Skip to content
Demokrasi Sebagai Agama – Relift Media

Demokrasi Sebagai Agama Bacaan non-fiksi filsafat

author _Maynard Shipley_; date _1919_ genre _Filsafat_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Baginya, demokrasi mencakup semua bahan esensial semua agama, dari semua masa dan tempat. Agama bukanlah satu set pernyataan yang harus diyakini, tapi sejenis kehidupan yang harus dijalani. Agama adalah jumlahan hubungan manusia dan aktivitas sosial kita di bawah hukum kasih. [Tn. Maynard Shipley dikenal luas dalam dua bidang usaha sastra yang bercabang. Sebagai penulis tentang hukum pidana dan kriminologi, dia menyumbang monograf-mono­graf ke jurnal-jurnal teknis terkemuka di negeri ini dan Eropa, dan merupakan pengarang sebuah karya komprehensif me­ngenai sejarah hukuman mati, yang hingga kini baru seba­gian diterbitkan. Di sisi lain, lektur-lektur sains populernya dikenal di seluruh AS, dan dia menerbitkan artikel-artikel tentang astronomi dan topik-topik serupa dalam berbagai majalah sains. Volume pertama Tn. Shipley, From Star-Dust to Aeroplane, sebuah buku tentang evolusi, diharapkan siap terbit pada awal 1920.—Editor The Open Court.]
“Aku katakan bahwa keagungan nyata dan permanen dari Negara-negara Bagian ini haruslah agama mereka.” --Whitman
Sebuah demokrasi sejati, menurut Walt Whitman, adalah sebuah persemakmuran yang didirikan di atas hukum kasih dan tolong-menolong yang murah hati, hukum kehidupan, sebagaimana hukum kebencian adalah jalan kematian. Perhimpunan komrad demikian tentu saja bakal mengembangkan latar belakang spiritual yang memuliakan, dengan sebuah agama baru—atau setidaknya sebuah agama lama yang dijadikan baru, agama Yesus, sebuah agama di mana kasih, kesetiaan, pelayanan sosial, dan perkomradan dermawan menjadi kata kunci permuridan. Whitman tak peduli pada basa-basi dan kesalehan Purita­nis belaka, kesucian berupa tidak mengerjakan hal-hal ter­tentu seraya membiarkan begitu banyak hal tidak dikerjakan. “Celetukan apa ini tentang kebajikan dan tentang keasusila­an?” tanya Whitman. Jawabannya adalah bahwa:
“Apa yang berjalan baik di masa lalu, atau berjalan baik hari ini, tidak begitu mengherankan; Yang mengherankan adalah, selalu dan selalu, bagai­mana bisa ada orang keji atau orang kafir.”
Agama dalam Leaves of Grass sangat berbeda dari apa yang dinamakan agama ortodoksi. Whitman menyatakan dirinya bisa belajar lebih banyak tentang agama sejati dari seekor sapi ketimbang dari seorang gerejawan. Binatang-binatang begitu “tenang dan pendiam” sehingga dia bisa “berdiri dan melihati mereka lama sekali”, mengambil contoh dari mereka. Berkata dia:
“Mereka tidak berpeluh dan merengek soal kondisi mereka; Mereka tidak terjaga di malam hari dan menangisi dosa-dosa mereka; Mereka tidak membuatku muak mendiskusikan ke­wajiban mereka kepada Tuhan; Tak satupun merasa tak puas—tak satupun gila dengan mania mempunyai barang-barang; Tak satupun berlutut kepada yang lain, pun tidak ke­pada jenisnya yang hidup ribuan tahun silam; Tak satupun terhormat atau rajin di seluruh bumi.”
Mengabaikan para teolog, Whitman bertanya,
“Mengapa aku mesti berdoa? Mengapa aku mesti me­muja dan berseremoni?”
Dia “melantunkan lantunan pembesaran atau kebangga­an”, menyatakan bahwa “Kita sudah cukup membungkuk dan menyesal”. Berdoa dan memuja, takut neraka dan menghin­dari Iblis, tidak menghasilkan seorang Kristiani, pun agama tidak terdiri dari khotbah dan Alkitab dan kepatuhan. Leaves of Grass memproklamirkan sebuah agama kemanu­siaan, yang berlandaskan bukan pada tradisi dan kredo, tapi pada kebutuhan dan aspirasi inteligensia yang tercerahkan, pada pengidaman-pengidaman hati manusia itu sendiri. Whitman menyatakan akidah miliknya adalah “yang terbesar di antara akidah-akidah dan yang terkecil di antara akidah-akidah”. Kendati tidak menolak satupun nabi dan peramal dari masa lalu yang telah berkontribusi dengan suatu cara pada peninggian spiritual manusia,
“Menerima mereka semua sesuai dengan nilai mereka dan tidak satu sen lebih banyak, Mengakui bahwa mereka dulu hidup dan melakukan pekerjaan di masa mereka,”
tapi—
“Menemukan sama banyaknya, atau lebih banyak, pada seorang tukang kusen yang mengkusen sebuah rumah; Meletakkan hak-hak lebih tinggi untuknya di sana dengan lengan bajunya yang digulung, memukul martil dan pahat; Tak keberatan dengan pengungkapan khusus, meng­anggap selingkar asap atau sehelai rambut di pung­gung tanganku sama anehnya dengan pengungka­pan apapun.”
Pun Whitman tidak menolak “para penebus”. Mereka juga selalu bersama kita. Kita ditebus—
“Oleh isteri mekanik dengan bayi di putingnya yang bermohon untuk setiap orang yang dilahirkan, Tiga sabit saat panen yang mendengung berturut-turut dari tiga malaikat sehat dengan kemeja yang ber­gantung di pinggang, Pekerja istal losmen bergigi tak rata dengan rambut merah yang menebus dosa-dosa yang lalu dan akan datang, Menjual semua barang miliknya, bepergian jalan kaki untuk membayar tarif para pengacara untuk sau­daranya dan duduk di dekatnya selagi dia disidang atas penipuan.”
Di sini kita menjangkau sangat dekat dengan jantung Keempat Injil, di mana agama Yesus, dalam hal semangat, dilestarikan untuk umat manusia. Saat membaca Leaves of Grass kita segera belajar me­rasakan sukacita Whitman dalam agama sebagai sebuah fase demokrasi. Baginya, demokrasi mencakup semua bahan esensial semua agama, dari semua masa dan tempat. Agama bukanlah satu set pernyataan yang harus diyakini, tapi sejenis kehidupan yang harus dijalani. Agama adalah jumla­han hubungan manusia dan aktivitas sosial kita di bawah hukum kasih. Inilah yang Whitman maksud saat dia berte­riak gembira:
“Komradku! Kau berbagi denganku dua keagungan, dan yang ketiga yang sedang terbit, inklusif dan lebih gilang-gemi­lang, Keagungan Kasih dan Demokrasi, dan keagungan Agama.”
Judul asli : Democracy as a Religion<i=1GpnHb2Hu0-NfwVL4XdUpLEXtaoXSS1vH 255KB>Democracy as a Religion
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Januari 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Demokrasi Sebagai Agama

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2025)