Kita dapat katakan pemikiran adalah bebas ketika ia terpapar persaingan bebas di antara kepercayaan-kepercayaan—yakni ketika semua kepercayaan bisa menyatakan argumen mereka, dan tak ada keunggulan atau kerugian legal atau finansial yang melekat pada kepercayaan-kepercayaan.
Moncure Conway, yang untuk menghormatinya kita berkumpul hari ini, mengabdikan hidupnya untuk dua tujuan besar: kebebasan berpikir dan kebebasan individu. Berkenaan dengan kedua tujuan ini, ada yang bertambah sejak masanya, tapi ada pula yang hilang. Bahaya-bahaya baru, sesuatu yang bentuknya berbeda dari bahaya-bahaya zaman lampau, mengancam kedua jenis kebebasan, dan, kecuali jika opini publik yang bertenaga dan waspada bisa dibangunkan untuk mempertahankannya, keduanya akan jauh lebih sedikit pada seratus tahun ke depan dibanding saat ini. Maksudku dalam pidato ini adalah untuk menekankan bahaya-bahaya baru tersebut dan untuk mempertimbangkan bagaimana mereka bisa dihadapi.
Mari kita mulai dengan mencoba lugas tentang apa yang kita maksud dengan “pemikiran bebas”. Ungkapan ini memiliki dua pengertian. Dalam pengertian sempitnya, itu bermakna pemikiran yang tidak menerima dogma-dogma agama tradisional. Dalam pengertian ini, seseorang adalah “pemikir bebas” jika dia bukan Kristiani, atau Muslim, atau Buddhis, atau Shintois, atau anggota kumpulan manusia apapun yang menerima ortodoksi warisan. Di negara-negara Kristen, seseorang disebut “pemikir bebas” jika dia jelas-jelas tidak beriman pada Tuhan, meski ini tidak cukup untuk membuat seseorang menjadi “pemikir bebas” di sebuah negara Buddhis.
Aku tak ingin mengecilkan pentingnya pemikiran bebas dalam pengertian ini. Aku sendiri penyelisih dari semua agama dikenal, dan aku harap setiap jenis kepercayaan agama akan padam. Aku tidak percaya bahwa, secara keseluruhan, kepercayaan agama adalah kekuatan untuk kebaikan. Kendati siap mengakui bahwa di waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu ia memiliki beberapa efek baik, aku anggap ia tergolong kepada masa pertumbuhan nalar manusia dan kepada tahap perkembangan yang kini sedang kita lewati.
Tapi ada pula pengertian luas “pemikiran bebas”, yang kuanggap sebagai lebih penting lagi. Bahkan, kerusakan yang ditimbulkan oleh agama-agama tradisional paling bisa ditelusuri dari fakta bahwa mereka mencegah pemikiran bebas dalam pengertian luas ini. Pengertian luas ini tidak semudah pengertian sempit untuk didefinisikan, dan sebaiknya kita menghabiskan sedikit waktu dalam mencoba mencapai esensinya.
Ketika kita menyebut sesuatu sebagai “bebas”, maksud kita tidak definitif, kecuali jika kita bisa mengatakan ia bebas dari apa. Apapun atau siapapun yang “bebas” tidaklah tunduk pada suatu paksaan eksternal, dan agar presisi sebaiknya kita mengatakan paksaan seperti apa ini. Alhasil, pemikiran adalah “bebas” ketika ia bebas dari jenis-jenis kontrol luar tertentu yang sering hadir. Beberapa dari jenis-jenis kontrol ini, yang harus absen agar pemikiran menjadi “bebas”, bersifat kentara, tapi yang lain lebih halus dan licin.
Mulai dari yang paling kentara. Pemikiran tidak “bebas” ketika hukuman legal timbul karena memegang atau tidak memegang opini tertentu, atau karena mengungkapkan kepercayaan atau ketidakpercayaan seseorang dalam urusan tertentu. Sedikit sekali negara di dunia hingga kini memiliki bahkan kebebasan jenis dasar ini. Di Inggris, di bawah Hukum Penistaan Agama, adalah ilegal untuk mengungkapkan ketidakpercayaan terhadap agama Kristen, meski dalam prakteknya hukum tersebut tidak dijalankan terhadap kaum kaya. Juga ilegal untuk mengajarkan apa yang Kristus ajarkan perihal non-perlawanan. Oleh karenanya, siapapun yang tak ingin menjadi seorang narapidana harus menyatakan setuju dengan ajaran Kristus, tapi tak boleh mengatakan apa ajaran tersebut. Di Amerika, tak seorangpun bisa memasuki negara itu tanpa terlebih dulu menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa dia tidak mempercayai anarkisme dan poligami; dan, sekali berada di dalam, dia juga harus mengingkari komunisme. Di Jepang, adalah ilegal untuk mengungkapkan ketidakpercayaan terhadap ketuhanan/kedewaan Mikado. Dengan demikian akan terlihat bahwa pelayaran keliling dunia adalah petualangan berbahaya. Seorang Muslim, seorang Tolstoya, seorang Bolshevik, atau seorang Kristiani tidak bisa melakukannya tanpa pada suatu titik menjadi seorang narapidana, atau tanpa menahan lidahnya tentang apa yang dia anggap kebenaran penting. Ini tentu saja berlaku hanya pada para penumpang kelas geladak; penumpang ruang santai dibolehkan mempercayai apapun yang mereka suka, asalkan mereka menghindari kemenonjolan ofensif.
Jelas bahwa kondisi paling dasar, agar pemikiran menjadi bebas, adalah absennya hukuman legal untuk pengungkapan pendapat. Tak satupun negara besar sudah mencapai level ini, walaupun kebanyakan dari mereka berpikir sudah mencapainya. Pendapat-pendapat yang masih dipersekusi terkesan sangat buruk dan amoral bagi mayoritas sampai-sampai prinsip umum toleransi tidak bisa dianggap berlaku pada pendapat-pendapat itu. Tapi ini adalah pandangan yang persis sama dengan yang memungkinkan siksaan-siksaan Inkuisisi. Ada masa ketika Protestanisme tampak sama fasiknya dengan Bolshevisme saat ini. Tolong jangan simpulkan dari komentar ini bahwa aku seorang Protestan atau Bolshevik.
Akan tetapi, hukuman legal di dunia modern adalah rintangan paling kecil bagi kebebasan berpikir. Dua rintangan besar adalah hukuman ekonomi dan pemutarbalikan bukti. Jelas bahwa pemikiran tidaklah bebas jika pernyataan pendapat tertentu membuat seseorang mustahil untuk mencari nafkah. Jelas pula bahwa pemikiran tidaklah bebas jika semua argumen di satu pihak perdebatan terus-menerus ditampilkan semenarik mungkin, sementara argumen-argumen di pihak lain hanya bisa ditemukan dengan pencarian tekun. Kedua rintangan ini eksis di setiap negara besar yang kukenal, kecuali China, yang merupakan tempat perlindungan kebebasan terakhir. Rintangan-rintangan inilah yang akan kusoroti—besaran mereka saat ini, kemungkinan pembesaran mereka, dan kemungkinan penyusutan mereka.
Kita dapat katakan pemikiran adalah bebas ketika ia terpapar persaingan bebas di antara kepercayaan-kepercayaan—yakni ketika semua kepercayaan bisa menyatakan argumen mereka, dan tak ada keunggulan atau kerugian legal atau finansial yang melekat pada kepercayaan-kepercayaan. Ini adalah sebuah ideal yang, untuk berbagai alasan, tak pernah bisa dicapai sepenuhnya. Tapi adalah mungkin untuk mendekatinya sangat lebih dekat dibanding saat ini.
Tiga insiden dalam hidupku sendiri akan membantu menunjukkan bagaimana, di Inggris modern, timbangan lebih berat kepada Kristen. Alasanku untuk menyebutkan insiden-insiden itu adalah bahwa banyak orang sama sekali tidak menyadari kerugian yang masih ditimpakan oleh Agnotisisme terbuka kepada masyarakat.
Insiden pertama adalah bagian dari tahap sangat awal dalam hidupku. Ayahku seorang Pemikir Bebas, tapi meninggal saat aku baru berumur 3 tahun. Ingin aku dibesarkan tanpa takhayul, dia menunjuk dua Pemikir Bebas sebagai waliku. Akan tetapi, Pengadilan mengesampingkan wasiatnya, dan memerintahkan agar aku dididik dalam keyakinan Kristen. Aku rasa putusan tersebut mengecewakan, tapi itu bukan salah hukum. Andai ayahku mengarahkan agar aku dididik sebagai seorang Kristadelfian atau seorang Muggletonian atau seorang Adventis Hari Ketujuh, Pengadilan tidak bakal bermimpi untuk keberatan. Seorang ayah punya hak untuk memutuskan takhayul apa saja boleh ditanamkan ke dalam anak-anaknya setelah dia mati, tapi tak punya hak untuk mengatakan mereka harus dijaga tetap bebas dari takhayul jika memungkinkan.
Judul asli | : | Free Thought and Official Propaganda<i=1R7XDwMa0noyixQDgsnyyw6ZwwRtLG2eQ 298KB>Free Thought and Official Propaganda (1922) |
Pengarang | : | Bertrand Russell |
Penerbit | : | Relift Media, Oktober 2024 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Pidato |