Setiap anggota partai sekurangnya bisa bertindak sebagai seorang Sosialis Kebangsaan. Dalam urusan demikian, masing-masing adalah propagandis politiknya sendiri. Di situ dia bisa menunjukkan apakah dirinya bertekad, gigih, percaya diri, apakah dia bisa bertahan teguh dan terus berjalan.
Banyak dari kita masih harus belajar hakikat dan pentingnya propaganda politik. Tak jarang kita mendengar seseorang berkata kau tidak seharusnya dan tidak bisa memenuhi masyarakat dengan propaganda sepanjang waktu. Suratkabar-suratkabar, bagaimanapun juga, tidak menulis tentang politik saja dalam setiap edisi. Pakar-pakar terkemuka merujuk pada suratkabar asing, khususnya di Inggris. Mereka mungkin bahkan menyebutkan Times. Dan para pendengar terheran, sebab, kontras dengan kebiasaan Jerman, halaman mukanya dicurahkan seluruhnya untuk iklan. Politik tampil di halaman-halaman dalam, diselingi berita-berita lain. Betapapun mengejutkan, ini tidak menghapus kebutuhan akan propaganda politik yang tak pernah gagal dan tak pernah melemah di negara Sosialis Kebangsaan.
Kita sebaiknya memulai dengan mengingat fakta ini. Jerman memiliki paling banyak universitas, perguruan teknik, dan akademi pertambangan, perhutanan, dan keguruan di dunia, bahkan selain banyak sekolah menengah dan tinggi, dan sekolah kejuruan, teknik, dan populer. Kita adalah bangsa paling berpendidikan dan paling terpelajar di bumi. Orang-orang di negara-negara lain tahu ini. Orang-orang di luar negeri tahu bahwa untuk belajar di universitas Jerman diperlukan kemampuan luar biasa dan performa saintifik.
Tapi seterdidiknya kita, sebagian besar dari populasi kita masih tak yakin dan kikuk secara politik. Orang boleh jadi berpikir bahwa sebagai bangsa penyair dan filsuf, seniman dan penemu, kita juga akan memimpin secara politik di antara bangsa-bangsa yang kita kuasai secara budaya. Itu sayangnya tidak benar sampai saat ini. Banyak sekali orang Jerman bahkan hari ini tak punya naluri politik andal. Kemauan politik dan persepsi arah mereka tidak memadai. Kita harus akui ini, suka tidak suka. Kita tidak bisa menggali alasan-alasan untuk situasi ini di sini, tapi bisa menyebutkan beberapa poin kunci. Fragmentasi Jerman terdahulu ke dalam negara-negara bagian kecil adalah pukulan fatal bagi haluan politik manunggal apapun, bagi nasionalisme populer Jerman, dan bagi semua pendidikan politik ke arah satu tujuan, “Jerman.”
Bagaimana rakyat Jerman bisa menjadi sebuah “roche de bronze” (batu perunggu), sebuah batu kokoh kemauan dan kekukuhan politik, ketika perpolitikan negara-negara bagian Jerman terpecah-belah untuk waktu lama? Kekuatan tempur manunggal kita semasa Perang Dunia cukup sering dirugikan oleh pertempuran-pertempuran antara berbagai negara bagian Jerman yang mustahil untuk kita pahami hari ini. Kita orang Jerman tak punya tekad politik yang diperlukan pada abad lalu, di dalam negeri, di Eropa, dan di dunia. Rerata orang Inggris tidak hampir seterdidik orang Jerman, tapi dia lebih matang dan yakin akan pendapat-pendapatnya. Oleh karenanya dia tidak butuh pendidikan politik permanen seperti kita.
Hari ini, Reich Jerman baru telah menegakkan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menghapus kekeliruan-kekeliruan lama itu dan untuk mendirikan apa yang semua orang Jerman dambakan selama bergenerasi-generasi: sebuah kemauan politik manunggal semua orang Jerman untuk membangun kekuatan ibu pertiwi.
Aku barusan bilang kondisi-kondisi telah ditegakkan, secara politik, budaya, dan sosial. Artinya segalanya siap. Kita tak punya alasan untuk letih dan beristirahat di atas kemenangan kita. Itu hanya akan membuat kita gemuk dan malas. Sekarang kita harus membangun di atas kondisi-kondisi itu untuk mencapai hasil-hasil hebat. Ini akan bergantung pada kita masing-masing. Kita semua harus bekerja keras. Para propagandis politik paling harus bekerja keras. Ada jalan panjang dan sulit di depan mereka sebelum kita mendekati sasaran yang orang Inggris capai sudah lama dan pertahankan dengan sangat percaya diri.
Beberapa warga yang dengan gembira menghindari pertemuan-pertemuan politik dan menganggap itu berlebihan, “karena kita bagaimanapun juga sedang berkuasa”, membuktikan bahwa mereka tidak memahami bahkan ABC-nya politik. Sebagai contoh, pandangan mereka tentang kebijakan luar negeri Jerman menggelikan. Beberapa tindakan Führer, yang dia ambil dengan pandangan ke dasawarsa-dasawarsa atau bahkan abad-abad ke depan berkat kearifan politiknya, mereka sambut dengan kebungkaman atau ketidakpahaman sama sekali. Jika kita biarkan para peragu semacam itu, mereka akan sangat sengsara, bahkan roboh, karena mereka tak bisa mengenali atau mengalami kesuksesan. Betapa sering kita mendengar bahwa poin program kita yang ini atau itu belum terpenuhi, atau bahwa itu mungkin semestinya bahkan dibuang. Ini menunjukkan ketiadaan naluri politik beberapa orang Jerman. Mereka tidak punya bukan hanya perasaan untuk persatuan politik, tapi juga kekuatan yang dibutuhkan untuk tekad politik. Mereka mengira memiliki dua-duanya, padahal tidak satupun. Mereka harus belajar.
Kekeliruan utama politik Jerman di masa lalu, dengan beberapa pengecualian berkilau, adalah ketidaktertiban, ketidakpastian, kebimbangan, dan kebingungan. Itu mencapai puncaknya pada masa kompromi harian periode pasca perang. Semua kelemahan politik Jerman tampil ke depan. Schiller suatu kali berkata: “Berjuanglah, wahai Jerman, untuk mendapatkan kekuatan Roma, keindahan Yunani. Dua-duanya bisa kau menangkan. Tapi jangan pernah kegamangan Gallik [gallische Sprung].” Dia memahami ketidakharmonisan politik Jerman. Prajurit kita semestinya menampakkan kekuatan Romawi, pencapaian sains dan budaya kita semestinya menampakkan keindahan Yunani. Kita sudah mencapai hal-hal besar di kedua bidang, hal-hal tak tertandingi. Kesuksesan persenjataan Jerman yang nyaris tak terbilang semestinya telah memberi kita sebuah posisi politik yang berbeda seratus persen daripada yang kita miliki dahulu. Betapa sering bangsa-bangsa lain menarik keuntungan politik dari kemenangan militer kita?
Kegamangan Gallik tidak cocok untuk kita. Frasa Prancis Toujours en vedette tidak berarti kegamangan itu sendiri, tapi lebih tepatnya kesediaan untuk berubah. Orang Jerman terlalu mudah puas dengan apa yang dia capai; dia terlalu cepat “jenuh” secara politik, meminjam ungkapan Bismarck. Itu sebetulnya berlaku hanya pada saat itu, tapi menjadi sebuah dogma. Orang Jerman terlalu cepat menyerah ketika dia tidak langsung mencapai sasaran politiknya, dan puas dengan situasi. Dia belum belajar memandang jauh dalam politik, belum belajar menunggu dan membiarkan waktu bekerja untuknya. Orang Jerman terlalu rela menerima yang terbaik kedua dalam urusan politik.
Penerjemahan atas seizin Randall L. Bytwerk.
Judul asli | : | Political Propaganda as a Moral Duty<i=1p9UDBbc6UeIgDXWFHEav95Lowchc2-L_ 224KB>Political Propaganda as a Moral Duty (1936) |
Pengarang | : | Josef Wells |
Penerbit | : | Relift Media, Oktober 2024 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |