“Pasal-pasal [akidah] paling esensial dari Kristen yang murni menurutku adalah keesaan Tuhan sebagaimana mestinya dan kemanusiaan Kristus sebagaimana mestinya. Keesaan Tuhan adalah doktrin yang ditekankan sebesar-besarnya dalam keseluruhan sistem wahyu.”
Ada faedahnya, selain juga menarik, untuk mengulas pendapat-pendapat beberapa Kristiani paling tercerahkan dan terpelajar mengenai tiga dari subjek-subjek yang sedang dipertimbangkan: 1. Keesaan Tuhan; 2. Keindahan dan kegunaan hukum Musaik; 3. Karakteristik Yahudi, secara moral, intelektual, dan fisik. Tukilan-tukilan itu dapat ditambah dengan tukilan-tukilan lain yang diambil dari karya-karya tulis orang-orang Yahudi yang diakui memiliki keutamaan sastra dan dikenal akan penelitian sejarah mereka. Di antara penulis-penulis Kristiani yang telah mengupas Keesaan Tuhan, kita dapat sebutkan nama:
John Locke, yang menulis begini: “Non Trinitas—Sebab itu mensubversi Keesaan Tuhan, memperkenalkan tiga Tuhan. Sebab itu tak konsisten dengan kaidah doa; sebab, jika Tuhan adalah tiga persona, bagaimana kita bisa berdoa kepada-Nya melalui Putera-Nya untuk Roh-Nya?” Dan lagi, “Ada banyak sekali teks yang meniadakan dari Kristus hal-hal yang tidak bisa ditiadakan dari Tuhan, dan yang menegaskan hal-hal darinya yang tidak mungkin cocok untuknya jika dia adalah persona Tuhan.” Dan dalam esainya, Human Understanding, kita membaca, “Di antara semua ide yang kita miliki, sebagaimana tidak ada satupun [ide] yang timbul dalam akal melalui lebih banyak cara, begitu pula tidak ada [ide] yang lebih sederhana daripada ide Keesaan atau Esa. Itu tak mengandung bayangan keanekaragaman atau komposisi; setiap objek yang untuknya pancaindera kita dipergunakan, setiap ide dalam pemahaman kita, setiap pemikiran dalam akal kita, membawa serta ide ini, dan, karenanya, ini adalah yang paling intim bagi pikiran kita, selain, dalam kesesuaiannya dengan semua hal lain, ide paling universal yang kita miliki.” Lagi, “Setiap dewa yang dunia pagan miliki di atas satu [dewa] merupakan bukti sempurna akan kejahilan mereka tentang Dia, dan bukti bahwa mereka tidak memiliki gagasan hakiki akan Tuhan, di mana keesaan, keanantaan, dan kekekalan ditiadakan.”
Milton menulis begini, “Jelas sekali dari tak terhitung ayat Kitab Suci bahwa hanya ada satu Tuhan sejati, independen, dan tertinggi; Tuhan sebagaimana kaum Yahudi, umat Tuhan, selalu menganggap-Nya.” Lagi, “Karena Kristus tak hanya menyandang nama Putera Tuhan yang dilahirkan satu-satunya, tapi juga beberapa kali disebut Tuhan dalam Kitab Suci, terlepas dari doktrin universal bahwa hanya ada satu Tuhan, banyak orang merasa terdapat inkonsistensi dalam ini, yang melahirkan sebuah hipotesis, menjijikkan ketimbang aneh bagi nalar, bahwa sang Putera, walaupun secara persona dan secara bilangan adalah [Tuhan] yang lain, tapi secara esensi adalah satu dengan Bapak, dan bahwa dengan begitu Keesaan Tuhan terjaga. Tapi, kecuali jika istilah Keesaan dan Dualitas bukanlah penunjuk-penunjuk—kepada Tuhan—untuk ide-ide yang mereka sampaikan kepada kita, sia-sia saja Tuhan berulangkali menanamkan Perintah Pertama, bahwa Dia adalah Tuhan yang satu dan satu-satunya, jika seorang [Tuhan] lain dikatakan eksis di samping-Nya, yang juga mesti diimani sebagai Tuhan yang satu... Keesaan dan Dualitas tidak mungkin terdiri dari substansi yang satu dan sama. Tuhan adalah satu ens, bukan dua, satu esensi, dan jika dua persona disematkan pada satu esensi, itu melibatkan kontradiksi istilah-istilah, dengan menggambarkan esensi tersebut sebagai sederhana sekaligus campuran. Jika satu esensi ilahi dimiliki dua persona, esensi atau keilahian tersebut berada dalam relasi sebuah kesatuan dengan komponen-komponennya atau sebuah genus dengan beberapa spesiesnya... Tidak ada yang lebih jelas “daripada bahwa para Juru Tulis, sebagaimana orang-orang Yahudi lain, berpendapat yang dimaksud dengan Keesaan Tuhan adalah ketunggalan persona-Nya.” “Patut dan sangat cocok bagi nalar bahwa Perintah pertama dan karenanya terbesar, yang diwajibkan oleh Tuhan untuk dipatuhi, disampaikan dengan begitu jelas sehingga tidak ada hal ambigu atau samar dalam istilah-istilahnya bakal membawa para penyembah-Nya ke dalam kekeliruan, atau membuat mereka bimbang atau ragu. Dan dengan begitu bani Israel, di bawah Hukum dan Nabi-nabi, selalu mengerti bahwa itu berarti Tuhan secara bilangan adalah Tuhan yang satu/esa, bahwa di samping-Nya tidak ada yang lain, apalagi setara. Sebab saat itu belum muncul para pembantah dari mazhab yang (mereka bergantung pada kebijaksanaan mereka sendiri atau lebih tepatnya pada argumen-argumen suka debat) menimbulkan keraguan terhadap keesaan Tuhan yang mereka mengaku tegaskan. Tapi sebagaimana Tuhan tidak mungkin melakukan sesuatu yang melibatkan kontradiksi, begitu pula tak ada yang bisa dikatakan tentang Tuhan esa yang tidak konsisten dengan keesaan-Nya dan yang mengimplikasikan keesaan dan sekaligus kejamakan Ketuhanan. Kendati semua ini begitu jelas, sungguh mengherankan bagaimana, dengan tetek-bengek sia-sia, atau lebih tepatnya dengan “trik-trik sulap, individu-individu tertentu berusaha mengaburkan atau menghindarkan makna gamblang ayat-ayat yang memproklamirkan Bapak seorang sebagai Tuhan swa-eksis.” Dan dalam Paradise Regained-nya, Milton membuat kata-kata ini keluar dari mulut Tuhan, “Manusia sempurna ini, disebut putera-Ku karena merit”; dan sekali lagi, ketika menyapa Tuhan, dia berkata, “Dia kedua di bawah Engkau, menawarkan untuk mati, dst.”
Sir Isaac Newton juga menyebutkan Keesaan Tuhan begini, “Dalam semua kontroversi berapi-api, universal, dan abadi perihal Trinitas di masa Yerome, dan sebelum maupun cukup lama sesudah itu, teks ‘Tiga di Surga’ ini tak pernah satu kalipun terpikirkan. Itu sekarang ada di lisan setiap orang dan menerangkan teks utama untuk urusan ini, dan tentu saja mereka juga bakal begitu, andai itu ada dalam buku-buku mereka.” Lagi, “Bahkan kata-kata Kiprian sendiri secara terus-terang memang menghasilkan penafsiran ini (tiga Entitas berbeda) sebagaimana dalam pembaptisan, tempat yang darinya mereka (umat Kristiani) mencoba pertama-tama untuk menderivasikan Trinitas.” Dan lagi, dalam menyinggung 1 Timotius 3:16, “Tuhan nyata dalam daging,” dia berkata, “Di sepanjang zaman kontroversi Arian yang panas dan abadi, itu tak pernah masuk ke dalam permainan; tapi kini setelah perselisihan-perselisihan itu selesai, itu dianggap sebagai salah satu teks paling relevan untuk urusan ini.” Sebagaimana diamati, “Newton hampir tidak mungkin menulis begitu seandainya dia tidak menganggap doktrin-doktrin ini sebagai penyelewengan kasar Akidah Kristen primitif.”
Judul asli | : | Unity of God<i=1iEU5b1xQNq3tkapGgPNLVpejcczNnx8a 396KB>Unity of God (1877) |
Pengarang | : | Isaac Lindo Mocatta |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |