereka, dan di sisi lain terhampar dataran masa depan yang berseri-seri. Bangun dan tuliskan apa yang orang-orang itu mimpikan.” “Apa balasannya untukku,” kata raga, “jika aku menuliskan apa yang kau perintahkan?” “Tidak ada balasan,” kata jiwa. “Kalau begitu aku akan tidur,” kata raga. Dan jiwa mulai menyenandungkan sebuah lagu iseng yang dinyanyikan oleh seorang pemuda di sebuah negeri fabel saat melintasi sebuah kota keemasan (di mana para penjaga berapi-api berdiri) dan tahu isterinya ada di dalam­nya, meski masih seorang anak kecil, dan tahu dari nubuat bahwa perang-perang dahsyat yang belum timbul di pegunu­ngan jauh dan asing akan bergulung di atasnya dengan debu dan dahaga mereka sebelum dia datang ke kota itu lagi—sang pemuda menyanyikannya saat melintasi gerbang, dan kini sudah mati seribu tahun bersama isterinya. “Aku tak bisa tidur karena lagu jelek itu,” teriak raga kepada jiwa. “Lakukan sesuai perintah,” balas jiwa. Dan dengan letih raga mengambil pena lagi. Lalu jiwa berbicara riang sambil memandang jendela. “Ada sebuah gunung yang menjulang curam di atas London, setengah kristal dan setengah kabut. Ke sana para pemimpi pergi ketika bunyi lalu-lintas datang. Mulanya mereka hampir tidak bermimpi gara-gara deruan­nya, tapi sebelum tengah malam itu berhenti, dan berbelok, dan surut bersama semua rongsokannya. Lalu para pemimpi bangun dan mendaki gunung berkilau itu, dan di puncaknya menemukan galiung-galiung mimpi. Di situ sebagian ber­layar ke Timur, sebagian ke Barat, sebagian ke Masa Lalu dan sebagian ke Masa Depan, sebab galiung-galiung itu melayari tahun-tahun selain ruang-ruang, tapi kebanyakan mereka menuju Masa Lalu dan pelabuhan-pelabuhan kuno, sebab ke sana desahan orang-orang kebanyakan tertuju dan ke sana kapal-kapal mimpi pergi sebelum mereka, seperti para pedagang menyusuri pantai Afrika sebelum angin pasat tiada henti. Kulihat galiung-galiung itu bahkan saat ini mengang­kat jangkar demi jangkar; bintang-bintang menyorot dekat mereka; mereka meluncur dari gelap malam; haluan-haluan mereka pergi berseri-seri ke dalam senjakala kenangan, dan malam segera menjauh, sebuah awan hitam bergelantung rendah, dan sedikit berbintik bintang-bintang, seperti pelabu­han dan pesisir suatu dataran rendah yang terlihat dari jauh dengan lampu-lampu pelabuhannya.”
Judul asli : The Unhappy Body<i=1uS5V2O0z67b6xKf_FGJZZuB6RtpLSPaF 177KB>The Unhappy Body
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Januari 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Dialog Jiwa dan Raga

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2025)