Ah, sobatku, aku begitu megah diri sampai-sampai memulai Buku Harian ini dengan niat rahasia, yaitu membuatmu terkesan oleh kebersahajaanku dalam peran pencari kata-kata dan perbandingan-perbandingan. Aku harap kau tidak akan memanfaatkan keterusteranganku dan berhenti mempercayaiku.
18 Januari.
Di atas
Atlantic.
Ini tepat hari kesepuluh sejak aku menjadi manusia dan menjalani kehidupan duniawi ini.
Kesendirianku sangat luar biasa. Aku tak butuh teman, tapi aku harus bicara tentang Diriku dan aku tak punya teman bicara. Pikiran-pikiran saja tidak cukup, dan mereka tidak akan menjadi jelas, akurat, dan tepat sampai aku mengungkapkannya dalam kata-kata. Aku perlu menyusun mereka dalam sebuah baris, seperti tentara atau tiang telepon, menghampar mereka seperti rel kereta, membentangkan jembatan dan viaduk, membangun gerobak sorong dan langsiran, menunjukkan stasiun di tempat-tempat tertentu—dan baru kemudian segalanya akan menjadi jelas. Kerja keinsinyuran berat ini, kupikir, mereka namakan logika dan konsistensi, dan penting bagi mereka yang ingin menjadi bijak. Itu tidak penting bagi semua yang lain. Mereka dapat berkeliaran sesuka mereka.
Kerja ini lambat, sulit, dan memuakkan bagi orang yang biasa—entah bagaimana menyebutnya—yang biasa meliputi semua dalam satu nafas dan mengungkapkan semua dalam satu nafas. Tak percuma manusia begitu menghormati para pemikir mereka, dan tak percuma para pemikir malang ini, jika mereka jujur dan bernurani dalam proses konstruksi ini, sebagai insinyur biasa, berakhir di rumah sakit jiwa. Aku baru beberapa hari di bumi ini dan lebih dari sekali tembok kuning rumah sakit jiwa dan pintu terbukanya yang memikat mengkilas di depan mataku.
Ya, itu amat sulit dan mengganggu “syaraf”. Aku baru saja menghamburkan begitu banyak alat tulis milik kapal ini untuk mengungkapkan sedikit pemikiran biasa tentang tak memadainya kata-kata dan logika manusia. Apa yang akan perlu dihamburkan untuk mengungkapkan hal besar dan tak biasa? Sejak awal aku ingin peringatkan kau, pembaca duniawiku, untuk tidak menganga keheranan.
Hal luar biasa tidak bisa diekspresikan dalam bahasa gerutuanmu. Jika kau tak percaya padaku, pergilah ke rumah sakit jiwa terdekat dan dengarkan para penghuninya; mereka semua telah menyadari
Sesuatu dan ingin mengungkapkannya. Dan sekarang kau bisa dengar deraman dan gemuruh mesin-mesin rongsok ini, roda-rodanya berputar dan berdesis di udara, dan kau bisa lihat betapa kesulitan mereka mempertahankan roman keheranan yang larut dengan cepat!
Rupanya kau siap untuk menghujaniku dengan pertanyaan, setelah tahu bahwa aku Setan berwujud manusia: ini mengagumkan sekali! Dari mana aku datang? Bagaimana keadaan Neraka? Adakah keabadian di sana, dan, juga, berapa harga batu bara di bursa saham Neraka? Sayangnya, pembacaku yang terhormat, meski aku menginginkan sebaliknya, jika aku punya keinginan demikian, aku tak berdaya untuk memuaskan rasa penasaranmu yang sangat wajar. Aku bisa saja mengarang untuk kepentingan kalian salah satu cerita jenaka kecil tentang iblis-iblis bertanduk dan berbulu, yang begitu menarik imajinasi cetekmu, tapi kau sudah bosan dengan mereka dan aku tak ingin berbohong begitu kasar dan kaku. Aku akan berbohong padamu di tempat lain, saat kau sangat tidak menyangkanya, dan itu akan jauh lebih menarik untuk kita berdua.
Dan keadaan yang sebenarnya—bagaimana aku akan mengatakannya saat bahkan Namaku tidak bisa diungkapkan dalam bahasamu? Kau menyebutku Setan dan aku terima nama itu, sebagaimana aku bakal menerima nama apapun: Biarlah demikian—aku Setan. Tapi nama asliku terdengar sungguh berbeda, sungguh berbeda! Bunyinya luar biasa, dan sekuat apapun aku mencoba, aku tak bisa memaksakannya ke dalam telinga sempitmu tanpa merobeknya beserta otakmu: Biarlah demikian—aku Setan. Dan tidak lebih.
Dan kau sendiri yang harus disalahkan atas ini, temanku; mengapa ada begitu sedikit pemahaman dalam nalarmu? Nalarmu seperti karung pengemis, berisi hanya kerak-kerak roti apek, padahal kau perlu makan sesuatu lebih dari roti. Kau punya dua konsepsi saja akan eksistensi: hidup dan mati. Terus bagaimana aku bisa menyingkapkan padamu yang
ketiga? Seluruh eksistensimu adalah absurditas hanya karena kau tidak punya
konsepsi ketiga ini. Dan di mana aku bisa mendapatkannya untukmu? Hari ini aku manusia, seperti kau. Dalam tengkorakku ada otakmu. Dalam mulutku ada kata-kata kubikmu, saling berdesakan dengan sudut-sudut tajam mereka, dan aku tak bisa memberitahumu tentang Yang Luar Biasa.
Andai kukatakan padamu tidak ada iblis-iblis, aku berbohong. Tapi kalau kukatakan makhluk-makhluk demikian memang eksis, aku juga menipumu. Kau lihat betapa sulitnya ini, betapa absurd, temanku!
Aku juga bisa cerita padamu sedikit saja—yang akan kau pahami—bagaimana aku memangku wujud manusia, yang dengannya aku memulai kehidupan duniawi sepuluh tahun lalu. Pertama, lupakan soal iblis-iblis berbulu, bertanduk, bersayap favoritmu, yang bernafas api, mentransformasi pecahan tembikar menjadi emas dan mengubah orang-orang tua menjadi pemuda mempesona, dan setelah melakukan semua ini dan mengocehkan banyak omong-kosong, mereka tiba-tiba menghilang lewat dinding. Ingat: saat kami ingin mengunjungi bumimu
kami harus selalu menjadi manusia. Mengapa begitu, kau akan tahu sesudah mati. Sementara ini ingat: aku manusia sekarang seperti dirimu. Tidak ada bau busuk kambing padaku, tapi harumnya parfum, dan kau tak usah takut menjabat tangan-Ku kalau-kalau aku menggoresmu dengan kukuku: aku memanikurnya seperti yang kau lakukan.
Tapi bagaimana semua itu terjadi? Sederhana sekali. Saat aku pertama merasakan keinginan untuk mengunjungi bumi ini, aku memilih seorang miliarder Amerika berumur 38 tahun, Tn. Henry Wondergood, sebagai tumpangan paling memuaskan. Aku membunuhnya di malam hari—tentu saja tidak di hadapan saksi-saksi. Tapi kau tidak bisa membawaku ke pengadilan, terlepas dari pengakuan ini, sebab si Amerika itu HIDUP, dan kami berdua mengucapkan salam kepadamu dengan satu bungkukan hormat: aku dan Wondergood. Dia hanya menyewakan tempat kosongnya kepadaku. Kau mengerti? Dan tidak semuanya, setan! Dan, yang bikin aku menyesal sekali, aku bisa
pulang hanya melalui pintu yang sama yang menuntunmu menuju kebebasan: melalui kematian.