Skip to content
Kebebasan Berpikir & Propaganda Negara – Relift Media

Kebebasan Berpikir & Propaganda Negara Bacaan non-fiksi politik

author _Bertrand Russell_; date _1922_ genre _Politik_; category _Pidato_; type _Nonfiksi_ Kita dapat katakan pemikiran adalah bebas ketika ia terpapar persaingan bebas di antara kepercayaan-kepercayaan—yakni ketika semua kepercayaan bisa menyatakan argumen mereka, dan tak ada keunggulan atau kerugian legal atau finansial yang melekat pada kepercayaan-kepercayaan. Moncure Conway, yang untuk menghormatinya kita berkumpul hari ini, mengabdikan hidupnya untuk dua tujuan besar: kebebasan berpikir dan kebebasan individu. Berkenaan dengan kedua tujuan ini, ada yang bertambah sejak masanya, tapi ada pula yang hilang. Bahaya-bahaya baru, sesuatu yang bentuknya berbeda dari bahaya-bahaya zaman lampau, mengancam kedua jenis kebebasan, dan, kecuali jika opini publik yang bertenaga dan waspada bisa dibangunkan untuk mempertahankannya, keduanya akan jauh lebih sedikit pada seratus tahun ke depan dibanding saat ini. Maksudku dalam pidato ini adalah untuk menekankan bahaya-bahaya baru tersebut dan untuk mempertimbangkan bagaimana mereka bisa dihadapi. Mari kita mulai dengan mencoba lugas tentang apa yang kita maksud dengan “pemikiran bebas”. Ungkapan ini memi­liki dua pengertian. Dalam pengertian sempitnya, itu ber­makna pemikiran yang tidak menerima dogma-dogma agama tradisional. Dalam pengertian ini, seseorang adalah “pemikir bebas” jika dia bukan Kristiani, atau Muslim, atau Buddhis, atau Shintois, atau anggota kumpulan manusia apapun yang menerima ortodoksi warisan. Di negara-negara Kristen, sese­orang disebut “pemikir bebas” jika dia jelas-jelas tidak ber­iman pada Tuhan, meski ini tidak cukup untuk membuat se­seorang menjadi “pemikir bebas” di sebuah negara Buddhis. Aku tak ingin mengecilkan pentingnya pemikiran bebas dalam pengertian ini. Aku sendiri penyelisih dari semua agama dikenal, dan aku harap setiap jenis kepercayaan agama akan padam. Aku tidak percaya bahwa, secara keselu­ruhan, kepercayaan agama adalah kekuatan untuk kebaikan. Kendati siap mengakui bahwa di waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu ia memiliki beberapa efek baik, aku anggap ia tergolong kepada masa pertumbuhan nalar manusia dan kepada tahap perkembangan yang kini sedang kita lewati. Tapi ada pula pengertian luas “pemikiran bebas”, yang kuanggap sebagai lebih penting lagi. Bahkan, kerusakan yang ditimbulkan oleh agama-agama tradisional paling bisa ditelu­suri dari fakta bahwa mereka mencegah pemikiran bebas dalam pengertian luas ini. Pengertian luas ini tidak semudah pengertian sempit untuk didefinisikan, dan sebaiknya kita menghabiskan sedikit waktu dalam mencoba mencapai esensinya. Ketika kita menyebut sesuatu sebagai “bebas”, maksud kita tidak definitif, kecuali jika kita bisa mengatakan ia bebas dari apa. Apapun atau siapapun yang “bebas” tidaklah tunduk pada suatu paksaan eksternal, dan agar presisi sebaiknya kita mengatakan paksaan seperti apa ini. Alhasil, pemikiran ada­lah “bebas” ketika ia bebas dari jenis-jenis kontrol luar ter­tentu yang sering hadir. Beberapa dari jenis-jenis kontrol ini, yang harus absen agar pemikiran menjadi “bebas”, bersifat kentara, tapi yang lain lebih halus dan licin. Mulai dari yang paling kentara. Pemikiran tidak “bebas” ketika hukuman legal timbul karena memegang atau tidak memegang opini tertentu, atau karena mengungkapkan ke­percayaan atau ketidakpercayaan seseorang dalam urusan tertentu. Sedikit sekali negara di dunia hingga kini memiliki bahkan kebebasan jenis dasar ini. Di Inggris, di bawah Hu­kum Penistaan Agama, adalah ilegal untuk mengungkapkan ketidakpercayaan terhadap agama Kristen, meski dalam prakteknya hukum tersebut tidak dijalankan terhadap kaum kaya. Juga ilegal untuk mengajarkan apa yang Kristus ajar­kan perihal non-perlawanan. Oleh karenanya, siapapun yang tak ingin menjadi seorang narapidana harus menyatakan setuju dengan ajaran Kristus, tapi tak boleh mengatakan apa ajaran tersebut. Di Amerika, tak seorangpun bisa memasuki negara itu tanpa terlebih dulu menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa dia tidak mempercayai anarkisme dan poli­gami; dan, sekali berada di dalam, dia juga harus menging­kari komunisme. Di Jepang, adalah ilegal untuk mengung­kapkan ketidakpercayaan terhadap ketuhanan/kedewaan Mikado. Dengan demikian akan terlihat bahwa pelayaran keliling dunia adalah petualangan berbahaya. Seorang Mus­lim, seorang Tolstoya, seorang Bolshevik, atau seorang Kris­tiani tidak bisa melakukannya tanpa pada suatu titik menjadi seorang narapidana, atau tanpa menahan lidahnya tentang apa yang dia anggap kebenaran penting. Ini tentu saja ber­laku hanya pada para penumpang kelas geladak; penumpang ruang santai dibolehkan mempercayai apapun yang mereka suka, asalkan mereka menghindari kemenonjolan ofensif. Jelas bahwa kondisi paling dasar, agar pemikiran menjadi bebas, adalah absennya hukuman legal untuk pengungkapan pendapat. Tak satupun negara besar sudah mencapai level ini, walaupun kebanyakan dari mereka berpikir sudah menca­painya. Pendapat-pendapat yang masih dipersekusi terkesan sangat buruk dan amoral bagi mayoritas sampai-sampai prin­sip umum toleransi tidak bisa dianggap berlaku pada penda­pat-pendapat itu. Tapi ini adalah pandangan yang persis sama dengan yang memungkinkan siksaan-siksaan Inkui­sisi. Ada masa ketika Protestanisme tampak sama fasiknya dengan Bolshevisme saat ini. Tolong jangan simpulkan dari komentar ini bahwa aku seorang Protestan atau Bolshevik. Akan tetapi, hukuman legal di dunia modern adalah rintangan paling kecil bagi kebebasan berpikir. Dua rintangan besar adalah hukuman ekonomi dan pemutarbalikan bukti. Jelas bahwa pemikiran tidaklah bebas jika pernyataan pen­dapat tertentu membuat seseorang mustahil untuk mencari nafkah. Jelas pula bahwa pemikiran tidaklah bebas jika semua argumen di satu pihak perdebatan terus-menerus di­tampilkan semenarik mungkin, sementara argumen-argu­men di pihak lain hanya bisa ditemukan dengan pencarian tekun. Kedua rintangan ini eksis di setiap negara besar yang kukenal, kecuali China, yang merupakan tempat perlindung­an kebebasan terakhir. Rintangan-rintangan inilah yang akan kusoroti—besaran mereka saat ini, kemungkinan pembesa­ran mereka, dan kemungkinan penyusutan mereka. Kita dapat katakan pemikiran adalah bebas ketika ia ter­papar persaingan bebas di antara kepercayaan-kepercayaan—yakni ketika semua kepercayaan bisa menyatakan argumen mereka, dan tak ada keunggulan atau kerugian legal atau finansial yang melekat pada kepercayaan-kepercayaan. Ini adalah sebuah ideal yang, untuk berbagai alasan, tak pernah bisa dicapai sepenuhnya. Tapi adalah mungkin untuk men­dekatinya sangat lebih dekat dibanding saat ini. Tiga insiden dalam hidupku sendiri akan membantu me­nunjukkan bagaimana, di Inggris modern, timbangan lebih berat kepada Kristen. Alasanku untuk menyebutkan insiden-insiden itu adalah bahwa banyak orang sama sekali tidak menyadari kerugian yang masih ditimpakan oleh Agnoti­sisme terbuka kepada masyarakat. Insiden pertama adalah bagian dari tahap sangat awal da­lam hidupku. Ayahku seorang Pemikir Bebas, tapi meninggal saat aku baru berumur 3 tahun. Ingin aku dibesarkan tanpa takhayul, dia menunjuk dua Pemikir Bebas sebagai waliku. Akan tetapi, Pengadilan mengesampingkan wasiatnya, dan memerintahkan agar aku dididik dalam keyakinan Kristen. Aku rasa putusan tersebut mengecewakan, tapi itu bukan salah hukum. Andai ayahku mengarahkan agar aku dididik sebagai seorang Kristadelfian atau seorang Muggletonian atau seorang Adventis Hari Ketujuh, Pengadilan tidak bakal bermimpi untuk keberatan. Seorang ayah punya hak untuk memutuskan takhayul apa saja boleh ditanamkan ke dalam anak-anaknya setelah dia mati, tapi tak punya hak untuk mengatakan mereka harus dijaga tetap bebas dari takhayul jika memungkinkan.
Judul asli : Free Thought and Official Propaganda<i=1R7XDwMa0noyixQDgsnyyw6ZwwRtLG2eQ 298KB>Free Thought and Official Propaganda
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Oktober 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Kebebasan Berpikir & Propaganda Negara

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)