Skip to content
Tuhan Arya & Tuhan Semit – Relift Media

Tuhan Arya & Tuhan Semit Bacaan non-fiksi religi

author _Kaufmann Kohler_; date _1918_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Kaum Semit tidak seperti bangsa-bangsa Arya, yang melihat esensi dewa-dewa mereka dalam fenomena alam seperti cahaya, hujan, guntur, dan kilat dan memberinya nama-nama dan gelar-gelar sebanding. Emosionalisme keagamaan kaum Semit yang lebih intens mempersepsikan Ketuhanan lebih sebagai kekuatan yang bekerja dari dalam. Manusia primitif menyematkan banyak nilai penting pada nama-nama, sebab bagi mereka nama se­buah benda mengindikasikan fitrah/sifatnya, dan melalui nama seseorang bisa menguasai benda atau orang yang dinamai. Maka dari itu, nama Tuhan dianggap sebagai manifestasi wujud-Nya; dengan menyeru nama itu manusia bisa memperoleh sebagian kekuatan-Nya, dan tempat di mana nama itu dipanggil menjadi pusat kehadiran-Nya. Oleh karenanya, nama itu harus diperlakukan dengan rasa hormat yang sama sebagaimana Tuhan sendiri. Tak ada yang berani mendekati Tuhan, atau menyalahgunakan Nama. Jiwa saleh menyadari kedekatan Tuhan dalam mendengar nama-Nya diucapkan. Terakhir, nama-nama Tuhan yang berbeda-beda mencerminkan konsepsi-konsepsi berbeda tentang-Nya yang dipegang di berbagai periode. Kaum Semit tidak seperti bangsa-bangsa Arya, yang me­lihat esensi dewa-dewa mereka dalam fenomena alam seperti cahaya, hujan, guntur, dan kilat dan memberinya nama-nama dan gelar-gelar sebanding. Emosionalisme keagamaan kaum Semit yang lebih intens mempersepsikan Ketuhanan lebih sebagai kekuatan yang bekerja dari dalam, dan karenanya memberinya nama-nama semisal El (“Yang Perkasa”), Eloha atau Pahad (“Yang Menakutkan”), atau Baal (“sang Master”). Elohim, bentuk jamak dari Eloha, mulanya berarti ketuhanan yang dibagi-bagi ke dalam sejumlah dewa/tuhan atau entitas kedewaan, dengan kata lain politeisme. Namun, ketika itu di­terapkan pada Tuhan, itu umumnya dipahami sebagai kesa­tuan/keesaan, mengacu pada satu Ketuhanan yang tidak ter­bagi-bagi, sebab Kitab Suci memandang monoteisme seba­gai orisinil pada umat manusia. Meski pandangan ini disang­kal oleh ilmu perbandingan agama, tetap saja konsepsi ideal tentang agama (yang didasarkan pada kesadaran universal akan Tuhan) mempostulatkan satu Tuhan yang menjadi sasaran semua pencarian manusia, sebuah fakta yang tidak dikenali oleh istilah Henoteisme. Untuk zaman patriarkh, yaitu tahap pendahuluan dalam perkembangan ide Tuhan Yahudi, Kitab Suci memberi se­buah nama khusus untuk Tuhan, El Shaddai (“Tuhan Yang Maha Kuasa”). Ini barangkali berkaitan dengan Shod, “badai” atau “malapetaka” dan “kehancuran”, tapi ditafsirkan sebagai Penguasa tertinggi atas kekuatan-kekuatan langit. Nama yang dengannya Tuhan mengungkapkan diri-Nya kepada Musa dan para nabi sebagai Tuhan perjanjian dengan Israel adalah JHVH (Jahveh). Nama ini terhubung tak terpisahkan dengan perkembangan keagamaan Yudaisme dalam semua ketinggian dan kedalamannya. Pada periode Kuil Kedua, nama ini diumumkan terlalu sakral untuk diucapkan, kecuali oleh para imam/pendeta dalam bagian-bagian pelayanan tertentu dan untuk penggunaan misterius oleh orang-orang suci yang diinisiasi secara khusus. Sebagai gantinya, Adonai (“Lord”) digunakan dalam pembacaan Alkitab, sebuah kebia­saan yang berlanjut selama lebih dari 2.000 tahun. Arti nama ini di zaman pra-Musa dapat disimpulkan dari badai-badai berapi yang menyertai setiap teofani dalam berbagai ayat Kitab Suci, selain dari akar havah, yang berarti “throw down” (“melempar ke bawah”) dan “overthrow” (“menjatuhkan”). Akan tetapi, bagi para nabi, Tuhan Sinai, yang bersing­gasana di tengah awan-awan badai dan api, yang bergerak ke depan umat-Nya dalam perang dan damai, tampil lebih se­bagai Tuhan Perjanjian, tanpa citra atau wujud, tidak bisa di­dekati dalam kekudusan-Nya. Seiring makna orisinil JHVH jadi tak bisa dimengerti, mereka menafsirkan nama tersebut sebagai “Yang senantiasa ada”, dalam pengertian Ehyeh asher Ehyeh, “Aku adalah apapun (atau di manapun) Aku”, dengan kata lain “Aku senantiasa siap menolong”. Demikianlah Tuhan berbicara kepada Musa dalam mengungkapkan nama-Nya kepadanya di semak duri berapi. Kejeniusan nubuah menembus semakin jauh ke dalam fitrah Tuhan, mengenali-Nya sebagai Kekuatan yang meme­rintah dalam keadilan, rahmat, dan kekudusan. Proses ini membawa mereka untuk mengidentikkan JHVH (Tuhan per­janjian) dengan Tuhan yang satu dan satu-satunya yang mengawasi seluruh dunia dari kediaman surgawinya, dan memberinya rencana dan maksud. Di saat yang sama, semua nabi-nabi kembali kepada perjanjian di Sinai untuk memprok­lamirkan Israel sebagai pengabar dan saksi Tuhan di kala­ngan bangsa-bangsa. Bahkan, Tuhan perjanjian memprok­lamirkan universalitas-Nya di awal, dalam pendahuluan Dekalog (Sepuluh Perintah): “Kamu akan menjadi harta ke­sayangan-Ku di atas segala bangsa sebab seluruh bumi ini adalah milik-Ku. Kamu akan menjadi imamat rajani bagiku dan bangsa yang kudus.” Dengan kata lain, “Kau memiliki tugas khusus yakni mediator di antara bangsa-bangsa, yang kesemuanya berada di bawah kekuasaan-Ku.”
Judul asli : The Name of God<i=1zsVkFxK7bg_No3EGgWJ-7aDUd5QbMorC 232KB>The Name of God
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Juli 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Tuhan Arya & Tuhan Semit

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)