Ini kekeliruan berat; kita juga mengenakan setelan modern, padahal Kristen itu tua. Kita mempercayai kemajuan di jalur yang benar dan aman, tapi Unitarianisme modern adalah kemajuan di jalan yang salah; itu penurunan dan bukan kenaikan; itu tidak melambangkan kemajuan tapi justru kemunduran.
Kerja misionari di kalangan Muslim ditimpa banyak kesulitan, yang tidak dijumpai di medan-medan lain. Para misionaris di tengah-tengah Muslim harus berurusan dengan tentangan fanatik terhadap keimanan Kristen kepada Tuhan sebagai tritunggal. Menyebutkan Tuhan sebagai Bapak, Putera, dan Roh Kudus menimbulkan pada setiap Muslim fanatik sebuah ledakan kebencian, yang tersimpan laten dalam hatinya. Mempertimbangkan ini, tidakkah akan lebih baik menekankan karakter etika Kristen dan meninggalkan doktrin Trinitas yang menjijikkan? Jika tanda-tanda zaman tidak mengecoh kita, beberapa misionaris cenderung menjawab pertanyaan ini dengan “ya”. Memang, kita bakal sedih jika kebijakan demikian sampai dipakai. Ini bakal melibatkan sebuah kompromi, yang mana mustahil bagi seorang Kristiani setia yang meyakini Kristen adalah agama Bapak, Putera, dan Roh Kudus. Bakal menjadi bencana jika kecondongan-kecondongan anti-Trinitarian sampai mendapat pijakan di medan-medan misi di tengah-tengah Muslim. Tentu saja, para misionaris mesti memakai akal sehat dan kearifan pedagogis dalam menyajikan pengungkapan Tuhan tritunggal kepada lawan-lawan fanatik, tapi sebagai pengikut Yesus Kristus mereka juga harus punya keberanian akan pendirian mereka.
Sudah ada banyak gerakan anti-Trinitarian di Gereja Kristus sejak ia memulai perjalanannya. Aku lebih suka menyebut gerakan-gerakan ini sebagai anti-Trinitarian ketimbang Unitarian, sebab mereka adalah sebuah reaksi dari perkembangan Trinitarian akidah Kristen. Benar, orang-orang Unitarian modern memandang konsepsi Tuhan mereka sebagai kemajuan dari perkembangan Trinitarian tradisional; pandangan mereka, menurut mereka, lebih selaras dengan kebudayaan dan sains, daripada keimanan Kristen kita pada Tuhan tritunggal.
Ini kekeliruan berat; kita juga mengenakan setelan modern, padahal Kristen itu tua. Kita mempercayai kemajuan di jalur yang benar dan aman, tapi Unitarianisme modern adalah kemajuan di jalan yang salah; itu penurunan dan bukan kenaikan; itu tidak melambangkan kemajuan tapi justru kemunduran. Aku juga lebih suka istilah anti-Trinitarianisme daripada istilah Unitarianisme, karena orang-orang Kristen, sejauh menyangkut hubungan mereka dengan politeisme, adalah para Unitarian, para Monoteis dalam pengertian sebenarnya. Boleh jadi keesaan/ketunggalan Tuhan ditempatkan sesekali di latar belakang, tapi secara umum Gereja Kristen selalu menegakkan keesaan Tuhan. Tapi, atas nama keesaan Tuhan, kita memprotes keseragaman abstrak dalam esensi Tuhan. Kita memuja, sebagai Teis sejati, misteri Trinitas Kudus, yang diungkapkan kepada kita dalam Kitab Suci, dan kita juga mengagumi kerja Gereja dalam membangun doktrin Trinitas.
Biarlah orang-orang mengkritik sesuka mereka formulasi doktrin ini dalam karya-karya Systematic Theology, tapi hendaknya mereka menghormati misteri Tuhan tritunggal. Kita tidak bisa memahami misteri ini dalam ketinggian dan kedalamannya, panjang dan lebarnya; namun kita memahaminya dengan keimanan, dan melihat begitu banyak kemuliaan dan keindahan di dalamnya sehingga kita girang gembira. Keimanan kita pada Tuhan, Putera, dan Roh Kudus, satu-satunya Tuhan sejati dan hidup, menurut kami begitu masuk akal sehingga serangan rasionalistik apapun terhadapnya tidak bisa betul-betul menggusarkan kami. Pseudo-Trinitas rasionalistik, yakni Tuhan, kebebasan, dan amoralitas, menunjukkan ketandusan pandangan monoteistik manapun yang tidak didasarkan pada doktrin trinitas Kristen.
Kita kaya dalam akidah Kristen kita, kita menjadi miskin jika memasuki kompromi dengan anti-Trinitarianisme dalam bentuk apapun. F. C. Baur, bapak Tubingen School, yang tidak bisa dituduh sebagai sahabatnya ortodoksi tradisional, tepat dalam pernyataannya bahwa Kristen bakal kehilangan karakternya sebagai agama universal umat manusia andai Arianisme menang di Nikea.
Mari kita dengan berani memproklamirkannya di setiap tempat di depan orang-orang anti-Trinitarian macam apapun, bahwa Teisme dan keimanan kepada Tuhan tritunggal terhubung erat. Kita memiliki komuni nyata dengan Tuhan, sebab dalam Yesus Kristus kita berada dalam hubungan terberkati dengan-Nya. Kristus adalah jalan, kebenaran, dan kehidupan, sebab Dia adalah Putera Tuhan.
Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk religius, membentuknya dalam keserupaan-Nya. Anugerah ini memberinya sebuah karakter tak terhapuskan—sebagai keturunan Tuhan, yang tidak bisa dihapus bahkan oleh kemerosotan taraf dosanya sedalam apapun. Ini adalah alasan mengapa suku-suku tak beradab masih memiliki pendambaan kepada Tuhan. Bagaimana komuni dengan Tuhan ini, yang merupakan satu-satunya kehidupan kekal, tapi yang hilang dalam kejatuhan Adam, dipulihkan kepada manusia?
Oleh seorang Tuhan, yang bersinggasana di ketinggian dalam transendensi megah, tak terjangkau oleh makhluk-makhluknya? Tentu tidak. Jikapun memungkinkan untuk dipersilakan masuk ke istana raja surgawi ini dan untuk beraudiensi dengan-Nya selama beberapa saat sebagaimana Muhammad mengaku nikmati, apakah ini komuni? Konsepsi deistik Tuhan meniadakan komuni dengan Tuhan secara sekaku-kakunya. Atau apakah itu dimungkinkan oleh seorang Tuhan yang, tanpa bersifat transenden, imanen dalam monyet seperti dan sebagaimana dalam manusia, sang pemikul citra Tuhan? Imanensi demikian, yang umumnya disenangi para Unitarian modern, bukan merupakan komuni sadar antara Tuhan dan manusia.
Judul asli | : | Modern Anti‐Trinitarianism and Islam<i=1U-pGkH1rEJg6zFkPNDbK_okTbtP7ixUd 240KB>Modern Anti‐Trinitarianism and Islam (1912) |
Pengarang | : | Nicholas M. Steffens |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |