Skip to content
Buddhisme di Jepang – Relift Media

Buddhisme di Jepang Bacaan non-fiksi religi

author _Nobuta Kishimoto_; date _1894_ genre _Religi_; category _Makalah_; type _Nonfiksi_ Fakta ini menunjukkan jangkauan dan sekaligus kekuatan pengaruh Buddhisme di tengah-tengah bangsa Jepang saat ini. Jepang sering disebut sebagai negara Buddhis, dan seluruh populasinya digolongkan sebagai penganut Buddhis. Dalam satu arti ini benar, tapi dalam arti lain tidak.

I Campuran Agama di Jepang

Sekitar 14 abad lalu, ketika pertama kali diperkenalkan ke Jepang, Buddhisme menjumpai tentangan kuat, terutama dengan alasan bahwa penduduk asli Jepang se­mestinya menyembah dewa-dewa mereka sendiri dan tidak seharusnya mengadopsi agama asing. Adalah fakta aneh bahwa di masa kini ada banyak Buddhis Jepang yang meng­gunakan jenis argumen yang sama untuk menentang penge­nalan Kristen. Mereka bilang bangsa Jepang harus setia kepada agama-agama lama mereka dan tidak boleh meng­adopsi Kristen—agama asing. Mereka tampaknya melupa­kan fakta bahwa Buddhisme itu sendiri sama asingnya de­ngan Kristen, atau mereka tampaknya mengabaikan fakta tersebut dengan sengaja dalam rangka menentang penye­baran Kristen. Dulu para pengikut Shintoisme-lah yang me­nentang masuknya Buddhisme ke Jepang, dan kini terutama para penganut Buddhisme-lah yang menentang pengenalan Kristen. Ini memang fakta aneh, tapi fakta ini menunjukkan jangkauan dan sekaligus kekuatan pengaruh Buddhisme di tengah-tengah bangsa Jepang saat ini. Jepang sering disebut sebagai negara Buddhis, dan seluruh populasinya digolong­kan sebagai penganut Buddhis. Dalam satu arti ini benar, tapi dalam arti lain tidak. Kecuali beberapa kasus ekstrim, tidak akan ditemukan banyak orang Jepang yang eksklusif Bud­dhis, dengan kata lain yang menganut Buddhisme saja, hingga mengesampingkan Shintoisme dan Konfusianisme sepenuhnya. Nyatanya, di kalangan biarawan dan pendeta pun tidak sedikit yang menyembah dewa-dewa Shintoisme. Dengan demikian, di satu sisi, bangsa Jepang secara kese­luruhan tidak bisa dianggap tergolong kepada Buddhisme, jika yang dimaksud semua orang Jepang adalah penganut eksklusif Buddhisme; tapi di sisi lain, mayoritas terbesar masyarakat Jepang bisa dengan aman dianggap sebagai Buddhis, atau sekurangnya Buddhistik, sejauh menyangkut pengaruh umum Buddhisme. Untuk membuat poin ini lebih bisa dipahami, aku harus menyampaikan beberapa patah kata tentang sistem-sistem agama dan moralitas berbeda yang eksis bersama-sama di Jepang modern dan sikap mereka terhadap satu sama lain. Terdapat tiga sistem agama dan moralitas berbeda di Jepang: Shintoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme. Shin­toisme terdiri dari penyembahan kekuatan-kekuatan alam, di bawah berbagai bentuk penyembahan Leluhur, penyembahan Langit, penyembahan Alam, penyembahan Fetish, dan seba­gainya. Dari sudutpandang lain, ia adalah agama kemurnian dan keriangan. Ini adalah agama pribumi, dan tak diragukan lagi sama tuanya dengan bangsa Jepang itu sendiri. Kemu­dian Konfusianisme datang ke Jepang dari benua Asiatik sekitar 16 abad lalu, dan ia disambut karena tidak menanam­kan sesuatu yang tak serasi dengan Shintoisme; ajaran dasarnya adalah ketaatan dan kesetiaan, keadilan dan kemu­rahan. Di Jepang, Konfusianisme tak pernah dipahami sebagai agama. Ia hanya menyediakan aturan hidup. Selagi integrasi kedua sistem ini sedang berjalan, Buddhisme diperkenalkan di pertengahan abad 6 M, yakni sekitar 300 tahun setelah pengenalan Konfusianisme. Mulanya ia menjumpai tenta­ngan tegas, karena perasaan kebangsaan kuat anti agama-agama asing. Tapi dalam perjalanan waktu, hakikat sejatinya berangsur-angsur dikenal. Orang-orang jadi menyadari kebenaran ajaran kesengsaraan dunia saat ini dan karenanya kebutuhan akan penyelamatan. Jadi, tadinya dipandang ren­dah, Buddhisme akhirnya menjadi agama populer Jepang. Tapi ia tidak mengusir Shintoisme dan Konfusianisme. Shin­toisme menyediakan objek-objek sembahan; Konfusianisme menyediakan aturan hidup; sementara Buddhisme menun­jukkan jalan keselamatan. Secara terpisah, ketiga sistem ini cacat, masing-masing melambangkan, boleh dibilang, hanya satu dari tiga sudut sebuah segitiga. Tapi secara bersama-sama, mereka mampu untuk pertama kalinya memuaskan semua kebutuhan agama dan moral orang-orang senegeri kami. Jadi saat kami mengatakan ada tiga sistem agama dan moralitas di Jepang, ini tidak berarti masing-masing memi­liki kumpulan penganutnya sendiri yang khas dan eksklusif. Sebaliknya, ajaran para pengikut ketiga sistem berlainan ini begitu sering saling bertumpang-tindih sehingga secara umum satu orang Jepang yang sama memainkan peran rang­kap tiga dalam kehidupan beragamanya: menyembah dewa-dewa Shinto, mengadopsi aturan hidup Konfusian, dan mem­percayai penyelamatan Buddhis di Nirvana yang diberkati. Jika orang bertanya, Mana di antara ketiga elemen ini (bersama-sama membentuk apa yang di tempat lain ku­namakan campuran agama Jepang) yang paling berpengaruh dan paling penting, ada satu jawaban saja. Buddhisme dulu dan sekarang adalah yang paling berpengaruh dan paling penting. Satu atau dua fakta akan mengindikasikan seberapa banyak pengaruh yang dikerahkan oleh Buddhisme dalam mencetak pemikiran dan kehidupan Jepang. Satu bukti men­colok akan pengaruh Buddhisme adalah penghapusan maka­nan hewani secara hampir total, bukan hanya di kalangan biarawan dan pendeta Buddhis, yang sebagian besarnya adalah vegetarian ketat, tapi juga di kalangan masyarakat Jepang secara umum. Di zaman awal kami, makanan hewani tampaknya sangat umum. Bahkan dalam ritual-ritual Shinto yang dikumpulkan di abad 10 M, terdapat penyebutan “barang-barang berbulu kasar dan barang-barang berbulu lembut”, yakni binatang, di antara sesajen yang diberikan kepada dewa-dewa Shinto. Kami juga memiliki bukti bahwa pada waktu itu susu hewani juga dipakai. Bandingkan ini dengan keadaan sekarang. Percuma kita mencari penjelasan atas perubahan besar makanan utama masyarakat Jepang, kecuali dalam pengaruh keagamaan Buddhisme yang men­dalam. Bukti tambahan juga ditemukan dalam fakta bahwa Buddhisme mempesimiskan Jepang, walaupun di sisi lain Jepang mengoptimiskan Buddhisme. Berdasarkan bukti-bukti, orang Jepang awal pasti memiliki watak ceria. Mereka tampaknya hidup terutama di masa kini. Hidup bahagia dengan dewa-dewa dan sesama mereka tampaknya adalah tujuan hidup mereka. Agama mereka tiada lain hanyalah sarana menikmati kehidupan saat ini sepenuhnya. Watak primitif orang Jepang awal ini masih menempel sampai taraf tertentu pada orang Jepang masa kini. Tapi terlepas dari ini, tendensi pesimistis mendalam dan umum juga bisa dikenali dengan jelas. Ambil contohnya novel Jepang manapun hari ini. Kau akan mendapati di dalamnya banyak fraseologi Buddhistik dan melankoli tertentu mengalir sepanjang karya tersebut. Kau mungkin bertanya mengapa agama pesimistik seperti Buddhisme menjadi begitu merata di Jepang hingga nyaris mengubur karakter gembira asli masyarakatnya? Aku pikir ada sekurangnya tiga hal dalam Buddhisme yang membuat­nya merata. Pertama, Buddhisme menyerukan kesadaran dosa dan kesengsaraan dunia ini. Kesadaran dosa ditemukan dalam satu atau lain bentuk dalam semua bangsa dunia. Itu juga ditemukan dalam bangsa Jepang awal. Karenanya Shin­toisme memiliki bentuk-bentuk tertentu untuk pemurnian dosa. Tapi Shintoisme adalah agama primitif, sangat seder­hana dan sangat mentah. Ia tidak memiliki cara yang memuaskan untuk memenuhi atau menghapus kesadaran dosa ini, dan tidak pula menawarkan penjelasan untuk kesengsaraan dunia masa kini. Sementara, Buddhisme men­jelaskan kesengsaraan dunia masa kini, menelusuri sebab­nya dari dosa kita, dosa kita dari hasrat kita, dan hasrat kita dari kejahilan kita. Kedua, Buddhisme menekankan dengan sangat gamblang ganjaran dan hukuman dunia masa depan. Shintoisme maupun Konfusianisme mengabaikan atau jahil akan eksistensi masa depan. Ini salah satu alasan mengapa tak satupun dari kedua sistem ini berpengaruh kuat terhadap pikiran orang-orang. Sebaliknya, Buddhisme mengajarkan bukan hanya masa depan tapi juga eksistensi masa lalu. Ketika inteligensia manusia mengalami kemajuan, perta­nyaan pertama, sekurangnya salah satu pertanyaan pertama, yang menarik perhatian manusia adalah masalah kematian dan kondisi setelah kematian. Wajar saja masalah ini men­jadi salah satu pusat munculnya dan tumbuhnya takhayul-takhayul di hampir setiap tempat. Bangsa Jepang awal berada dalam kondisi demikian ketika mereka bersentuhan dengan doktrin-doktrin Buddhistik surga dan neraka dan transmigrasi jiwa. Ketiga, Buddhisme menawarkan jalan keselamatan. Meskipun kita mengetahui penyebab keseng­saraan dunia masa kini dan eksistensi kehidupan masa depan, bahagia atau sengsara, tapi jika kita tidak disediakan jalan untuk melepaskan diri dari dunia dosa ini dan men­dapatkan kebahagiaan masa depan, pengetahuan ini lebih buruk dari nihil. Buddhisme menyediakan pengetahuan ini dan juga jalan keselamatan. Terkait hakikat jalan keselamatan ini, berbagai sekte Buddhisme berselisih pendapat, sebagaimana akan kita simak dalam makalah selanjutnya; sebagian menganggap keselamatan berasal dari nilai disiplin kita, yang lain menganggap berasal dari rahmat penyelamatan Amitabha Buddha. Tapi apapun perbedaan-perbedaan ini, semua sekte ini sepakat dalam menawarkan suatu jalan keselamatan, yang esensinya terkandung dalam pembebasan manusia dari kesengsaraan kehidupan masa kini dan juga dari sirkuit/sik­lus kelahiran dan kematian yang melelahkan, dan dalam pencapaian akhir Nirvana yang diberkati. Ringkasnya, ketiganya adalah alasan-alasan, sejauh yang bisa kulihat, yang menjadikan Buddhisme elemen paling penting dan paling berpengaruh dari campuran agama kami. Lebih menarik lagi untuk diketahui bahwa justru poin-poin inilah yang paling asing dan menjijikkan bagi pikiran Jepang ketika Buddhisme pertama kali memasuki Jepang.
Judul asli : Buddhism in Japan<i=17KOGKWJIT00hA4dKtlbUbSs7xXfjvkrD 366KB>Buddhism in Japan
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Januari 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Buddhisme di Jepang

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2025)