Bahwa kita agak bingung bagaimana harus menata hidup kita sendiri secara memuaskan, ini sama sekali tidak membuktikan kita memadai untuk tugas menyediakan tatanan memuaskan untuk kehidupan generasi-generasi mendatang; bahwa kita tidak mencukupi untuk fungsi manusiawi, ini hampir tidak memberi kita hak atas fungsi ilahi penciptaan.
Ide pembiakan sebagai prinsip pemandu untuk masyarakat manusia memiliki banyak dan beragam aspek dan implikasi. Aspek-aspek tersebut adalah (a) promosi kemurnian ras; (b) preferensi/kesukaan kepada varietas rasial tertentu, contohnya “Nordik”; (c) perencanaan material kemanusiaan bangsa oleh pemimpin politiknya; (d) seleksi untuk tujuan biologis dan medis; dan meski tentu saja bisa dipisahkan dari satu sama lain, aspek dan implikasi ini bersangkutpaut dalam berbagai cara. Seketika dapat dilihat bahwa kita sama sekali tidak sedang berurusan hanya dengan sebuah bias reaksioner; bahkan, ideal pembiakan tampaknya lumayan disamakan dengan klaim Sosialis atas swa-determinasi sadar pada skala kolektif dan juga dengan ambisi eugenik naturalisme dan rasionalisme sayap Kiri. Gereja Roma, memprotes skema sterilisasi Nazi atau penilaian moralitas seksual Nazi berdasarkan standar eugenik, memprotesnya karena Gereja secara mendarah-daging tak percaya terhadap sekumpulan besar aspirasi “progresif”. Namun, tak ada yang mengikat kita untuk percaya bahwa rencana-rencana progresif adalah logis dan bisa diterima secara universal atau bahwa niat-niat eugenik dan sosialistik betul-betul berlaku dalam visi völkisch pembiakan bangsa. Kenyataannya adalah bahwa ideal swa-determinasi manusia yang dikonsepsikan dari segi kontrol atas substansi manusia itu sendiri (alih-alih pembenahan hubungan antar-manusia) memiliki relevansi ambigu dengan kebebasan dan juga rasionalitas; dan kenyataan yang lebih jelas lagi adalah bahwa apapun makna humanistik dan rasional yang terkandung dalam eugenika secara umum, itu terendam oleh nada-nada tambahan tribalisme takhayul “Teutonik” dan kesewenangan fasis dalam formula Nazi.
Bukan hak kita untuk membahas masalah eugenika secara keseluruhan; tapi aku pikir tepat, demi memahami subjek khusus kita, untuk menunjukkan secara ringkas kekurangan-kekurangan moral yang (terlepas dari semua perhiasan yang dipakaikan oleh Nazi) melekat dalam skema-skema eugenik. Secara kasar, mereka tampaknya terdari dari empat bagian. (1) Pembiakan material manusia melalui metode-metode biologis dapat dengan mudah membawakan bahaya naturalisme yang anti-Kristen dan tak etis. Perhatian dicabut dari permasalahan struktural kerjasama sosial, dari penyesuaian kondisi sosial dengan standar keadilan dan ekuiti yang dapat mencerahkan, mengatur, dan menyatukan pikiran orang-orang yang terlibat; dalam langkah yang berlebihan, itu dicurahkan pada tugas menjamin “kesehatan” mental dan jasmani orang-orang yang bahkan belum hidup. Dengan demikian, eugenika mengandung semacam godaan untuk melewatkan permasalahan spiritual eksistensi kita yang tak terhindari, menggantikan sebuah usaha riil untuk mengatasinya dengan sebuah pretensi untuk menghasilkan pemikul-pemikul eksistensi yang lebih berkelengkapan. Padahal, sebagai contoh, masalah pembangunan sebuah jembatan rumit tidak dipecahkan dengan menunjukkan perlunya memiliki insinyur-insinyur cukup makan dan cukup tidur malam; metode tersebut lebih-lebih tidak membantu ketika persoalan yang menjadi taruhan adalah apakah kita sebaiknya memiliki jembatan sama sekali atau tidak. (2) Sebagaimana begitu sering terjadi pada upaya-upaya rasionalisasi yang salah terap, di sini pun rasionalisasi mungkin ternyata merupakan sebuah kreasi rasionalitas palsu, sebuah perbuatan taumaturgik ketimbang rasional. “Ketepatan” zahir formula-formula “saintifik” dapat, lebih pesat daripada yang lain, menggerakkan orang-orang di jalan licin takhayul busuk tapi menggiurkan. Kedokteran itu sendiri menyodorkan contoh-contoh menyedihkan ketakterdugaan ini; tapi dalam kasus eugenika, prospeknya berubah memburuk, sebab di sini kans dan uji kontrol menghilang ke dalam labirin ketidakpastian. Bahwa kita agak bingung bagaimana harus menata hidup kita sendiri secara memuaskan, ini sama sekali tidak membuktikan kita memadai untuk tugas menyediakan tatanan memuaskan untuk kehidupan generasi-generasi mendatang; bahwa kita tidak mencukupi untuk fungsi manusiawi (memastikan urusan kita saat ini dikelola dengan baik), ini hampir tidak memberi kita hak atas fungsi ilahi penciptaan. Aku sebaiknya tidak terlalu yakin bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati; aku lebih suka kankerku diobati, kalau sampai penyakit tersebut menimpaku, daripada menghabiskan seluruh hidupku dengan lari dari kanker, dan juga dari sepasukan penyakit serupa. Tapi sudah pasti pepatah tersebut memiliki arti, mengingat batasan cakupannya; dengan asumsi bahwa vaksinasi yang aman cukup manjur untuk mencegahku terkena penyakit menular, itu jelas lebih bermanfaat daripada pengobatan terbaik; dengan asumsi bahwa cara hidup pertengahan, di antara banyak keuntungan lain, juga melindungi organisme dari infeksi tuberkulosis, itu lebih-lebih patut dipuji karena itu. Namun, semakin cakupan pencegahan diperbesar, semakin idenya menjadi lancung dan sia-sia. Kita hanya bisa berurusan dengan masa depan selama itu masih bagian organik dari masa kini. Penyakit-penyakit baru barangkali akan bermunculan ketika penyakit-penyakit yang kini mengerubungi kita disingkirkan; ini bukan argumen anti pemerangan penyakit-penyakit masa kini, melainkan argumen anti kepercayaan memperdaya bahwa kita sedang “menghalangi” penyakit-penyakit masa depan. Keadaan memburuk ketika ideal-ideal positif diseret masuk. Barangkali kita bakal sepenuhnya membebaskan generasi berikutnya, atau sesudah berikutnya, dari virus sifilis, dan hampir tidak mungkin mereka akan menyalahkan kita untuk itu. Tapi konsepsi positif akan sebuah “kehidupan bagus” yang mungkin merata di antara kita hari ini mungkin juga akan kehilangan daya tariknya besok; kita dapat “membiakkan” sebuah ras masa depan yang dianugerahi otot kuat atau otak kuasa, yang akan mengarahkan hatinya sepenuhnya pada pengalaman agama atau erotik. Dengan begitu makna “pralihat” tidak terlalu luas. (3) Selanjutnya, rasionalitas eugenik adalah contoh tipikal rasionalitas asing. Itu tampaknya menundukkan hidup manusia pada pengaturan oleh pikiran manusia; tapi itu pada hakikatnya pikiran orang lain, bukan pikiran mereka sendiri. Situasi ini sangat berbeda dari situasi yang dijumpai di sistem kemahakuasaan negara otoriter atau sosialis. Sebab sebuah negara diktatoris dan arogan pun sama sekali tidak seluruhnya independen dari cara merasa para warganya; tapi kekuasaan negara paling liberal dan pemurah pun tidak bisa merasakan citarasa dan kesukaan bayi yang belum dilahirkan. Karenanya, penentuan manusia melalui eugenika adalah kasus ekstrim dari apa yang Profesor Mannheim sebut dengan cerdas sebagai “rasionalisasi fungsional” dan bukan “rasionalisasi substansial”. Di luar batas-batas tertentu, upaya untuk membuat manusia berperilaku sesuai skema yang dipratentukan semakin mencampuri cara mereka berperilaku berdasarkan pemikiran. Dengan demikian keberatan-keberatan G. K. Chesterton terhadap eugenika sebagai sebuah arus-keluar aspirasi membudak mendapatkan penguatan dari sosiologi modern kurang-lebih melampaui persangkaan bias Katolik. Tidaklah sama antara kita berniat memuliakan orang-orang untuk menertibkan hidup mereka dengan berpikir dan mengenakan pada mereka hasil-hasil dan efek-efek (sebagian, efek jauh) dari pemikiran orang-orang lain yang kebetulan berkuasa. Nah, orang-orang yang memerintah sebelum aku lahir, meskipun mereka demokrat dan humanis tak bercela, adalah semata-mata “orang-orang yang kebetulan berkuasa”, jika dilihat dari sudutpandangku; sebab tidak ada sedikitpun hubungan timbal-balik dan koresponsif antara kami. (4) Sebuah konsekuensi lanjutan menunjuk ke arah bahaya ketidaksetaraan fundamental yang inheren dalam “perencanaan” manusia oleh manusia. Dogma-dogma kepribadian dan kesetaraan tidak bisa dipisahkan dari pokok “givenness” eksistensi manusia yang menuntut penghormatan absolut dan pengakuan yang tak dipertanyakan. Orang-orang merupakan data primer; pengorganisasian dan pelembagaan mereka melambangkan bidang pengaturan dan penyesuaian. “Material” manusia, entah dalam pengertian statistik, politik, militer, pendidikan, ekonomi, atau lainnya, hanyalah sebuah istilah relatif yang bisa diterapkan hanya pada isu-isu fungsional tertentu. Begitu aksioma ini dibuang, demokrasi terlihat gila bukan main. Pemikiran Inggris, yang dibesarkan oleh peradaban industrial pribumi dan terlalu cepat dewasa, telah mengembangkan pengetahuan awal tentang sisi masalah ini. Di antara manifestasi anyarnya dapat disebutkan utopia mengerikan Aldous Huxley akan sebuah hirarki kelas-kelas antropologis yang “dihasilkan” secara ilmiah. Kepenciptaan dan kebapakan berdaulat Tuhan-lah, di luar jangkauan intervensi manusia dalam poin-poin esensial, yang menjadikan manusia “setara”, dengan kata lain berbagi kategori kehidupan yang identik dan berhak atas pertimbangan setara; para despot dunia lama maupun para fasis modern hanya bisa masuk tanpa izin ke pinggiran kesetaraan yang “tak terpindahtangankan”—tapi dibengkokkan dan dikaburkan berkali-kali lipat. Tapi begitu kita bebas untuk “membiakkan” manusia, adalah logis belaka bahwa kita membiakkan mereka dalam varietas-varietas seperti domba-wol dan domba-daging, atau anjing peliharaan dan anjing penjaga, atau kuda pacu dan sapi, sebagian ditakdirkan untuk melayani kebutuhan sebagian yang lain sebagaimana tuntutan kemanfaatan.
Judul asli | : | Breeding the Nation<i=1TXBWlzNSBMrnQlG5iHeKbbOqGshY6Ntw 534KB>Breeding the Nation (1938) |
Pengarang | : | Aurel Thomas Kolnai |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2025 |
Genre | : | Sosial |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |