Skip to content
Apakah Kristen Berhak Menggantikan Agama Kesukuan Kebangsaan: Hak Penebusan Dalam Misi Kristus – Relift Media

Apakah Kristen Berhak Menggantikan Agama Kesukuan Kebangsaan: Hak Penebusan Dalam Misi Kristus Bacaan non-fiksi religi

author _Henry C. Mabie_; date _1907_ genre _Religi_; category _Makalah_; type _Nonfiksi_ Dalam menaksir persoalan hak-hak ini, ada resiko kita bakal mengatributkan realitas palsu pada mereka. Sebuah kebiasaan belum tentu merupakan ekspresi sebuah hak alami, dan bukan pula itu sebuah evolusi sejati hanya karena itu kuno atau asli pada suatu kaum. Dalam makalah ini aku diminta menjawab pertanyaan: “Apakah Kristen punya hak moral untuk mengganti­kan agama-agama kesukuan/kebangsaan?” Pengaruh-pengaruh yang telah melahirkan pertanyaan ini utamanya dua: konsepsi misi-misi yang dilambangkan oleh bentuk-bentuk fanatisme misionari yang dipertanyakan, dan tendensi-tendensi pikiran yang merata di bidang perbandi­ngan agama. Di antara semua agama, Kristen diakui sebagai paling misionari. Agresivitasnya terbukti meresahkan bagi agama-agama kesukuan/kebangsaan yang kurang misionari. Alhasil, hak Kristen untuk meresahkan sistem-sistem lain diragukan. Sebelum orang-orang sadari, simpati timbul ke­pada salah satu tipe dari agama-agama ini dibanding satu tipe lain ketika keduanya dipandang sebagai kontestan. Se­mangat kejawaraan lantas muncul, dan gairah akan keme­nangan partisan mengaburkan nilai penting kebenaran yang dipertaruhkan. Jika pertanyaannya adalah, “Apakah bentuk agama apapun punya hak moral untuk memainkan agama sebagai sebuah permainan,” demikian kadang situasi ini dipa­hami, kita pasti menjawab: “Tidak!” Isu nyata yang dilibatkan sangat lebih dalam dan lebih serius. Ada sesuatu yang ber­langsung lebih daripada sebuah turnamen. Fakta bahwa persoalan legitimasi misi-misi merata dalam pikiran banyak orang merupakan alasan memadai mengapa itu mesti dihadapi tanpa basa-basi. Jawaban untuknya sangat mempengaruhi, bukan saja misi-misi Kristen, tapi juga segala jenis upaya moral. Sedari awal penting untuk menetapkan pemahaman akan istilah-istilah. Mencoba menjawab pertanyaan yang diusul­kan dalam bentuknya yang sekarang sama dengan menam­bah kebingungan yang sudah ada. Dalam pertanyaan yang diajukan kepadaku tersirat sekurangnya tiga asumsi berat. Mereka adalah: 1. Bahwa agama-agama kesukuan/kebangsaan sebagai­mana eksis sekarang, setara dengan Kristen, adalah bersumber ilahi. 2. Bahwa upaya misionari Kristen adalah, secara intrinsik, penegasan sebuah hak—hak yang ditegaskan dibanding hak-hak alami lain. 3. Bahwa upaya misionari tersebut, sekurangnya menurut niat pertama, mencoba menggantikan apa yang sebetulnya dapat dipertahankan. Ketika kita sudah membuang praanggapan-praanggapan keliru ini dan menyatakan ulang argumen sebagaimana di­tuntut oleh sifatnya, kita akan melangkah jauh ke arah penja­waban pertanyaan di hadapan kita. Terkait elemen miskonsepsi pertama, kendati tidak di­nyatakan dalam pertanyaan yang dikemukakan, dikesankan bahwa agama-agama kesukuan/kebangsaan memiliki kedu­dukan setara dengan Kristen di pengadilan perbandingan agama; dan, jika demikian, mereka memiliki kedudukan ter­sebut lantaran kualitas-kualitas berfaedah inherennya—kua­litas-kualitas yang memenuhi kebutuhan nyata orang-orang yang kini memegangnya. Tapi kesimpulan ini dihasilkan dari pertimbangan-pertimbangan apriori dan menghindari perta­nyaan terkait. Kesimpulan demikian secara konkret meng­ungkapkan cara untuk mengatakan, misalnya, bahwa Kristen dan Hinduisme sama-sama muncul dari sebab-sebab antese­den yang murni alamiah; bahwa, sudah sewajarnya, Hinduis­me diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Hindu/India secara sama sempurnanya seperti Kristen di­adaptasi untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Anglo-Saxon; bahwa Tuhan adalah pembuat satu set adaptasi se­bagaimana satu set lain; bahwa tidak ada yang lebih supra­natural dalam Kristen daripada dalam Hinduisme; dan bahwa karenanya upaya orang-orang barat untuk memasuki Asia dan untuk menyetel ulang kondisi Hindu/ India dengan ideal-ideal Kristen merupakan sebuah kekurangajaran dan intrusi. Pembelaan apapun semacam itu, yang diajukan un­tuk agama-agama non-Kristen, tumbuh dari premis-premis tersembunyi—premis-premis yang diasumsikan, tapi me­mang merupakan hal-hal yang perlu dibuktikan. Pembelaan semacam itu, yang begitu lazim di masa kita, adalah sebuah deduksi “metode historis”, yang saat ini begitu digemari. Itu adalah konsekuensi wajar dari doktrin evolusi yang dipan­dang secara ekstrim. Tapi pandangan adil terhadap prinsip evolusi tidak membenarkan konsekuensi demikian, dan de­duksinya adalah penyalahgunaan metode historis, betapapun sahnya metode tersebut dalam batas-batas tertentu. Dalam pandangan para pembelanya, “metode historis” dianggap satu medium pengetahuan yang besar dan menen­tukan; padahal ada metode-metode lain yang jauh lebih bernilai. Seseorang berkata tentang metode ini:
Itu berasumsi menentukan apa yang ada [sekarang] berdasarkan apa yang ada dulunya; itu menguraikan hukum fitrah moral manusia berdasarkan prinsip-prinsip yang diduga mengatur kera antropoid; meng­uraikan otoritas Alkitab dengan kembali ke penyem­bahan hantu dan roh yang diduga merupakan asal-usul aslinya. Hakikat dan nilai setiap fakta kekinian diten­tukan oleh diduga asal-muasal dan perkembangan historisnya. Tapi kita dapat membalik proses ini; tafsir­kan monyet berdasarkan manusia; dapatkan ketera­ngan tentang nilai wahyu Ibrani melalui solusinya atas permasalahan kekinian;...cari tanda sang Pencipta tidak hanya dalam kabut api, tapi dalam struktur orga­nisme moral... Seringkali besar sekali manfaatnya jika kita tak harus menunggu “metode historis” disempur­nakan dan dikoreksi; sebagai contoh, ketika seseorang mengalami serangan apendisitis, pengetahuan tentang apendiks vermiform yang sekarang menghasilkan sumbangsih jauh lebih berharga untuk penyelesaian penyakitnya daripada seluruh sejarah organ tersebut.
Dan terutama, kami tambahkan, ketika sejarah yang dimak­sud sangat hipotetis. Nah, menyangkut asal-muasal agama-agama kesukuan/ kebangsaan, sekurangnya harus dibilang mereka tidak bisa diterangkan oleh evolusi sederhana, seragam, naik; asal-usul mereka campuran. Meskipun beberapa atau semua dari mereka bermula dengan elemen-elemen kebenaran, mereka kini melambangkan pemburukan dan penyimpangan dahsyat dari kemurnian terdahulu. Tak diragukan, di bawah semua agama ini terdapat beberapa elemen agama alamiah dan karenanya hakiki: intuisi-intuisi tertentu, sugesti-sugesti hati nurani, dan petunjuk-petunjuk alam yang menyampaikan ba­nyak pengetahuan yang dibutuhkan tentang Tuhan. “Tidak memiliki hukum (wahyu), mereka ini adalah hukum (wahyu) untuk diri mereka sendiri.” Bentuk cahaya ini adalah ciri umum semua manusia dengan atau tanpa wahyu kitab; dan itu memancar dari Kristus, Logos abadi. Selain itu, bentuk cahaya ini menghasilkan bahkan sebuah warta rahayu dasar, sebagaimana Paulus isyaratkan dengan jelas dalam Roma 2:4-10, betapapun warta rahayu itu dipahami atau diambil secara buruk. Jika orang-orang mempercayai petunjuk-petun­juk warta rahayu awal yang diberikan oleh altar Abel atau oleh intuisi mendalam mereka sendiri; jika mereka begitu percaya sampai-sampai bertindak berdasarkan kepercayaan terbaik mereka—sebab yang demikian dan hanya yang demi­kian adalah keimanan; mereka akan sudah diselamatkan di suatu tahap bayi. Di kalangan orang-orang antediluvia, misalnya, sebagaimana Dr. William Ashmore katakan, Nuh “tidak memiliki monopoli atas kayu gofir”. Ada monopoli dalam kekafiran, kecuali jika Nuh dan keluarganya adalah pengecualian berkilau. Tapi laporan historis tentang agama-agama kesukuan/kebangsaan, laporan yang tidak menyoroti tendensi-tendensi bandel dosa untuk menyelewengkan simpanan kebenaran orisinil manusia, laporan historis semacam itu tidak mungkin adil. Dosa telah memutarbalik elemen-elemen agama primitif yang darinya agama kesukuan/kebangsaan berawal; itu telah memalsukan konsepsi normal akan Tuhan maupun manusia. Dosa bersifat menuding Tuhan selain membenarkan diri; itu memproyeksikan penyelewengannya sendiri pada Tuhan. “Tuan, aku tahu engkau orang yang kejam,” kata orang dalam perumpamaan. Dia sebetulnya tak tahu hal semacam itu. Dia sendiri adalah “orang kejam”, yang harusnya sudah melihat aspek karakter ilahi yang lebih hakiki. Tuhan dalam imajinasi buruk orang ini adalah sebuah fiksi. Dengan demi­kian, dosa adalah sarana subur untuk memasukkan penye­lewengan buruk dari kebaikan terdahulu ke dalam semua agama kesukuan/kebangsaan. Kala itu, tradisionalisme ofisial dan eklesiastik dan ke­pentingan pribadi sudah meninggalkan tanda pada agama-agama kesukuan/kebangsaan. Ini terjadi dalam Yudaisme dan bahkan dalam Kristen. Gara-gara efek jahat kepen­detaan/imamat dan klerikalisme, Israel kehilangan kebang­saannya dan Kristen jatuh dini dari kedudukan apostoliknya, dan pulih secara lamban saja. Sudah pasti, agama-agama kesukuan/kebangsaan tidak dikecualikan dari pemburukan serupa. Jika prinsip evolusi sebagai sebuah faktor memainkan peran dalam perkembangan sistem dan aktivitas keagamaan, kemunduran dan kemerosotan memainkan peran jahat juga. “Cahaya-cahaya patah” dari “Matahari kebajikan” hakiki yang dulu eksis sudah padam. Melalui pendeta Brahmana, pesu­lap Taois, darwish Muslim, dan penyihir Afrika, “Cahaya yang menerangi setiap manusia saat lahir ke dunia” berubah gelap karena sebagai agamawan-agamawan abnormal me­reka telah membuat bayangan pada matahari. Berkata Kris­tus: “Semua orang yang datang sebelum Aku adalah pencuri dan perampok.” Apa yang tadinya warisan orisinil manusia dalam Firman Abadi telah dicuri, mempersulit sang Tuhan penebus untuk melakukan maksud kerja-Nya. Pengaruh setan juga telah masuk untuk merendahkan agama kesukuan/kebangsaan. Sejarah panjang manusia se­garis dengan keterangan alkitab tentang konflik tak teredam dan tragis antara “benih wanita”, yaitu Putera manusia dan Adam terakhir, dan si ular tua, yaitu iblis. Oleh karenanya mustahil kita membutakan mata kita terhadap pengaruh menyimpang dari agensi setan terhadap tatanan purba.
Judul asli : Has Christianity the Moral Right to Supplant the Ethnic Faiths?<i=1-YzfHgZLWQQZWd1V6xJp0OVMO44DUQUH 299KB>Has Christianity the Moral Right to Supplant the Ethnic Faiths?
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Agustus 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Apakah Kristen Berhak Menggantikan Agama Kesukuan Kebangsaan: Hak Penebusan Dalam Misi Kristus

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)