Skip to content
Apakah Tuhan Yesus Manusia Berkebangsaan dan Beragama Yahudi? – Relift Media

Apakah Tuhan Yesus Manusia Berkebangsaan dan Beragama Yahudi? Bacaan non-fiksi religi

author _Houston Stewart Chamberlain_; date _1899_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Probabilitas bahwa Kristus bukan Yahudi, bahwa Dia tidak memiliki setetespun darah Yahudi tulen dalam pembuluhnya, begitu besar sehingga hampir sama dengan sebuah kepastian. Termasuk kepada ras apa Dia? Ini sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab sama sekali. Seandainya aku mengikuti keinginanku sendiri, aku bakal menutup bab ini di sini. Tapi kita perlu, demi kepentingan banyak poin yang akan dibahas nanti, memper­timbangkan kepribadian Kristus bukan hanya dalam indivi­dualitasnya yang murni dan terpisah tapi juga dalam relasi­nya dengan lingkungannya. Kalau tidak, ada banyak feno­mena penting di masa lalu dan masa kini yang tetap tak bisa dimengerti. Sungguh penting apakah melalui analisa cermat kita sudah membentuk ide-ide tepat terkait hal-hal apa yang Yahudis dan yang tidak dalam sosok ini. Mengenai poin ini, sejak permulaan era Masehi hingga hari ini dan dari ke­dalaman terendah dunia intelektual hingga ketinggian ter­agungnya, telah ada kesimpangsiuran besar. Bukan saja sosok seluhur itu tidak mudah untuk siapapun pahami dan renungkan dalam relasi-relasi organiknya dengan dunia kon­temporer, tapi segala sesuatu bertepatan untuk meredupkan dan memalsukan ciri-ciri hakikinya. Idiosinkrasi keagamaan Yahudi, mistikisme Suriah, asketisisme Mesir, metafisika Hellenik, segera juga tradisi-tradisi Negara dan Pontifeks Romawi, sebagaimana pula takhayul kaum barbar; setiap bentuk kesalahpahaman dan kebodohan memiliki andil dalam pekerjaan itu. Di abad 19, banyak orang telah men­curahkan diri untuk mengurai jerat ini, tapi, sejauh yang kutahu, tak seorangpun berhasil memisahkan, dari kumpulan fakta-fakta, beberapa poin esensial dan menempatkan mereka dengan jelas di depan mata semua orang. Bahkan, pengetahuan jujur sekalipun tidak melindungi kita dari prasangka dan keberpihakan. Di sini kita akan mencoba, sayangnya memang tanpa pengetahuan spesialis, tapi juga tanpa prasangka, untuk mencaritahu seberapa jauh Kristus menjadi bagian dari lingkungan-Nya dan mempergunakan bentuk-bentuk mereka untuk melihat keadaan, seberapa jauh Dia berbeda dari mereka dan menjulang tinggi seperti langit di atas mereka; hanya dengan cara ini kita bisa membebaskan kepribadian-Nya dari semua situasi kebetulan dan menun­jukkan martabat kepribadian-Nya yang penuh dan otonom. Oleh karena itu, mari kita pertama-tama tanyakan pada diri kita sendiri: Apakah Kristus orang Yahudi secara ras? Pertanyaan ini sekilas terasa agak kekanakan. Di depan kepribadian sehebat itu, kekhasan-kekhasan ras menyusut ke dalam ketiadaan. Seorang Yesaya, betapapun dia menjulang di atas orang-orang sezamannya, tetaplah seorang Yahudi bukan kepalang; tak sepatah katapun dia ucapkan yang tidak bersumber dari sejarah dan semangat kaumnya; bahkan ketika dia tanpa ampun membongkar dan mengutuk apa yang berkarateristik Yahudi, dia membuktikan dirinya—ter­utama dalam hal ini—orang Yahudi; dalam kasus Kristus tidak ada jejak ini. Baca lagi Homer! Dia membangunkan bangsa Helenik untuk pertama kalinya terhadap kesadaran akan dirinya; untuk bisa melakukan itu, dia harus menyim­pan di dalam dadanya sendiri saripati seluruh Hellenisme. Tapi di manakah kaum yang, setelah dibangunkan oleh Kristus untuk hidup, mendapatkan hak berharga itu—hak untuk menyebut Kristus sebagai milik mereka? Sudah pasti bukan di Yudea! Bagi orang beriman, Yesus adalah Putera Tuhan, bukan manusia; bagi orang kafir, akan sulit mene­mukan formula untuk mencirikan dengan begitu ringkas tapi begitu ekspresif fakta tak terpungkiri akan kepribadian tiada tara dan tak terjelaskan ini. Bagaimanapun juga, ada feno­mena-fenomena yang tidak bisa ditempatkan dalam kom­pleks konsepsi intelektual kita tanpa sebuah simbol. Sampai di situ saja persoalan prinsip, dan itu untuk menghapus dari diriku semua kecurigaan bahwa aku sedang diseret oleh mazhab “historis” dangkal itu, yang berusaha menjelaskan hal-hal tak terjelaskan. Mencoba mendapatkan semua kemungkinan informasi terkait lingkungan historis sebuah kepribadian dengan maksud sederhana, yaitu memperoleh pandangan lebih jelas dan lebih baik tentangnya, adalah perkara lain. Jika kita betul-betul mengupayakan ini, jawaban untuk pertanyaan “Apakah Kristus seorang Yahudi?” sama sekali bukan jawaban sederhana. Dalam hal agama dan pen­didikan, Dia sudah pasti Yahudi; dalam hal ras (dalam pe­ngertian lebih sempit dan riil untuk kata “Yahudi”) barangkali bukan. Nama Galilee/Galilea (dari Gelil haggoyim) berarti “distrik kaum pagan”. Tampaknya wilayah ini, yang begitu jauh dari pusat intelektual, tak pernah menjaga dirinya tetap murni, bahkan di masa-masa paling awal ketika Israel masih kuat dan bersatu, dan itu berfungsi sebagai rumah untuk suku Naftali dan suku Zebulon. Terkait suku Naftali, kita diberi­tahu bahwa itu berasal dari “asal-usul sangat campuran” per­tama, dan meski orang-orang pribumi non-bani Israel terus tinggal di seluruh Palestina seperti sebelumnya, keadaan ini terjadi “dalam kadar tidak sebesar di distrik-distrik utara”. Akan tetapi, ada satu kondisi tambahan lain. Sementara wilayah Palestina selebihnya tetap—berkat posisi geografis­nya—terisolir dari dunia, terdapat (bahkan di masa ketika bani Israel mengambil tanah itu) sebuah jalan yang mem­bawa dari danau Genesaret ke Damaskus, dan dari titik tersebut Tirus dan Sidon lebih bisa diakses dibanding Yeru­salem. Dengan demikian kita menemukan bahwa Salomo/Sulaiman menyerahkan sebagian besar distrik kaum pagan ini (sebagaimana sudah dijuluki begitu, 1 Raja-raja ix:2), beserta 20 kota kepada Raja Tirus sebagai bayaran atas hantaran-hantarannya berupa pohon aras dan pinus, selain untuk emas seberat 12000 hundredweight yang disumbang­kan oleh Raja Tirus untuk pembangunan kuil; begitu kecil ketertarikan Raja Yudea terhadap tanah ini, yang setengah dihuni oleh orang-orang pagan. Hiram, sang Raja Tirus, bah­kan pasti mendapatinya berpenduduk jarang, sebab dia me­manfaatkan kesempatan tersebut untuk menempatkan ber­bagai suku asing di Galilea.2 Kemudian terjadilah, sebagai­mana setiap orang ketahui, pembelahan kerajaan menjadi dua, dan sejak saat itu, yakni sejak kira-kira 1000 tahun sebelum Masehi (!), hanya sesekali dan untuk waktu singkat, terdapat hubungan politik relatif erat antara Galilea dan Yudea, dan hanya inilah, bukan kesamaan akidah keaga­maan, yang memajukan peleburan ras-ras. Di masa Kristus pun Galilea secara politik lumayan terpisah dari Yudea, sehingga ia ada dalam hubungan “sebuah negeri asing” dengan Yudea. Namun, sementara itu, sebelumnya telah terjadi sesuatu yang pasti menghancurkan hampir secara total, untuk selamanya, karakter bani Israel distrik utara ini; 720 tahun sebelum masehi (yakni sekitar 150 tahun sebelum pembuangan kaum Yahudi ke Babilonia) kerajaan utara Israel diporakporandakan oleh bangsa Asyur, dan popu­lasinya—konon setiap orang, pokoknya sebagian besar—dideportasi ke wilayah-wilayah Kekaisaran yang berbeda dan jauh, di mana mereka segera melebur dengan penghuni lain­nya dan karenanya menghilang sama sekali. Di saat yang sama, ras-ras asing dari distrik-distrik terpencil diangkut ke Palestina untuk menetap di sana. Para narasumber sungguh-sungguh menduga (tanpa mampu menjaminnya) bahwa se­bagian besar populasi bani Israel campuran terdahulu tetap tinggal di tanah itu; pokoknya sisa-sisa ini tidak menjaga jarak dari orang-orang asing itu, tapi menjadi lebur dalam campuran ras-ras. Alhasil, nasib distrik-distrik ini sungguh berbeda dari nasib Yudea. Sebab ketika orang-orang Yudea di masa belakangan juga dibawa ke dalam pembuangan, tanah mereka boleh dibilang tetap kosong, dihuni hanya oleh beberapa petani yang lagipula bagian dari negeri itu, sehingga ketika mereka kembali dari pembuangan Babilonia (dan selama itu mereka menjaga ras mereka tetap murni), mereka dapat dengan mudah memelihara kemurnian itu. Di sisi lain, Galilea dan distrik-distrik tetangga, sebagaimana sudah disebutkan, telah dikolonisasi secara sistematis oleh bangsa Asyur dan—sebagaimana terlihat dari keterangan Alkitab—dari wilayah-wilayah sangat berlainan di kekaisaran raksasa itu, di antaranya dari Suriah yang bergunung-gunung di utara. Kemudian, pada abad-abad sebelum kelahiran Kris­tus, banyak orang Fenisia dan Yunani juga bermigrasi ke sana. Fakta terakhir ini akan menggiring kita untuk ber­asumsi bahwa darah murni Arya juga tercangkokkan ke sana; pokoknya, pasti terjadi sebuah percampuran bebas ras-ras paling berlainan, dan bahwa orang-orang asing kemungkinan besar menetap dalam jumlah sangat besar di Galilea yang lebih mudah diakses dan sekaligus lebih subur. Perjanjian Lama sendiri menceritakan dengan kesederhanaan naif bagaimana orang-orang asing ini mulanya mengetahui penyembahan Jehovah (2 Raja-raja xvii:24 ft.); di tanah yang dikosongkan itu binatang pemangsa berkembang biak; wabah ini dianggap sebagai balas dendam “Tuhan Negeri itu” yang dicampakkan (ayat 26); tapi tidak ada seorangpun yang tahu bagaimana “Tuhan Negeri itu” disembah; jadi para kolonis mengutus kepada Raja Asyur dan meminta seorang pendeta bani Israel dari pembuangan, dan dia datang dan “mengajari mereka hukum Tuhan negeri itu”. Dengan cara ini, para penghuni Palestina Utara, dari Samaria ke bawah, menjadi beragama Yahudi, bahkan orang-orang di antara mereka yang tidak punya setetes pun darah bani Israel. Di zaman belakangan, banyak orang Yahudi tulen pasti menetap di sana, tapi barangkali hanya seperti orang-orang asing di kota-kota besar, sebab salah satu karakteristik paling menga­gumkan dari kaum Yahudi (terutama sejak kepulangan mereka dari pembuangan di mana istilah berbatasan jelas, “Yahudi”, pertama kali muncul sebagai penamaan sebuah agama [lihat Zakharia viii:23]) adalah kehati-hatian mereka untuk menjaga ras tetap murni; perkawinan antara orang Yahudi dan orang Galilea tidak terpikirkan. Namun, bahkan elemen-elemen Yahudi di tengah populasi asing ini terhapus sepenuhnya dari Galilea tak lama sebelum kelahiran Kristus! Simon Tharsi-lah, salah seorang dari kaum Makabe, yang, pasca kampanye sukses di Galilea melawan bangsa Suriah, “mengumpulkan orang-orang Yahudi yang tinggal di sana dan menyuruh mereka beremigrasi dan menetap dengan semua barang milik mereka di Yudea.” Lagipula prasangka terhadap Galilea tetap begitu kuat di kalangan kaum Yahudi sehingga, ketika Herod Antipas, di masa muda Kristus, membangun kota Tiberias dan mencoba membuat kaum Yahudi menetap di sana, janji ataupun ancaman tidak ada gunanya. Maka, sebagaimana kita lihat, tidak ada landasan sedikitpun untuk dugaan bahwa orangtua Kristus adalah keturunan Yahudi.
Judul asli : The Galileans, Religion, Christ not a Jew<i=1Q6XJV2Bc19aBTFkN61DFQOQ8R5oKKexJ 423KB>The Galileans, Religion, Christ not a Jew
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, September 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Apakah Tuhan Yesus Manusia Berkebangsaan dan Beragama Yahudi?

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)