Dia mengikuti beberapa pepatah sederhana yang bekerja cukup baik dalam menjual sepatu atau cerutu atau partitur. “Berilah orang-orang apa yang mereka mau, bukan apa yang kau mau.” “Jangan dukung apapun yang akan tidak populer.” “Jalankan perusahaan terlepas benar tidaknya.”
Kebanyakan kritikan yang diluncurkan terhadap suratkabar harian kita mengenai pihak yang keliru. Anggap saja benar mereka mensensasionalisasi tindakan asusila dan kriminalitas, “membesar-besarkan” hal remeh, mengeksploitasi urusan pribadi orang-orang terkemuka, menyulam fakta-fakta, dan merusak selera bagus dengan decitan, raungan, dan warna. Tapi semua ini mungkin hanya sarana untuk memenuhi permintaan, sarana “memberikan apa yang publik mau”. Suratkabar tidak bisa diharap akan tetap bermartabat dan serius, kini setelah ia melayani jutaan orang awam, alih-alih kelas profesional dan bisnis seperti dulu. Untuk menarik pesuruh dan gadis pabrik dan imigran kasar, ia harus menjadi panas, menghibur, emosional, dan berwarna. Maka, atas hal-hal ini, salahkan rakyat Amerika.
Ada satu saja tuduhan mematikan dan memberatkan terhadap suratkabar harian yang sekarang, yakni, Ia tidak memberikan berita.
Terlepas dari semua pretensinya, banyak suratkabar harian tidak “memberikan apa yang publik mau”. Terlepas dari keajaiban-keajaiban “ikhtiar” jurnalistik mahal yang disebarkan secara luas ini, terlepas dari para wartawan pembongkar dan para koresponden tergopoh-gopoh ini, terlepas dari kawat-kawat sewa dan kereta-kereta khusus ini, berita (berita “langsung” yang bagus, “barang panas”) sengaja ditekan atau didistorsi. Ini terjadi lebih sering sekarang daripada dulu, dan kemungkinan besar akan lebih sering lagi di masa mendatang.
Dan ini terlepas dari fakta bahwa cita-cita pers telah naik. Ketersogokan telah menyusut. Orang-orang yang semakin bagus telah tertarik ke dalam jurnalisme, dan mereka telah bekerja di bawah pengendalian diri yang lebih besar. Waktu ketika seseorang, seperti Pdt. Dr. Dodd, “turun begitu rendah sampai-sampai menjadi redaktur sebuah suratkabar”, rasanya sejauh Zaman Es. Redaktur yang menggunakan korannya untuk menyiarkan prasangkanya, memuaskan dendamnya, dan melayani ambisi pribadinya, sedang menghilang. Diwaraskan oleh kesadaran yang tumbuh akan fungsi sosial mereka, para wartawan telah mengalami rasa tanggungjawab. Belum lama ini nampaknya semangat profesi dan etika profesi akan mengilhami dunia suratkabar; dan untuk tujuan ini kursus-kursus dan sekolah-sekolah jurnalisme didirikan, dengan harapan tinggi. Kemandekan gerakan menjanjikan ini menjelaskan kenapa sembilan dari sepuluh wartawan berpengalaman lima belas tahun adalah orang sinis.
Seperti biasa, tak ada yang perlu disalahkan. Kemurtadan pers harian disebabkan oleh tiga perkembangan ekonomi di bidang penerbitan suratkabar.
Pertama, harian kota besar telah menjadi suratkabar ukuran folio dengan pengoperasian mesin cetak rumit, dicetak dalam cetakan-cetakan raksasa yang harus dihasilkan dalam waktu sesedikit mungkin. Pabrik yang dibutuhkan berongkos begitu tinggi, dan lisensi Associated Press begitu mahal, sehingga suratkabar harian di kota besar menjadi ikhtiar kapitalistik. Hari ini modal sejuta dolar tidak akan memperlengkapi sebuah suratkabar metropolitan. Redaktur bukan lagi pemilik, sebab dia tidak memiliki, dan tidak bisa menuntut, modal yang dibutuhkan untuk merintisnya atau membelinya. Redaktur sejenis Greeley, Dana, Medill, Story, Halstead, dan Raymond, yang memiliki korannya sendiri dan menjadikan itu tubuh astralnya, proyeksi karakter dan ideal-idealnya, adalah langka. Barangkali Tn. Watterson dan Tn. Nelson adalah representasi terbaik jenis itu. Semakin banyak pemilik harian besar adalah pengusaha yang merasa sulit memahami kenapa dia mesti menjalankan properti di atas rel yang berbeda dari pemilik hotel, manajer vaudeville, atau pemilik taman hiburan. Para redaktur adalah orang-orang upahan, dan mereka tidak boleh lebih memasukkan hati nurani dan ideal-ideal mereka ke dalam koran dibanding menolerir pencarian imbal-balik sebesar-besarnya dari investasi. Tentu saja, redaktur tempo dulu yang sekaligus pemilik koran mencoba menghasilkan uang—itu bukan dosa!—tapi persis sebagaimana hari ini pengarang, penceramah, atau cendekiawan mencoba menghasilkan uang, yakni dalam batasan yang dikenakan oleh prinsip-prinsipnya dan standar profesinya. Tapi, kini setelah penyedia modal suratkabar mengupah redaktur alih-alih redaktur mengupah modal suratkabar, koran lebih mungkin dijalankan sebagai penghasil uang murni dan sederhana—sebuah pabrik di mana tinta dan otak diaplikasikan pada kertas putih dengan maksud menghasilkan produk selaris mungkin. Kapitalis-pemilik tidak bermaksud jahat, tapi dia tidak direpotkan oleh standar-standar yang menghambat redaktur-pemilik. Dia mengikuti beberapa pepatah sederhana yang bekerja cukup baik dalam menjual sepatu atau cerutu atau partitur. “Berilah orang-orang apa yang mereka mau, bukan apa yang kau mau.” “Jangan dukung apapun yang akan tidak populer.” “Jalankan perusahaan terlepas benar tidaknya.” Hanyutnya kontrol tertinggi ini ke tangan orang-orang bermotif bisnis adalah apa yang dikenal sebagai “komersialisasi pers”. Signifikansinya tampak jelas ketika kau pertimbangkan perkembangan ekonomi kedua, yakni pertumbuhan iklan suratkabar. Penyebaran berita dan penyediaan publisitas adalah dua fungsi yang pada esensinya berbeda yang, untuk mudahnya, dijalankan oleh agensi yang sama. Yang satu menarik pelanggan, yang satu menarik pengiklan. Yang satu menuntut niat baik, yang satu tidak. Yang satu adalah batu fondasi demokrasi, yang satu alat perdagangan. Nah, penyediaan publisitas sedang menjadi urusan utama suratkabar, dan mengancam memudarkan penyampaian berita atau opini. Setiap tahun, penjualan iklan menghasilkan proporsi besar dari total penerimaan, dan pelanggan menyediakan proporsi kecil. Tiga puluh tahun lalu, iklan menghasilkan kurang dari setengah pemasukan suratkabar harian. Hari ini, itu menghasilkan sekurangnya dua pertiga. Pada harian-harian besar, penerimaan dari iklan adalah beberapa kali lipat dari penerimaan dari pembaca, dalam beberapa kasus menyusun 90 persen dari total penghasilan. Seiring suratkabar mengembang menjadi delapan, dua belas, dan enam belas halaman, sementara harga merosot ke tiga sen, dua sen, satu sen, telah tiba waktunya ketika para pengiklan menafkahi suratkabar. Pembaca ada untuk membaca, bukan untuk menyediakan dana. “Yang membayar yang menentukan.” Ketika kolom berita dan halaman editorial adalah insiden belaka dalam penjualan publisitas niaga yang menguntungkan, mengizinkan para pengiklan besar menyensor keduanya adalah semata-mata “bisnisan”. Tentu saja, kau tidak boleh membuka rahasia, atau kau akan kehilangan pembaca, dan karenanya iklan. Sebagaimana dikatakan blak-blakan oleh pakar publisitas Deweese, “Pembaca harus ditipu dengan pemikiran bahwa penerbit benar-benar sedang menerbitkan suratkabar atau majalah untuknya.” Pemilik bijak akan “berlagak indah dan keren menjalankan sebuah jurnal untuk mempengaruhi opini publik, untuk memurnikan politik, untuk mengangkat moral publik, dll”. Maka, pada hakikatnya, pencekikan fakta-fakta untuk menghormati pengiklan menemukan batas dalam inteligensia dan keawasan publik pembaca. Ditangani sebagai “masalah komersial”, suratkabar tidak berani memberangus berita semacam itu melebihi titik tertentu, dan ia selalu bisa dengan bangga menunjuk berita yang tak diberangus sebagai bukti independensi dan jiwa publiknya.
Pertama, harian kota besar telah menjadi suratkabar ukuran folio dengan pengoperasian mesin cetak rumit, dicetak dalam cetakan-cetakan raksasa yang harus dihasilkan dalam waktu sesedikit mungkin. Pabrik yang dibutuhkan berongkos begitu tinggi, dan lisensi Associated Press begitu mahal, sehingga suratkabar harian di kota besar menjadi ikhtiar kapitalistik. Hari ini modal sejuta dolar tidak akan memperlengkapi sebuah suratkabar metropolitan. Redaktur bukan lagi pemilik, sebab dia tidak memiliki, dan tidak bisa menuntut, modal yang dibutuhkan untuk merintisnya atau membelinya. Redaktur sejenis Greeley, Dana, Medill, Story, Halstead, dan Raymond, yang memiliki korannya sendiri dan menjadikan itu tubuh astralnya, proyeksi karakter dan ideal-idealnya, adalah langka. Barangkali Tn. Watterson dan Tn. Nelson adalah representasi terbaik jenis itu. Semakin banyak pemilik harian besar adalah pengusaha yang merasa sulit memahami kenapa dia mesti menjalankan properti di atas rel yang berbeda dari pemilik hotel, manajer vaudeville, atau pemilik taman hiburan. Para redaktur adalah orang-orang upahan, dan mereka tidak boleh lebih memasukkan hati nurani dan ideal-ideal mereka ke dalam koran dibanding menolerir pencarian imbal-balik sebesar-besarnya dari investasi. Tentu saja, redaktur tempo dulu yang sekaligus pemilik koran mencoba menghasilkan uang—itu bukan dosa!—tapi persis sebagaimana hari ini pengarang, penceramah, atau cendekiawan mencoba menghasilkan uang, yakni dalam batasan yang dikenakan oleh prinsip-prinsipnya dan standar profesinya. Tapi, kini setelah penyedia modal suratkabar mengupah redaktur alih-alih redaktur mengupah modal suratkabar, koran lebih mungkin dijalankan sebagai penghasil uang murni dan sederhana—sebuah pabrik di mana tinta dan otak diaplikasikan pada kertas putih dengan maksud menghasilkan produk selaris mungkin. Kapitalis-pemilik tidak bermaksud jahat, tapi dia tidak direpotkan oleh standar-standar yang menghambat redaktur-pemilik. Dia mengikuti beberapa pepatah sederhana yang bekerja cukup baik dalam menjual sepatu atau cerutu atau partitur. “Berilah orang-orang apa yang mereka mau, bukan apa yang kau mau.” “Jangan dukung apapun yang akan tidak populer.” “Jalankan perusahaan terlepas benar tidaknya.” Hanyutnya kontrol tertinggi ini ke tangan orang-orang bermotif bisnis adalah apa yang dikenal sebagai “komersialisasi pers”. Signifikansinya tampak jelas ketika kau pertimbangkan perkembangan ekonomi kedua, yakni pertumbuhan iklan suratkabar. Penyebaran berita dan penyediaan publisitas adalah dua fungsi yang pada esensinya berbeda yang, untuk mudahnya, dijalankan oleh agensi yang sama. Yang satu menarik pelanggan, yang satu menarik pengiklan. Yang satu menuntut niat baik, yang satu tidak. Yang satu adalah batu fondasi demokrasi, yang satu alat perdagangan. Nah, penyediaan publisitas sedang menjadi urusan utama suratkabar, dan mengancam memudarkan penyampaian berita atau opini. Setiap tahun, penjualan iklan menghasilkan proporsi besar dari total penerimaan, dan pelanggan menyediakan proporsi kecil. Tiga puluh tahun lalu, iklan menghasilkan kurang dari setengah pemasukan suratkabar harian. Hari ini, itu menghasilkan sekurangnya dua pertiga. Pada harian-harian besar, penerimaan dari iklan adalah beberapa kali lipat dari penerimaan dari pembaca, dalam beberapa kasus menyusun 90 persen dari total penghasilan. Seiring suratkabar mengembang menjadi delapan, dua belas, dan enam belas halaman, sementara harga merosot ke tiga sen, dua sen, satu sen, telah tiba waktunya ketika para pengiklan menafkahi suratkabar. Pembaca ada untuk membaca, bukan untuk menyediakan dana. “Yang membayar yang menentukan.” Ketika kolom berita dan halaman editorial adalah insiden belaka dalam penjualan publisitas niaga yang menguntungkan, mengizinkan para pengiklan besar menyensor keduanya adalah semata-mata “bisnisan”. Tentu saja, kau tidak boleh membuka rahasia, atau kau akan kehilangan pembaca, dan karenanya iklan. Sebagaimana dikatakan blak-blakan oleh pakar publisitas Deweese, “Pembaca harus ditipu dengan pemikiran bahwa penerbit benar-benar sedang menerbitkan suratkabar atau majalah untuknya.” Pemilik bijak akan “berlagak indah dan keren menjalankan sebuah jurnal untuk mempengaruhi opini publik, untuk memurnikan politik, untuk mengangkat moral publik, dll”. Maka, pada hakikatnya, pencekikan fakta-fakta untuk menghormati pengiklan menemukan batas dalam inteligensia dan keawasan publik pembaca. Ditangani sebagai “masalah komersial”, suratkabar tidak berani memberangus berita semacam itu melebihi titik tertentu, dan ia selalu bisa dengan bangga menunjuk berita yang tak diberangus sebagai bukti independensi dan jiwa publiknya.
Judul asli | : | The Suppression of Important News<i=1jjMVDP9pAsd2u8GFXXXaRetb7CdGTYuh 442KB>The Suppression of Important News (1910) |
Pengarang | : | Edward Alsworth Ross |
Penerbit | : | Relift Media, November 2024 |
Genre | : | Jurnalisme |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |