Di antara semua ini, pers adalah kekuatan tunggal paling kuat di masa kita. AS memelihara aparat pembentuk opini publik yang tak tertandingi dalam sejarah dan tiada banding di negeri lain manapun untuk bobot “informasi” yang dilempar kepada publik tak berdaya.
Jika kepemilikan pers tertutup bagi semua orang kecuali kurang-lebih 1.300 pemilik multijutawan, opini siapa yang akan dimuat di dalamnya? Jawaban jelas adalah: opini para pemilik. Mereka terang-terangan soal itu. Kanon etika kadang berbasa-basi terhadap “kepentingan publik”, tapi dalam membuat komitmen legal, para penerbit bersikeras pada jaminan tertulis bahwa pandangan mereka dan bukan pandangan orang lain akan masuk ke dalam suratkabar “mereka”. American Newspaper Guild, misalnya, terpaksa mengakui ulang, dari waktu ke waktu, penerimaan formalnya terhadap monopoli opini penerbit. Para pekerja suratkabar tidak menuntut hak untuk berbicara melalui halaman-halaman koran majikan mereka. Dari tukang penyalin hingga redaktur teratas, orang-orang suratkabar adalah buruh sewaan, dipekerjakan untuk maksud tunggal yaitu mencetak opini majikan mereka.
Karena suratkabar adalah Bisnis Besar, pandangan pemilik suratkabar adalah pandangan Bisnis Besar. Ribuan contoh spesifik kepartisan yang tak tanggung-tanggung telah dihimpun dan didokumentasikan oleh George Seldes dalam beberapa bukunya dan dalam nawala (newsletter) mingguannya, In fact. Mantan Menteri Dalam Negeri Harold Ickes dan lain-lain juga menulis buku-buku dan artikel-artikel yang terutama didedikasikan untuk tema ini. Kita hanya perlu mengamati perlakuan pers terhadap krisis upah baru-baru ini. Pers memprasiapkan situasi secara curang terhadap buruh, membesar-besarkan aksi mogok dan mengecil-ngecilkan kampanye gertakan berani [pemilik] modal untuk kenaikan harga dan pelemahan serikat kerja.
Bahkan, pers adalah bagian penting dari aparat Negara. Ia memainkan peran kunci dalam memelihara kekuasaan 60 Keluarga atas 140.000.000 rakyat AS. Ia adalah alat di tangan segelintir kapitalis keuangan yang tetap serba kuasa selama mereka mampu menjaga massa tetap terbelah dan simpang-siur.
Benar bahwa para lord pers terus-menerus meratapi dugaan ancaman pemerintah terhadap kebebasan pers. Akan tetapi, konflik pers dan pemerintah tidak menyangkal tuduhan bahwa pers adalah instrumen Negara. Gagasan umum bahwa Negara dan pemerintah adalah dua nama untuk satu benda, membuatku sebaiknya mengatakan beberapa patah kata tentang teori di titik ini. Seratus atau seratus lima puluh tahun silam, lebih kecil kemungkinannya ada kesimpangsiuran serupa. Dalam pertikaian politik besar yang mengiringi dan segera mengikuti pengadopsian Konstitusi AS, teori politik diperlakukan dengan lebih hormat daripada hari ini. Kaum Federalis dan kaum Jeffersonian sepakat bahwa Negara adalah instrumen kekuasaan kelas. Si Jeffersonian John Taylor memandang revolusi dan “ketertiban” sebagai “dua cara menginvasi properti pribadi; dengan cara pertama kaum miskin menjarah kaum kaya...mendadak dan penuh kekerasan; dengan cara kedua kaum kaya menjarah kaum miskin, perlahan dan legal”. Merangkum pandangan Taylor, sejarawan Arthur Schlesinger Jr. Berkata: “Suksesi orde-orde berprivilese sepanjang sejarah—[orde] pendeta, bangsa, kini sistem perbankan—menunjukkan bagaimana setiap zaman mengenal bentuk perampokan terlembaganya sendiri melalui sebuah minoritas yang beroperasi lewat Negara.” Lenin belakangan mengungkapkannya secara ilmiah: “Negara adalah organ dominasi kelas, organ penindasan satu kelas oleh kelas lain; tujuannya adalah penciptaan ‘ketertiban’ yang melegalkan dan melanggengkan penindasan ini.”
Judul asli | : | For Whom the Press Toils<i=120221rMGfoUaJkWuHVhCpuA3H6j_6tdc 481KB>For Whom the Press Toils (1946) |
Pengarang | : | George Marion |
Penerbit | : | Relift Media, Oktober 2024 |
Genre | : | Jurnalisme |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |