Kendati pengaruh pers, melalui kemampuannya untuk terus mempertahankan subjek-subjek tertentu di depan pembacanya, telah tumbuh bersama pertumbuhan sumberdaya dan langganannya, cengkeramannya pada kepercayaan populer tak diragukan lagi sudah mengendor selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir.
Setelah suara terakhir diberikan dan dihitung dalam kontestasi pilwalkot baru-baru ini di New York, kandidat pemenang memberi rasa hormat kepada suratkabar-suratkabar yang melawannya. Ini sama dengan mengatakan dia memberi rasa hormat kepada seluruh pers metropolitan; sebab setiap surakabar harian besar, kecuali satu, telah berbuat sebaik-baiknya untuk mengalahkannya, dan yang satu itu memberinya dukungan tak tulus belaka. Ulasan-ulasan tentang sang walikota terpilih, meski tidak galak, membawa pada kesimpulan bahwa dalam generasi rasional kita, tidak ada yang peduli pada apa yang suratkabar katakan.
Betapapun vonis tersebut tak enak, barangkali mayoritas masyarakat, jika disurvei sebagai juri, bakal setuju dengannya. Penolakan ringan terhadap suatu hal sebagai “omongan suratkabar belaka” terdengar di setiap pertemuan sosial, sampai orang yang dibesarkan untuk menganggap pers sebagai faktor kuat dalam peradaban modern tergoda untuk bertanya-tanya apakah itu betul-betul sudah kehilangan kekuasaan yang dulu digunakannya di tengah-tengah kita. Jawabannya, menurutku, tergantung pada apakah kita mempertimbangkan efek langsung atau tak langsung. Sebuah suratkabar menjalankan pengaruh paling langsung melalui penafsiran definitifnya terhadap peristiwa-peristiwa mutakhir. Pengaruh tak langsungnya memancar dari jumlah dan karakter berita yang dicetaknya, fitur-fitur khusus yang ditonjolkannya, dan metodenya dalam menyajikan fitur-fitur ini. Karenanya, selalu mungkin bahwa pengaruh langsungnya sepele, sementara pengaruh tak langsungnya besar; pengaruh langsungnya tak membahayakan, tapi pengaruh tak langsungnya merusak; atau sebaliknya.
Di sini sebaiknya dibuat pembedaan seperti yang kita buat antara kelekaspercayaan dan ketegangan. Bahwa sebuah tempat tinggal yang di dalamnya terjadi pembunuhan misterius tidak akan diinginkan oleh satupun penyewa selama bertahun-tahun kemudian, fakta ini tidak berarti bahwa orang-orang lumayan pandai seisi kota adalah korban kerasukan hantu; tapi itu berarti bahwa tak seorangpun senang diingatkan akan pembunuhan tengah malam setiap kali dia melintasi ambang pintunya sendiri; sebab perkawanan teguh dengan sebuah pemikiran tak mengenakkan pasti akan menekan sistem syaraf terbaik yang pernah ditanam pada manusia. Jadi pengulangan terus-menerus ide apapun dalam suratkabar harian akan segera menangkap perhatian publik, entah ide itu baik atau buruk, masuk akal atau konyol. Kendati pengaruh pers, melalui kemampuannya untuk terus mempertahankan subjek-subjek tertentu di depan pembacanya, telah tumbuh bersama pertumbuhan sumberdaya dan langganannya, cengkeramannya pada kepercayaan populer tak diragukan lagi sudah mengendor selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir. Kita tak perlu menyematkan nilai penting serius pada kesimpulan Walikota Gaynor terkait sebagian besar generalisasi seperti itu. Interaksi begitu banyak kekuatan dalam sebuah kampanye politik menjadikan tak mungkin untuk memisahkan pengaruh suratkabar dari yang lain, dan menganggap itu sendirian bertanggungjawab atas hasilnya, atau mengabaikan itu sebagai tak berarti; sebab jika kita coba merumuskan kaidah luas apapun, kita bakal kesulitan menjelaskan beranekaragam catatan kesuksesan dan kekalahan di kalangan [kandidat] favorit suratkabar. Tapi mungkin ada gunanya menyelidiki mengapa sebuah institusi yang begitu sarat potensialitas seperti pers bebas tidak menghasilkan efek lebih banyak daripada saat ini, dan mengapa begitu banyak penulis terkemukanya hari ini menemukan alasan untuk menyesalkan perubahan sikap masyarakat terhadap pers.
Belum tentu karena urutan nilai penting, tapi untuk memudahkan pembahasan, aku akan mendaftar sebab-sebab perubahan ini sebagai berikut: pemindahtanganan properti maupun kebijakan dari kontrol personal ke impersonal; kenaikan majalah murah; tendensi kepada spesialisasi dalam semua bentuk pengajaran publik; kesengitan kompetisi dalam bisnis suratkabar; permintaan akan modal lebih besar, yang menggoncang keseimbangan terdahulu antara ruang akuntansi dan ruang editorial; serbuan mania ketergesaan universal ke kantor-kantor suratkabar; perkembangan pencarian berita dengan mengorbankan fungsi penafsiran berita; tendensi untuk membentuk ulang naratif-naratif fakta agar mengkonfirmasi kebijakan kantor; meningkatnya ketidakacuhan terhadap kesusilaan dalam memilih berita yang akan dieksploitasi secara khusus; dan sedikitnya waktu yang kini disisihkan oleh orang-orang luas pergaulan untuk membaca jurnal-jurnal informasi umum.
Dalam suratkabar gaya lama, terlepas dari fakta bahwa artikel-artikel editorial biasanya anonim, nama redakturnya tampil di antara pengumuman mencolok di suatu tempat dalam setiap edisi, atau begitu dikenal oleh publik sampai-sampai kita membicarakan “apa yang Greeley pikirkan” tentang ini atau itu, atau bertanya-tanya “apakah Bryant akan mendukung” calon-calon tertentu, atau menggeleng-geleng atas ocehan sensasional terbaru “dalam korannya Bennett”. Identitas orang-orang semacam itu tercatat jelas dalam benak banyak pembaca yang kadang bingung untuk mengingat judul koran yang diredaksi oleh masing-masing. Kita tahu riwayat pribadi mereka dan idiosinkrasi mereka; mereka bagi kita bukan sekadar lamunan di satu sisi, atau boneka kawat di sisi lain, melainkan manusia hidup, bergerak, berakal; dan perkenalan kita dengan mereka memungkinkan kita, menurut kita, menemukan mata air pemikiran dan tindakan mereka dengan lumayan tepat. Bahkan, kelemahan mereka kadang menyediakan kunci tafsir terbaik terhadap tulisan mereka.
Judul asli | : | The Waning Power of Press<i=1gypcPSeSGUWrIp9phJsOOLdhYnpzTz-8 332KB>The Waning Power of Press (1910) |
Pengarang | : | Francis E. Leupp |
Penerbit | : | Relift Media, November 2024 |
Genre | : | Jurnalisme |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |