Skip to content
Apakah Yudaisme Agama Kesukuan Kebangsaan atau Universal? – Relift Media

Apakah Yudaisme Agama Kesukuan Kebangsaan atau Universal? Bacaan non-fiksi religi

author _Claude Goldsmid Montefiore_; date _1882_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Seorang pembaca yang mengetahui Perjanjian Lama hanya melalui tukilan-tukilan ini kemungkinan akan menarik kesimpulan bahwa tribalisme dan universalisme terkandung di dalamnya. Dia akan cenderung menyatakan bahwa kutipan universalisme tidak bisa menyangkal keberadaan tribalisme. Pembahasan soal-soal agama umumnya disamarkan oleh definisi yang tak tepat. Oleh sebab itu, sebaiknya menerangkan pengertian yang akan dipakai di sini untuk kata “Yudaisme” dan “agama kesukuan”. Kecuali jika ditambahkan suatu kualifikasi penjelasan, Yudaisme dalam halaman-hala­man berikut akan selalu berarti agama orang-orang Yahudi berpendidikan di negara-negara beradab di masa kini. Adalah adil belaka bahwa Yudaisme mesti dinilai bukan dari gamba­ran khayali pendapat-pendapat keagamaan para pengikutnya yang lebih jahil dan kurang pandai, tapi dari pernyataan dan paparan orang-orang berotoritas terakui. Bahwa orang-orang Yahudi di negara-negara tak beradab mesti dikecualikan, hal itu bukan hanya wajar tapi perlu; sebab dari mereka bahan-bahan penyelidikan tidak muncul. Pun kata-kata “di masa kini” tak perlu ditambahkan. Sebab, sayangnya, literatur Ibrani kuno, baik sakral maupun rabbinik, sering dirampok oleh para pengkritik antagonistik Yudaisme, dan berdasarkan tukilan-tukilan dari dokumen-dokumen disegani ini pendapat dan tendensi orang-orang Yahudi modern dinilai dan disalah­kan. Orang-orang Yahudi, dalam keinginan mereka untuk membela tulisan-tulisan yang mereka hormati, sangat siap menjadikan semua tulisan itu medan di mana pertempuran hendak dilancarkan. Alhasil, isu nyata menyangkut doktrin dan kepercayaan keagamaan orang-orang Yahudi sebagian besar diterlantarkan oleh kedua pihak debat. Dengan isu nyata tersebut literatur Ibrani kuno tidak memiliki kaitan apa-apa sama sekali, kecuali sebagaimana ditafsirkan oleh para pengurai Yahudi modern. Apakah metode pemaparan mereka bisa dijustifikasi secara ilmiah, itu tak ada sangkut­paut dengan materi saat ini. Watak dan ajaran Yudaisme terkini dan kontemporer, dan bukan konsistensinya dengan masa lalu, adalah poin-poin yang semestinya dikejar oleh mereka yang tertarik pada persoalan Yahudi. Kata-kata “agama kesukuan” mungkin mengekspresikan dua ide penting berbeda. Jika sebuah agama mengajarkan relasi khusus Tuhan dengan satu ras—jika, dalam bahasa sederhana, itu mengajarkan bahwa Tuhan mengasihi satu bangsa lebih daripada bangsa lain, atau bahwa Dia meng­gunakan semua bangsa lain untuk keuntungan satu bangsa—kita dibenarkan dalam menstigmatisasi agama demikian sebagai bersifat kesukuan dalam pengertian yang ofensif. Tapi jika doktrin suatu agama bersifat universalis, dan tanpa sungkan mengajarkan imparsialitas Tuhan, tetap saja mung­kin seremonial yang berkaitan dengan doktrinnya berkarak­ter kebangsaan. Ras yang menganut sebuah agama demikian mungkin tidak menginginkan atau mengharapkan perluasan seremonialnya ke luar batas-batasnya sendiri. Jika julukan “kesukuan” diterapkan pada agama demikian, itu bukan lagi sebuah stigma. Masih terbuka untuk diperdebatkan apakah para penganut setiap kredo sebaiknya tidak bertujuan menyebarkan doktrinnya maupun seremonialnya, lantaran doktrin tidak mudah disebarkan tanpa bantuan seremonial. Namun, ini masalah pendapat. Persoalan utama adalah dok­trin. Jika tidak ada sukuisme di sini, esensi akidahnya ber­sifat universal. Jika ada anggapan bahwa peristiwa sebuah seremonial kebangsaan semestinya tetap memasukkan se­buah agama ke dalam kategori “kesukuan”, maka pengertian baru dan lebih sempit dalam memakai kata “kesukuan” kini tidak boleh tertukar dengan penerapannya yang lebih relevan dan akurat pada agama yang bersifat kesukuan dalam selu­ruh cakupannya. Mencamkan definisi-definisi ini, kita harus bertanya: “Apakah Yudaisme sebuah Agama Kesukuan?” Ada baiknya pertama-tama menyatakan dengan ringkas tapi jelas alasan-alasan mengapa pertanyaan ini dijawab dengan “ya”. Ada tuduhan bahwa doktrin-doktrin esensial agama Yahudi bersifat kesukuan, dan karenanya bertolak belakang dengan tendensi-tendensi keagamaan dan politik peradaban modern. Tuhan kaum Yahudi, menurut pandangan ini, ada­lah Tuhan kesukuan, dan menempati relasi khusus dengan bani Israel. Mereka adalah kaum pilihan-Nya, yang di dalam mereka Dia diagungkan, dan untuk mereka Dia mengguna­kan bangsa-bangsa dunia lainnya untuk menghukum mereka jika perlu atau membesarkan mereka di masa depan. “Tuhan kaum Yahudi adalah intoleran seperti kaum-Nya. Dia harus memegang monopoli; tak ada tuhan-tuhan lain boleh eksis di samping-Nya. Kaum Yahudi adalah kaum pilihan, dan Dia adalah satu-satunya Tuhan. Kaum Yahudi adalah pelayan-pelayan-Nya, tapi sebagai imbalan mereka akan menjadi tuan-tuan dunia.” Maka, demi kepentingan kaum Yahudi, Tuhan bertindak tak adil terhadap semua kaum lain. Dia memiliki satu jenis keadilan untuk orang Yahudi, dan satu jenis lain untuk Gentil. “Tapi ketika Jehovah memberi privi­lese khusus kepada kaum Yahudi, hingga merugikan dunia selebihnya, Dia menyimpang dari keadilan ilahi dan, karena terikat seperti itu, Dia tidak bisa lagi mencoba meminta pera­saan moral kaum-Nya. Jehovah adalah Tuhan favoritisme dan ketidakadilan.” Harapan kaum Yahudi adalah mereka pada akhirnya akan dipersatukan kembali sebagai sebuah bangsa di Palestina, di mana semua kaum akan membawa­kan mereka upeti dan menjadi budak mereka. “Kerajaan Mesianik”, yang kaum Yahudi dirikan kontra Kristus, adalah sebuah kerajaan duniawi, di mana mereka bakal menjadi lord, dan semua bangsa lain bakal membungkuk di depan mereka dan raja mereka.” Lain lagi, ada tuduhan bahwa moralitas yang diajarkan oleh Yudaisme bersifat kesukuan. “Toleransi yang kaum Yahudi maksud adalah toleransi kepada diri mereka sendiri dan, melalui itu, domini mereka sendiri. Oleh karenanya, toleransi terhadap kaum Yahudi adalah kebeba­san dari intoleransi. Sebagaimana dalam Perjanjian Lama, begitu pula bahkan sampai hari ini, semua bangsa di mata mereka adalah orang asing, yang terhadapnya mereka diizin­kan bertindak berbeda dibanding kepada sesama mereka.” Ketiga, ada tuduhan bahwa kaum Yahudi tak berkeinginan memperluas agama mereka di luar ras mereka sendiri. Ritus-ritus kesukuan dan doktrin-doktrin kesukuan adalah milik eksklusif mereka sendiri. Mereka sepenuhnya menolak pro­selitisme, dan saling menikah dengan satu sama lain agar mereka dapat melestarikan kemurnian ras. “Kita tahu Israel bukan sebuah sekte, melainkan sebuah relik besar tribalisme purba, dengan tanda kesukuannya, pemisahan kesukuannya, dan Tuhan kesukuannya. Afinitas Yudaisme bukanlah de­ngan non-konformitas, melainkan dengan kasta. Andai Yuda­isme agama seperti Kristen atau Buddhisme, ia akan, seperti Kristen dan Buddhisme, memproselitisasi.” Sumber-sumber dan narasumber-narasumber untuk se­rangan-serangan ini tidak pernah diambil dari tulisan orang-orang Yahudi modern. Mereka selalu diambil dari Kitab Suci Ibrani dan Talmud. Ketika penulisnya kebetulan seorang Katolik ortodoks seperti Profesor Rohling, atau seorang Protestan ortodoks seperti Dr. Stöcker, hanya Talmud yang dipakai untuk maksud tersebut. Tapi ketika serangannya, sebagaimana lebih sering terjadi, datang dari beberapa dari orang yang telah mengingkari Kristen ortodoks, Perjanjian Lama juga dimasukkan ke dalam daftar. Dan alhasil dua-dua­nya sama-sama sependapat dalam menuduh bahwa hanya Talmud, atau Perjanjian Lama dan Talmud bersama-sama, yang mengajarkan tribalisme; dan bahwa Yudaisme modern, betapapun itu mengaku mendasarkan doktrinnya pada aja­ran Kitab Suci dan Rabbinik, harus dianggap agama kesu­kuan, sebagai konsekuensi tak terelakkan. Sebelum beralih ke pandangan umum terhadap Yudaisme ortodoks secara keseluruhan, aku harus mengatakan sesuatu tentang masing-masing poin ini. Tujuanku lebih untuk men­jelaskan ketimbang membela; tapi seringkali penjelasan pa­ling benar adalah pembelaan paling baik. Jika kita pertimbangkan tuduhan terakhir terlebih dulu, yang menyediakan bahan untuk tiga tuduhan lain, kita harus menemukan penggunaan Alkitab atau Talmud oleh kaum Yahudi untuk keperluan keagamaan saja. Bahkan dengan asumsi bahwa Kitab Suci Ibrani dan tulisan Rabbinik memang, entah secara keseluruhan atau di sana-sini, meng­ajarkan agama kesukuan, bagaimanapun juga Yudaisme mo­dern mengabaikan atau menyangkal fakta tersebut. Kapan­pun Perjanjian Lama dipakai untuk maksud keagamaan, dan sebagai dasar untuk ajaran resmi Yahudi, ayat-ayat apapun yang di dalamnya para pengkritik mazhab tertentu menemu­kan tendensi-tendensi kesukuan, disisihkan melalui penjela­san atau diabaikan tanpa suara. Metode tafsir serupa diambil dalam kasus Talmud. Dan bahkan dalam risalat-risalat ilmiah, anjuran-anjuran kebiasaan beruratakar masih diikuti. Teolog-teolog non-Yahudi paling moderat melihat, dalam tulisan-tulisan Perjanjian Lama, rekaman sebuah proses di mana doktrin-doktrin universalis murni agama sedang ber­juang keluar dari lingkungan kebangsaannya. Akan tetapi, mereka begitu sepakat dengan para penulis pamflet anti-Yahudi sampai-sampai mengakui ada banyak dalam Kitab-kitab Suci Ibrani yang menyetujui dan mendukung tuduhan tribalisme. Jika kita membaca beberapa jawaban Yahudi terhadap serangan-serangan mutakhir, akan terlihat bahwa mereka terdiri sebagian dari tafsir mahir terhadap ayat-ayat yang dituduh sukuis (dengan maksud menunjukkan ayat-ayat itu sebetulnya konsisten dengan universalisme), tapi utamanya dari kutipan-kutipan segar yang berakibat sebalik­nya. Seorang pembaca yang mengetahui Perjanjian Lama hanya melalui tukilan-tukilan ini kemungkinan akan menarik kesimpulan bahwa tribalisme dan universalisme terkandung di dalamnya. Dia akan cenderung menyatakan bahwa kutipan universalisme tidak bisa menyangkal keberadaan tribalisme.
Judul asli : Is Judaism a Tribal Religion?<i=1QHCf8rO_E6B1wWFekUFIERb7zjlOE1HA 542KB>Is Judaism a Tribal Religion?
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, September 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Apakah Yudaisme Agama Kesukuan Kebangsaan atau Universal?

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)