Skip to content
Apa yang Dimaksud Ketuhanan Manusia? – Relift Media

Apa yang Dimaksud Ketuhanan Manusia? Bacaan non-fiksi filsafat

author _C. M. Mead_; date _1907_ genre _Filsafat_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Tidak ada yang namanya keilahian yang terpisah dari entitas ilahi. Jika manusia bisa dikatakan memiliki kadar keilahian lebih besar atau lebih kecil di dalam diri mereka, bahasa ini tidak memiliki pengertian yang jelas, kecuali jika dimaksud bahwa mereka memiliki kadar tertentu Tuhan di dalam diri mereka. Demi pikiran yang jernih, izinkan aku bicara beberapa patah kata mengenai sebuah topik yang sering diper­bincangkan dewasa ini. Aku mengacu pada frasa “keilahian manusia” atau ungkapan-ungkapan serupa yang sering dipakai dalam diskursus-diskursus homiletis atau teologis menyangkut fitrah manusia secara umum dan fitrah Kristus secara khusus. Dalam mencoba menyatakan kembali doktrin kristologis agar lebih menonjolkan kemanusiaan Kristus, ka­dang dianggap bahwa kesukaran-kesukaran yang menimpa doktrin lama (yaitu fitrah ganda Sang Penebus) terhindari, dan kebenaran esensial terjaga, dengan mengatakan Kristus adalah seorang manusia yang memiliki lebih banyak keila­hian di dalam dirinya daripada manusia-manusia lain, atau bahwa dia memiliki sebanyak-banyaknya keilahian yang seo­rang manusia mungkin miliki. Dalam pernyataan-pernyataan demikian, implikasinya adalah bahwa Yesus adalah manusia belaka, dilahirkan ke dunia secara alami dan biasa, tapi diberkahi secara unik, keunikan berupa proporsi luar biasa keilahian yang lazim pada semua manusia. Mari kita periksa konsepsi ini. Yang dimaksud dengan istilah “keilahian” (divinity) yang dipakai di sini adalah kua­litas atau karakteristik seorang entitas ilahi; itu praktisnya sama dengan “ketuhanan” (deity). Sebab orang-orang yang kupikirkan bukanlah kaum Arian, yang memandang Kristus bukan sebagai Tuhan ataupun manusia, tapi sebagai makh­luk yang membentuk kelas/golongannya sendiri (manusia su­per, tapi dicipta), dan yang membicarakan “keilahian”-nya tapi mengingkari “ketuhanan”-nya. Selain itu, orang-orang yang dimaksud bukanlah kaum politeis, yang di dalam pikirannya “keilahian” berarti hampir apa saja yang kurang-lebih manu­sia super. Tidak; “keilahian” dan “kemanusiaan” yang dipakai dalam diskusi kristologis sama antitesisnya dengan “Tuhan” dan “manusia”. Lantas, selanjutnya kita perlu bertanya, apa perbedaan antara Tuhan dan manusia? Dewasa ini tidak sedikit yang ditulis, yang tujuannya adalah untuk memperkecil perbedaan tersebut. Kita diberitahu bukan hanya tentang keilahian ma­nusia, tapi tentang kemanusiaan Tuhan; penekanan diberi­kan pada keserupaan esensial fitrah insani dan fitrah ilahi. Seorang penulis modern berkata: “Menjadi Tuhan adalah memiliki lebih banyak kasih daripada apapun, adalah mampu membuat pengorbanan lebih besar untuk kebaikan semua, adalah memiliki kapasitas tak terhingga untuk merendahkan diri demi yang lain.” Seorang teolog terkemuka lain (Ritschl) beranjak jauh sampai menyatakan kasih adalah esensi ketu­hanan dalam pengertian sedemikian rupa sehingga dalam konsepsi kita akan Tuhan, kasih secara logis mendahului per­sonalitas. Nah, supaya tidak membahas panjang-lebar rancu­nya membayangkan kasih bisa dikonsepsikan sebagai entitas yang eksis terpisah dari persona yang mengasihi, poin yang ditekankan dalam representasi-representasi ini adalah bahwa karakter moral—kekudusan—merupakan hal paling esensial dan penting dalam Tuhan maupun manusia. Dalam manu­sia, diakui, karakter moral ini tak sempurna, sedangkan da­lam Tuhan itu sempurna; tapi seiring manusia maju dalam pemilikannya, dia menjadi semakin ilahi; dan sebagian orang tidak ragu untuk memaknai secara harfiah diktum milik Athanasius bahwa dalam inkarnasi/penjelmaan, Firman dija­dikan manusia agar manusia dapat dijadikan ilahi, dan me­reka berbicara tentang [orang-orang] yang baru saja dijadi­kan sempurna di dunia surga sebagai tuhan-tuhan riil. Ini adalah politeisme sederhana, meski kurang kasar daripada politeisme pagan biasa. Nah, bahwa Tuhan dan manusia sama-sama memiliki fit­rah rasional dan moral, dan bahwa fitrah moral dan rasional ini adalah hal paling mulia dalam Tuhan maupun manusia, ini kebenaran yang sangat besar tapi sangat basi. Namun, lagi-lagi timbul pertanyaan, apakah ada perbedaan spesifik antara Tuhan dan manusia; atau adakah perbedaan derajat saja? Rasanya aneh sampai ada kesempatan untuk menanya­kan pertanyaan semacam itu. Andai kita politeis, bakal dinya­takan bahwa manusia dan dewa-dewa/tuhan-tuhan tidaklah berbeda secara spesifik. Tapi ketika di Kristendom Protestan, di mana monoteisme paling ketat dan paling murni seharus­nya bertempat tinggal, gagasan tersebut bisa mendapat per­setujuan, hal ini mengagumkan. Adalah ciri esensial teisme Kristen bahwa Tuhan dipahami tidak dicipta, dan merupakan Pencipta segala sesuatu; bahwa kekuasaan-Nya menopang dan mentenagai segala sesuatu; bahwa Dia mahakuasa dan mahatahu; dan bahwa, sebagai entitas moral, dia tidak hanya bermoral sempurna, tapi merupakan Pengatur Moral se­mesta, yang kepada-Nya makhluk-makhluk moral lain ber­tanggungjawab, dan yang milik-Nya hak prerogatif pengam­punan dan penghukuman. Atribut-atribut ini, bukan untuk mencoba pernyataan yang lebih mendalam, adalah atribut-atribut khas ilahi; mereka membedakan Tuhan secara mutlak dari manusia. Kemajuan dan pertumbuhan manusia sebesar apapun tidak pernah bisa membawanya memiliki satupun atribut-atribut ini. Dalam susunan mental dan moral kita, kita sama dengan Tuhan, tapi dalam hal ini pun terdapat perbedaan yang mungkin sebetulnya disebut spesifik; tapi karakteristik-karakteristik lain yang disebutkan di atas, tak ada manusia yang pernah atau akan pernah ikut memilikinya. Dan karakteristik-karakterisik itulah terutama yang menyu­sun ketuhanan.
Judul asli : What Is Meant by the Divinity of Man?<i=19ZIBZ_342uE9bcCq1rhh3cx9Ovp9dn48 448KB>What Is Meant by the Divinity of Man?
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Juni 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Apa yang Dimaksud Ketuhanan Manusia?

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)