Kaum Semit tidak seperti bangsa-bangsa Arya, yang melihat esensi dewa-dewa mereka dalam fenomena alam seperti cahaya, hujan, guntur, dan kilat dan memberinya nama-nama dan gelar-gelar sebanding. Emosionalisme keagamaan kaum Semit yang lebih intens mempersepsikan Ketuhanan lebih sebagai kekuatan yang bekerja dari dalam.
Manusia primitif menyematkan banyak nilai penting pada nama-nama, sebab bagi mereka nama sebuah benda mengindikasikan fitrah/sifatnya, dan melalui nama seseorang bisa menguasai benda atau orang yang dinamai. Maka dari itu, nama Tuhan dianggap sebagai manifestasi wujud-Nya; dengan menyeru nama itu manusia bisa memperoleh sebagian kekuatan-Nya, dan tempat di mana nama itu dipanggil menjadi pusat kehadiran-Nya. Oleh karenanya, nama itu harus diperlakukan dengan rasa hormat yang sama sebagaimana Tuhan sendiri. Tak ada yang berani mendekati Tuhan, atau menyalahgunakan Nama. Jiwa saleh menyadari kedekatan Tuhan dalam mendengar nama-Nya diucapkan. Terakhir, nama-nama Tuhan yang berbeda-beda mencerminkan konsepsi-konsepsi berbeda tentang-Nya yang dipegang di berbagai periode.
Kaum Semit tidak seperti bangsa-bangsa Arya, yang melihat esensi dewa-dewa mereka dalam fenomena alam seperti cahaya, hujan, guntur, dan kilat dan memberinya nama-nama dan gelar-gelar sebanding. Emosionalisme keagamaan kaum Semit yang lebih intens mempersepsikan Ketuhanan lebih sebagai kekuatan yang bekerja dari dalam, dan karenanya memberinya nama-nama semisal El (“Yang Perkasa”), Eloha atau Pahad (“Yang Menakutkan”), atau Baal (“sang Master”). Elohim, bentuk jamak dari Eloha, mulanya berarti ketuhanan yang dibagi-bagi ke dalam sejumlah dewa/tuhan atau entitas kedewaan, dengan kata lain politeisme. Namun, ketika itu diterapkan pada Tuhan, itu umumnya dipahami sebagai kesatuan/keesaan, mengacu pada satu Ketuhanan yang tidak terbagi-bagi, sebab Kitab Suci memandang monoteisme sebagai orisinil pada umat manusia. Meski pandangan ini disangkal oleh ilmu perbandingan agama, tetap saja konsepsi ideal tentang agama (yang didasarkan pada kesadaran universal akan Tuhan) mempostulatkan satu Tuhan yang menjadi sasaran semua pencarian manusia, sebuah fakta yang tidak dikenali oleh istilah Henoteisme.
Untuk zaman patriarkh, yaitu tahap pendahuluan dalam perkembangan ide Tuhan Yahudi, Kitab Suci memberi sebuah nama khusus untuk Tuhan, El Shaddai (“Tuhan Yang Maha Kuasa”). Ini barangkali berkaitan dengan Shod, “badai” atau “malapetaka” dan “kehancuran”, tapi ditafsirkan sebagai Penguasa tertinggi atas kekuatan-kekuatan langit. Nama yang dengannya Tuhan mengungkapkan diri-Nya kepada Musa dan para nabi sebagai Tuhan perjanjian dengan Israel adalah JHVH (Jahveh). Nama ini terhubung tak terpisahkan dengan perkembangan keagamaan Yudaisme dalam semua ketinggian dan kedalamannya. Pada periode Kuil Kedua, nama ini diumumkan terlalu sakral untuk diucapkan, kecuali oleh para imam/pendeta dalam bagian-bagian pelayanan tertentu dan untuk penggunaan misterius oleh orang-orang suci yang diinisiasi secara khusus. Sebagai gantinya, Adonai (“Lord”) digunakan dalam pembacaan Alkitab, sebuah kebiasaan yang berlanjut selama lebih dari 2.000 tahun. Arti nama ini di zaman pra-Musa dapat disimpulkan dari badai-badai berapi yang menyertai setiap teofani dalam berbagai ayat Kitab Suci, selain dari akar havah, yang berarti “throw down” (“melempar ke bawah”) dan “overthrow” (“menjatuhkan”).
Akan tetapi, bagi para nabi, Tuhan Sinai, yang bersinggasana di tengah awan-awan badai dan api, yang bergerak ke depan umat-Nya dalam perang dan damai, tampil lebih sebagai Tuhan Perjanjian, tanpa citra atau wujud, tidak bisa didekati dalam kekudusan-Nya. Seiring makna orisinil JHVH jadi tak bisa dimengerti, mereka menafsirkan nama tersebut sebagai “Yang senantiasa ada”, dalam pengertian Ehyeh asher Ehyeh, “Aku adalah apapun (atau di manapun) Aku”, dengan kata lain “Aku senantiasa siap menolong”. Demikianlah Tuhan berbicara kepada Musa dalam mengungkapkan nama-Nya kepadanya di semak duri berapi.
Kejeniusan nubuah menembus semakin jauh ke dalam fitrah Tuhan, mengenali-Nya sebagai Kekuatan yang memerintah dalam keadilan, rahmat, dan kekudusan. Proses ini membawa mereka untuk mengidentikkan JHVH (Tuhan perjanjian) dengan Tuhan yang satu dan satu-satunya yang mengawasi seluruh dunia dari kediaman surgawinya, dan memberinya rencana dan maksud. Di saat yang sama, semua nabi-nabi kembali kepada perjanjian di Sinai untuk memproklamirkan Israel sebagai pengabar dan saksi Tuhan di kalangan bangsa-bangsa. Bahkan, Tuhan perjanjian memproklamirkan universalitas-Nya di awal, dalam pendahuluan Dekalog (Sepuluh Perintah): “Kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku di atas segala bangsa sebab seluruh bumi ini adalah milik-Ku. Kamu akan menjadi imamat rajani bagiku dan bangsa yang kudus.” Dengan kata lain, “Kau memiliki tugas khusus yakni mediator di antara bangsa-bangsa, yang kesemuanya berada di bawah kekuasaan-Ku.”
Judul asli | : | The Name of God<i=1zsVkFxK7bg_No3EGgWJ-7aDUd5QbMorC 232KB>The Name of God (1918) |
Pengarang | : | Kaufmann Kohler |
Penerbit | : | Relift Media, Juli 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |