Dia tahu bahwa keidentikan alami dua objek apapun hanyalah apa yang ditampilkan oleh objek-objek itu, dan bahwa keidentikan komplit yang diimplikasikan oleh kesamaan nama mereka adalah semata-mata buatan manusia, yang dengannya ciptaan beranekaragam tiada batas dicakupi oleh kosakata yang terbatas.
Bahasa mengimplikasikan keidentikan-keidentikan yang dengannya alam tidak sesuai.
§1.—Setelah menunjukkan, dalam dua lektur terakhirku, bahwa kita menyandangkan pada alam sebuah ketunggalan yang merupakan bagian dari bahasa belaka, sekarang aku akan tunjukkan bahwa kita menyandangkan pada alam sebuah keidentikan yang merupakan bagian dari bahasa belaka.
§2.—Bahasa adalah sekumpulan istilah umum, tapi penciptaan adalah sekumpulan eksistensi individual.
997 juta makhluk eksis, yang kepadanya kita menerapkan kata “manusia”. Di tengah keanekaragaman corak kulit mereka, perawakan mereka, rambut mereka, wajah mereka, usia mereka, jenis kelamin mereka, struktur mereka, kebiasaan mereka, dan pengetahuan mereka, dapat ditemukan cukup kemiripan yang membuat kata “manusia” cocok untuk semuanya. Boleh jadi, tidak ada dua orang yang identik dalam tampilan umum mereka, dan tidak pula dalam tampilan bagian khusus apapun. Mereka juga berbeda secara individual dari satu sama lain dalam banyak kualitas di samping tampilan.
Oleh karenanya, kata “manusia” merujuk pada sekumpulan individu tak mirip. Setiap kata adalah sama-sama umum dalam hal artinya. Melalui keumuman mereka, beberapa ribu kata mencakup semua eksistensi ciptaan. Alam adalah sekumpulan eksistensi individual, dan bahasa adalah sekumpulan istilah umum.
§3.—Kita menafsirkan keidentikan eksistensi-eksistensi dengan keidentikan nama mereka.
Ketika kita ingin meremehkan Napoleon, kita mengatakan dia hanyalah manusia; dan ketika kita ingin mengagungkan seorang bodoh, kita mengatakan dia manusia sehebat Napoleon. Dugaan keidentikan ini tepat jika kita menafsirkannya dengan kemiripan-kemiripan yang kita jumpai pada individu-individu yang diperbandingkan; tapi keidentikan ini diduga mengimplikasikan sebuah kemiripan di luar apa yang kita jumpai pada kedua individu, dan bahkan diduga membatasi perbedaan-perbedaan yang mereka peragakan. Ini kekeliruan berbahaya, dan merupakan subjek diskursus kita saat ini.
Kita mengesampingkan individualitas alam, dan menggantinya dengan sebuah keumuman yang merupakan bagian dari bahasa.
§4.—Keidentikan yang diimplikasikan oleh bahasa telah mempermalukan kedokteran.
Ilmu kedokteran sudah lama menderita delusi yang sedang kita selidiki. Itu masih lumayan menderita. Penyakit-penyakit memiliki cukup kemiripan untuk diklasifikasikan di bawah nama-nama umum; oleh sebab itu kita memiliki kata-kata peripneumonia, pleuritis, rematik, dll. Aku mengecam para dokter bukan karena mereka mengkonstruksi nama-nama itu, dan bukan pula karena mereka memutuskan Thomas dan Henry masing-masing terkena pleuritis; tapi penyakit-penyakit mereka tidak identik di alam seidentik dalam bahasa.
§5.—Individualitas adalah karakteristik alam.
Identitas yang bahasa implikasikan direspon oleh alam dengan sangat teliti, atau kita tidak mungkin memiliki ilmu kedokteran; tapi dokter paling terampil sering dikalahkan oleh individualitas-individualitas alam. Para dokter sudah lama mendeteksi individualitas-individualitas ini, dan menganggapnya anomali alam. Padahal, anomali ada dalam bahasa, yang menyatukan, sebagai keidentikan di bawah satu nama, apa-apa yang identik secara parsial saja. Individualitas bukanlah anomali alam. Itu adalah produksi reguler alam, dan kekayaan tak terbatas.
§6.—Tak ada dua bungkus obat pencahar memiliki keidentikan sempurna yang diimplikasikan oleh kesamaan nama mereka. Tak ada dua orang memiliki keidentikan sempurna yang diimplikasikan oleh kesamaan kedewasaan mereka; pun tak ada seorangpun, sepanjang waktu dan dalam segala keadaan, memiliki keidentikan komplit yang dengannya bahasa menanami individualitasnya.
§7.—Keidentikan yang diimplikasikan oleh bahasa selalu komplit, tapi alam menghampiri keidentikan sempurna hanya dalam berbagai derajat.
Bahasa selalu mengimplikasikan keidentikan sempurna; alam memperagakan, dalam beberapa kasus, sebuah penghampiran lebih dekat kepada keidentikan dibanding dalam kasus-kasus lain. Sebagai contoh: pada dua keping salju, salju menampilkan keidentikan yang hampir komplit; tapi pada seekor paus dan teri, ikan dari kedua satwa menampilkan keidentikan yang sangat tak komplit. Akan tetapi, ikan paus dan teri sama identiknya secara verbal sebagaimana salju kedua keping tadi.
§8.—Sekali lagi, sebuah polip dan seekor gajah adalah satwa, dan kesatwaan keduanya identik dalam hal bahasa; di alam, keidentikannya kurang bahkan dibanding keidentikan ikan.
§9.—Besi adalah materi, sinar matahari adalah materi. Kematerian mereka identik dalam hal bahasa, sementara di alam kita menemukan pada mereka keidentikan yang kurang daripada yang kita temukan bahkan pada kesatwaan polip dan gajah.
§10.—Kita tak boleh tertukar antara keidentikan verbal dan realitas alam.
Aku mengeluhkan bahasa bukan karena implikasi keidentikan-keidentikannya. Kita tidak bisa mengkonstruksi sebuah bahasa di atas prinsip lain. Seekor paus dan seekor teri menampilkan kemiripan-kemiripan memadai untuk menjadikan kata “ikan” cocok untuk keduanya; tetap saja kita tidak usah tertukar antara keidentikan verbal dan realitas alam. Di alam, keidentikan adalah persis sebagaimana kita dapati. Itu tidak boleh diukur oleh nama, tapi dipastikan oleh observasi. Kita membalik aturan ini; kita menafsirkan keidentikan alam dengan verbal.
§11.—Tidak menemukan di alam keidentikan yang bahasa implikasikan, tapi percaya bahwa itu pasti eksis di suatu tempat di alam, kita salah mengiranya sebagai atribut misterius penciptaan.
Tak ada orang mengobservasi sebegitu dangkal sampai-sampai tidak menemukan keanekaragaman tiada habisnya dalam produksi-produksi alam. Anak-anak mengatakan tidak ada dua bilah rumput yang serupa. Tetap saja, kita menilai perbedaan pada bilah-bilah itu tidak mempengaruhi keidentikan mereka sebagai rumput. Tapi apa keidentikan rumput, di luar kemiripan inderawi bilah-bilah berlainan itu? Tak ada, kecuali nama “rumput”. Kita menganggap keidentikan sebagai atribut tersembunyi alam, padahal itu hanya atribut bahasa.
Judul asli | : | Language Implies Identities to which Nature Conforms Not<i=1fjVcOThoa28eB1Wm5bGSzqyaKbq-U8JW 276KB>Language Implies Identities to which Nature Conforms Not (1836) |
Pengarang | : | Alexander Bryan Johnson |
Seri | : | Risalat Bahasa #5 |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2024 |
Genre | : | Sains |
Kategori | : | Nonfiksi, Lektur |