Tendensi ekstatik para asketik Islam dan para Sufi belakangan timbul dari permulaan-permulaan ini. Kala itu, seperti saat ini, fase-fase perasaan yang berasal dari diri sendiri dinisbatkan pada sebab-sebab luar; sejak zaman paling lampau manusia telah mencari di luar mereka Tuhan yang mereka kandung di dalam.
1. Makna Mistikisme Islam
Hukum moral yang diumumkan oleh Musa 3.000 tahun lampau cocok dengan yang mengatur manusia hari ini, terlepas dari berbagai tahap kebudayaan mereka; ajaran-ajaran moral seorang Buddha dan Konfusius cocok dengan ajaran-ajaran Injil, dan dosa-dosa yang—menurut Kitab Kematian bangsa Mesir kuno—akan manusia pertanggungjawabkan kepada para hakim akhirat adalah tetap dosa-dosa setelah 4.000 tahun berlalu. Jika hakikat Kausa Pertama gaib sampai dipahami sama sekali, itu hanya mungkin jika mempertimbangkan prinsip-prinsip moral tetap yang setiap manusia miliki dalam dadanya. Oleh karenanya, ide Tuhan bukanlah urusan pemahaman, tapi urusan perasaan dan hati nurani. Mistikisme selalu menganggapnya demikian, dan oleh karenanya selalu punya daya tarik kuat bagi porsi umat manusia emosional dan mudah tergugah yang dilipurnya dalam ujian dan penderitaan. Maka, setiap agama lebih ditujukan untuk emosi ketimbang untuk pemahaman, dan karenanya mereka semua mengandung tendensi mistik. Mistikisme Islam dan Kristen memiliki banyak titik kontak, dan melalui mistikisme, barangkali untuk pertama kalinya, akan terjembatani jurang lebar yang memisahkan Islam dari Kristen, dan dengan demikian dari peradaban modern. Sejauh berbagai agama mengekspresikan ideal-ideal kebaikan dan kebenaran, mereka mendekati satu sama lain sebagai manifestasi prinsip moral yang tetap. Karena menduga ini, orang-orang Mu’tazilah (atau para pemikir bebas dalam Islam), di masa ketika Eropa terbaring dalam kebingungan intelektual dan moral yang mendalam, memperjuangkan salah satu dari ide-ide yang—meski segera terendam lagi dalam badai arus zaman—terus bekerja dalam diam dan akhirnya muncul sebagai pemenang. Pada hari ketika Muslim tak lagi melihat hanya kemahakuasaan Tuhan, tapi juga kebajikan Tuhan, dia akan serta-merta memasuki kembali lingkaran bangsa-bangsa besar berada, di mana dia dulu memenangkan tempat pertama, meski hanya sebentar.
Mungkin tidak terlalu fantastis untuk menggembar-gemborkan—sebagai pertanda kemenangan mistikisme moral atas kekakuan dogmatis Islam—fakta bahwa sultan saat ini, Sultan Muhammad V, disabuki dengan pedang Osman oleh ketua para darwish Maulawiyah, sebuah sekte yang didirikan oleh guru mistik agung Jalaluddin Rumi dari Ikonium/Konya. 43 tahun silam seorang Orientalis Persia Mirza Kasim Beg menulis dalam
Journal Asiatique:
“Satu-satunya suara dalam Islam yang bisa membawa pada reformasi adalah doktrin mistikisme.”
2. Fase-fase Awal
Periode ketika asketisisme yang diamalkan oleh para Sufi awal berubah ke dalam panteisme penuh lamunan yang menjadi ciri Sufisme belakangan adalah akhir abad 3 sesudah Muhammad. Ini memasukkan elemen baru ke dalam Islam, elemen yang selama berabad-abad melancarkan pengaruh kuat pada kebudayaan kebangsaan, dan masih beroperasi parsial saat ini. Konsepsi Tuhan dan relasi antara yang anta dan insani dengan yang ananta dan ilahi sejak masa ini menjadi subjek utama penyelidikan dan perenungan.
Orang yang ditakdirkan untuk pertama kali mengungkapkan secara pasti ide-ide tersebut, yang selama ini asing bagi Sufisme Arab, adalah seorang pekerja miskin, seorang penyisir katun, yang menyandang nama Hallaj. Dia adalah orang Persia yang di-Arabisasi, lahir di Persia, tapi dididik di Irak, di mana dia menikmati keistimewaan diajari oleh Junaid. Kisah hidupnya sebagaimana diwariskan oleh para penulis Syiah atau Sunni sangat dibesar-besarkan. Namun, jelas dia memiliki banyak sekali murid yang mentakzimkannya sebagai pembimbing spiritual mereka dan menisbatkan padanya kemampuan hampir supranatural. Popularitasnya yang terus bertambah sangat menyinggung para mullah ortodoks, yang menggerakkan pihak berwenang untuk menuntutnya dan berhasil mengadakan pengeksekusiannya pada 922 M. Sebelum kematiannya dia mengalami penyiksaan hebat, yang dia pikul dengan ketenangan luar biasa.
Alasan penghukumannya dinyatakan bahwa dia menganggap dirinya inkarnasi/jelmaan Tuhan. Murid-muridnya menghormatinya sebagai wali pasca kematiannya. Mereka menisbatkan padanya perkataan masyhur, “Aku adalah Kebenaran” (yakni Tuhan), yang mereka pahami dalam pengertian panteistik. Dia konon mengajarkan doktrin inkarnasi Tuhan dalam manusia dan mengucapkan seruan:
Segala puji bagi Yang Maha Tinggi Yang telah mengungkapkan kemanusiaan-Nya dan menyembunyikan kemegahan Ketuhanan-Nya yang maha kuat. Barangsiapa memurnikan diri dengan pemantangan dan menyucikan diri dari setiap jejak kedagingan, kepadanya Roh Tuhan masuk, sebagaimana itu memasuki Yesus. Ketika dia telah mencapai derajat kesempurnaan ini, apapun yang dia kehendaki terjadi, dan apapun yang dia lakukan dilakukan oleh Tuhan.
Surat-suratnya kepada para muridnya konon diawali dengan formula, “Dari Tuan segala Tuan kepada hamba-hamba-Nya.” Murid-muridnya menulis kepadanya:
Wahai Roh-nya Roh! Wahai Tujuan tertinggi dari yang suci: Kami bersaksi bahwa Kau telah menjelmakan Diri-Mu dalam wujud Husain si penyisir katun (Hallaj). Kami berlindung kepada-Mu dan berharap pada rahmat-Mu, wahai Yang Mengetahui rahasia-rahasia.
Keaslian fragmen-fragmen ini memiliki banyak sandaran, tapi tidak sepenuhnya pasti. Namun, sebanyak ini jelas, bahwa murid-murid Hallaj pasca kematiannya memandangnya sebagai entitas ilahi. Ibnu Hazm, seorang pengarang terpercaya yang menulis hanya 150 tahun sesudah eksekusi Hallaj, berkata demikian dengan tegas. Ghazali, yang menulis sekitar 50 tahun kemudian lagi, tidak menyebutkan ini, tapi melindungi Hallaj dari tuduhan penistaan dengan menafsirkan seruannya (“Aku adalah Kebenaran”) dalam pengertian panteistik, dan mempermisikannya dengan mengaitkannya pada kecintaan berlebihan kepada Tuhan dan pada esktase mistik. Di tempat lain dia mengatakan:
Selubung pertama antara Allah dan hamba-Nya adalah jiwa hamba-Nya. Tapi kedalaman tersembunyi hati manusia adalah ilahiah dan diterangi oleh cahaya dari atas; sebab di situ tercermin Kebenaran abadi secara utuh, sehingga itu melingkupi alam semesta dalam dirinya sendiri. Nah ketika seseorang menujukan pandangannya pada hatinya sendiri yang diterangi secara ilahi, dia disilaukan oleh nyala keindahannya, dan ungkapan “Aku adalah Tuhan!” keluar dari mulutnya dengan mudah. Jika dari tahap ini dia tidak maju lebih lanjut dalam hal pengetahuan, dia sering jatuh ke dalam kesalahan dan hancur. Seolah-olah dia mengizinkan dirinya sendiri disesatkan oleh cetus kecil dari samudera cahaya Tuhan, alih-alih mendesak maju untuk memperoleh lebih banyak cahaya. Alasan penipuan diri ini adalah bahwa dia, yang di dalam dirinya Yang Supranatural tercermin, salah mengira dirinya sebagai itu. Jadi warna sebuah gambar yang terlihat dalam sebuah cermin kadang tertukar dengan cermin itu sendiri.
Hallaj tidak lebih dari perlambangan sebuah ide lama, bersumber dari India, yang dia padukan dengan Sufisme, dengan demikian memberi arah yang sama sekali baru pada pemikiran Islam, arah yang penting, lantaran membawa kepada perkembangan konsepsi Tuhan yang sama sekali baru. Bahkan sebelum Hallaj, doktrin inkarnasi/penjelmaan telah muncul dalam Islam. Khalifah Ali diriwayatkan sebagai demikian, dan karenanya dimuliakan oleh kaum Syiah. Sekte Khattabiyyah menyembah Imam Jafar Sadiq sebagai Tuhan. Sebuah sekte lain meyakini Roh Ilahi telah turun pada Abdullah bin Amr.