‘Wahai Hasan... Jika aku jatuh dalam lumpur, tak ada bahaya besar yang timbul, aku bisa menyingkirkannya dengan mencuci; tapi jika kau jatuh ke dalam lubang kemegahan diri, kau takkan pernah keluar dalam keadaan bersih dan keselamatan abadimu akan hancur seluruhnya.’
Hasan al-Bashri dilahirkan di Madinah, Arab, ke mana ibunya dibawa sebagai tawanan dan dijual kepada Ummu Salma, salah seorang isteri Nabi. Menginjak usia dewasa, dan setelah mendapat kemerdekaan, dia menarik diri ke Basrah di teluk Persia, sebuah benteng sekte asketik. Di sini dia tinggal tanpa diusik, meski pengingkaran terbukanya kepada keluarga berkuasa Umayyah membuatnya terancam bahaya. Insiden berikut, yang menggambarkan kemandirian karakternya, diceritakan oleh Ibnu Khallikan. Ketika Umar bin Hubairah ditunjuk untuk memerintah Irak di masa kekuasaan Khalifah Abdul Malik (721 M), dia memanggil Hasan al-Bashri, Muhammad Ibnu Sirin, dan as-Shabi. Kepada mereka dia berkata, “Abdul Malik telah menerima sumpahku bahwa aku akan mendengar dan menaatinya; dan sekarang dia telah menunjukku seperti yang kalian lihat, dan aku menerima perintah tertulis darinya. Haruskah aku menaatinya dalam perintah apapun yang dia berikan?” Ibnu Sirin dan as-Shabi memberi jawaban hati-hati, tapi Hasan al-Bashri, saat dimintai pendapatnya, membuat jawaban ini: “Wahai Ibnu Hubairah! Allah lebih penting daripada Abdul Malik, dan Abdul Malik tidak lebih penting daripada Allah; Allah bisa membelamu dari Abdul Malik, dan Abdul Malik tidak bisa membelamu dari Allah. Dia akan segera mengirim malaikat untuk mencabutmu dari singgasanamu, dan mengirimmu dari luasnya istanamu ke sempitnya kubur. Kala itu amalmu saja yang bisa menyelamatkanmu.” Ibnu Hubairah lalu menghadiahi mereka, tapi memberikan hadiah dua kali lipat kepada Hasan al-Bashri, sehingga as-Shabi berkata kepada Ibnu Sirin, “Kita memberinya jawaban jelek, dan dia memberi kita hadiah jelek.”
Pengadopsian kehidupan asketik oleh Hasan al-Bashri dihasilkan dengan cara berikut. Semasa muda dia adalah pemotong batu mulia, dan pergi ke Rum (Asia Kecil) untuk mempraktekkan keterampilannya. Di sana dia bersahabat dengan wazir negeri itu. Suatu hari sang wazir berkata kepadanya, “Kita akan pergi dari kota ini ke tempat tertentu; kau mau ikut kami?” Hasan al-Bashri mengiyakan, dan pergi. “Kami tiba,” katanya kemudian, “di sebuah dataran di mana terdapat sebuah kemah besar, yang tali-talinya dari sutera dan pasak-pasaknya dari emas. Aku melihat sejumlah tentara berbaris di sekelilingnya; mereka mengulangi beberapa kata yang tak bisa kudengar, dan kemudian mundur. Lalu datang sekitar empat ratus mullah dan orang-orang terpelajar, yang melakukan hal sama. Orang-orang ini diikuti oleh orang-orang tua dalam jumlah yang sama. Lalu sekitar empat ratus atau lima ratus perawan cantik, masing-masing memegang sebuah piring berisi yakut/rubi, mutiara, pirus, dan batu-batu mulia lain. Mereka berarak-arakan mengelilingi kemah dengan cara yang sama. Akhirnya sultan dan wazir masuk ke kemah dan keluar lagi.
“Adapun aku, aku terpaku keheranan. ‘Apa arti semua ini?’ tanyaku pada wazir. ‘Raja,’ ujarnya, ‘memiliki seorang anak sangat rupawan dan berwatak bahagia; dia jatuh sakit dan mati. Makamnya di dalam kemah ini, dan mereka menziarahinya sekali setahun. Pertama datang para tentara, yang mengelilingi kemah dan berkata, ‘Wahai putera sultan, jika kami bisa menebus nyawamu dengan sambaran pedang kami, kami akan sudah lakukan, meski itu memakan nyawa kami sendiri; tapi Allah berkehendak lain, dan kami tak bisa mengubah keputusan-Nya.’ Setelah berkata demikian, mereka pergi. Lalu para mullah dan orang-orang terpelajar giliran datang, berkata, ‘Wahai putera sultan, jika kami bisa menebusmu dengan pengetahuan atau kefasihan kami, kami akan sudah lakukan; tapi semua pengetahuan dan kefasihan di dunia tidak bisa menahan keputusan Allah.’ Lalu mereka pergi. Setelah mereka, datanglah orang-orang tua, yang berseru, ‘Jika kami bisa menyelamatkanmu dengan rintihan dan doa, kami akan sudah lakukan; tapi syafaat kami tak ada gunanya.’ Terakhir datang para perawan muda, yang berkata, ‘Wahai putera sultan, jika kami bisa menebusmu dengan harga kecantikan dan kekayaan, kami akan sudah lakukan; tapi langkah-langkah takdir tidak berbelok karena keduanya.’ Setelah mereka, sultan dan wazir memasuki kemah. Sultan berkata, ‘Wahai puteraku, aku sudah lakukan semua yang bisa kulakukan. Aku sudah bawakan semua tentara, mullah, orang terpelajar, orang tua, perawan cantik pembawa harta-benda ini, tapi aku tidak bisa membawamu kembali. Itu tidak bergantung padaku, tapi pada Dia yang di hadapan-Nya seluruh kekuasaan tidak berkuasa. Semoga rahmat Allah dilipatgandakan padamu selama setahun ke depan.’ Setelah berbicara begitu, mereka kembali melalui jalan mereka datang.’”
Usai mendengar ini, Hasan al-Bashri merasa tergerak sampai ke lubuk hatinya. Meninggalkan Rum, dia menarik diri ke Basrah, di mana dia bersumpah tidak akan tersenyum lagi sampai dia tahu seperti apa takdir abadinya. Dia mengamalkan asketisisme/kezuhudan seketat-ketatnya, dan banyak orang datang untuk mendengarnya berkhotbah.
Hasan al-Bashri memiliki seorang murid yang biasa melempar dirinya ke tanah dan mengeluarkan rintihan-rintihan ketika mendengar al-Qur’an dibacakan. “Jika kau mampu mengekang rintihan-rintihan ini,” katanya, “mereka akan seperti api penghancur untukmu; tapi jika mereka tak sanggup kau kendalikan, aku nyatakan aku enam tingkat di belakangmu dalam hal kesalehan. Rintihan-rintihan demikian,” tambahnya, “biasanya adalah ulah Setan.”
Suatu hari Hasan al-Bashri sedang berkhotbah ketika Hajaj bin Yusuf, gubernur Irak haus darah dan mengerikan, memasuki masjid ditemani sejumlah besar rombongannya dengan pedang-pedang terhunus. Seorang terkemuka di antara hadirin berkata, “Kita harus amati hari ini apakah Hasan akan malu oleh kehadiran Hajaj.” Ketika Hajaj sudah mengisi tempatnya, Hasan al-Bashri, tanpa memberi perhatian sedikitpun padanya, bukannya memperpendek ceramahnya, justru memperpanjangnya. Ketika selesai, orang yang mengamatinya berseru, “Hidup, Hasan!” Ketika Hasan turun dari mimbar, Hajaj maju dan menjabat tangannya, berkata kepada orang-orang, “Jika kalian ingin melihat orang yang Allah istimewakan di antara kalian, pandanglah Hasan al-Bashri.”
Judul asli | : | Hasan Basri<i=1U81Ct9d_a1YALmkwEtrZt16XcXNOfuR4 320KB>Hasan Basri (1910) |
Pengarang | : | Claud Field |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2024 |
Genre | : | Sejarah |
Kategori | : | Nonfiksi, Biografi |