Al-Jili, seperti para Sufi dan mistikus lain, menyatakan kesatuan semua eksistensi, tapi memandang eksistensi sebagai dua jenis: Eksistensi Absolut, Ke-ada-an Murni, yakni Tuhan sebagaimana Dia dalam Diri-Nya sendiri; dan Eksistensi yang tergabung dengan non-eksistensi.
[Dr. Margaret Smith menamatkan seri unggulnya dengan studi ini. Yang terdahulu adalah: “Al-Hujwiri”, diterbitkan pada Desember 1930; “Al-Hallaj”, April 1931; “Abu Sa’id”, Agustus 1931; dan “Suhrawardi”, Oktober 1931.
Ajaran-ajaran al-Jili akan mengingatkan penstudi Teosofi pada Tiga Dalil Fundamental The Secret Doctrine. Konsepsinya akan Yang Absolut dan tripel aspek-Nya sangat mendekati pandangan Upanishad, yang digambarkan oleh H. P. Blavatsky dalam Teosofi-nya.—Editor The Aryan Path]
Dalam studi-studi kita sebelumnya terhadap mistikus-mistikus besar Persia, kita sudah menyimak bagaimana al-Hallaj memahami Realitas Tertinggi sebagai Kasih/Cinta; bagi Abu Sa’id bin Abi al-Khayr, Realitas adalah Keindahan; bagi Suhrawardi, Realitas adalah Cahaya; dan kini kita akan mempertimbangkan ajaran seorang filsuf-mistikus yang memahami Realitas sebagai Pikiran. Dia adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili, yang dilahirkan pada 1365-1366 M dan meninggal kira-kira antara 1406 dan 1417, tapi seorang penulis berpengaruh menetapkan kematiannya selambatnya tahun 1423. Nama belakangnya diambil dari provinsi Jilan atau Gilan, yang terletak di selatan Laut Kaspia, dan itu menunjukkan nasabnya dari Syeikh besar Abdul Qadir al-Jilani, yang dipandang sebagai wali pelindung Baghdad, di mana dia meninggal pada 1166, setelah pendirian ordo/tarekat darwish Qadiriyah, dan al-Jili tampaknya tergolong ke dalam tarekat ini. Tidak banyak yang diketahui perihal kehidupan al-Jili; dalam salah satu bukunya dia menyatakan dirinya lahir di Kalikut/Kozhikode di India, dan kemudian pergi bersama ayahnya ke Adan, di mana ayahnya meninggal. Dia sudah pasti bepergian di India, dan kita tahu dia belajar di bawah Syeikh Sharaf al-Din Ismail bin Ibrahim al-Jabarti az-Zabid. Namun, namanya, yang lantas dikenal luas sebagai nama seorang mistikus dan guru agung, berkaitan utamanya dengan Baghdad, di mana dia menghabiskan sebagian besar hidupnya, dan tampaknya dia berakar Persia. Kita punya bukti bahwa dia menganggap dirinya Muslim setia dan ortodoks, sebab dia dengan jelas menyatakan ajarannya didasarkan pada ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Di saat yang sama, kita juga tahu dari tulisan-tulisannya bahwa doktrinnya merupakan hasil dari pengalaman mistisnya sendiri. Dia sudah tahu bagaimana merasakan dirinya menyatu dengan Ilah, mendengar hal-hal tak terkatakan, melihat penampakan tempat-tempat surgawi, dan mengobrol dengan para wali yang sudah tiada. Dia seorang penulis subur; kita mendengar sekurangnya 20 karya mistiknya, dan tidak diragukan lagi ada banyak lainnya yang judul-judulnya tidak sampai kepada kita. Buku paling dikenalnya adalah al-Insān al-kāmil fi ma’rifat al-awākhir wa’l-awā’il (Manusia yang Sempurna dalam Pengetahuan Tentang Hal-hal Akhir dan Awal), di mana dia mencantumkan sebagian ode-nya berjudul “al-Nawādir al-ayniyya fi’l-bawādir al-ghaybiyya” (Misteri-misteri Esensi dalam Kemegahan Sang Gaib). Judul dan konsepsi Manusia yang Sempurna tersebut al-Jili pinjam dari pendahulu agungnya, Ibnu al-Arabi; dia menulis sebuah tafsir terhadap salah satu bukunya. Sementara mode pemikiran Ibnu al-Arabi sudah pasti mempengaruhi al-Jili secara luas dalam mengembangkan ajaran mistiknya sendiri, doktrinnya—sebagaimana akan kita simak—juga berutang pada al-Hallaj dan mungkin pada Suhrawardi. Karya al-Jili berpengaruh besar pada perkembangan keagamaan Islam kemudian, dan khususnya di India Timur. Tujuannya dalam menulis Manusia yang Sempurna, sebagaimana dia katakan di awal buku itu, adalah untuk mengemukakan doktrinnya tentang Tuhan, dan dia merasa dibebani keharusan untuk berbicara tentang Tuhan, Ketuhanan Absolut, selain Tuhan yang menjelma, dan hubungan Tuhan dengan manusia, di dalam buku itu. Dia bilang akan menulis sesuai dengan metode-metode pemaparan yang disetujui oleh para Sufi, dan bahwa dia akan membawa pembaca kepada pengetahuan tentang misteri-misteri yang tak satupun penulis pernah masukkan ke dalam sebuah buku, pengetahuan tentang Tuhan—gnosis mistik—dan tentang alam semesta; dan dalam mengemukakan doktrinnya dia akan mengikuti jalan tengah antara kebungkaman dan pembocoran. Dasar ajaran al-Jili adalah ide Satu Realitas, Pikiran Murni, yang memanifestasikan diri di segenap alam semesta, dan terungkap dalam keanekaragaman di dunia Alam, tapi mendapatkan kembali kesatuannya di Manusia, yang di dalam dirinya menggabungkan kuasa-kuasa Alam yang dicontohkan dalam kemanusiaannya dengan kuasa-kuasa Ilahi Esensi; dengan jalan ini dia ambil bagian dalam Keilahian. Ketika dia, melalui disiplin diri, telah mencapai pengetahuan diri dan—sesudah dicerahkan—telah menjadi Manusia Sempurna, dia berlalu dari individualitasnya sendiri dan menjadi satu dengan Esensi Ilahi, yang darinya dia muncul.
Dalam studi-studi kita sebelumnya terhadap mistikus-mistikus besar Persia, kita sudah menyimak bagaimana al-Hallaj memahami Realitas Tertinggi sebagai Kasih/Cinta; bagi Abu Sa’id bin Abi al-Khayr, Realitas adalah Keindahan; bagi Suhrawardi, Realitas adalah Cahaya; dan kini kita akan mempertimbangkan ajaran seorang filsuf-mistikus yang memahami Realitas sebagai Pikiran. Dia adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili, yang dilahirkan pada 1365-1366 M dan meninggal kira-kira antara 1406 dan 1417, tapi seorang penulis berpengaruh menetapkan kematiannya selambatnya tahun 1423. Nama belakangnya diambil dari provinsi Jilan atau Gilan, yang terletak di selatan Laut Kaspia, dan itu menunjukkan nasabnya dari Syeikh besar Abdul Qadir al-Jilani, yang dipandang sebagai wali pelindung Baghdad, di mana dia meninggal pada 1166, setelah pendirian ordo/tarekat darwish Qadiriyah, dan al-Jili tampaknya tergolong ke dalam tarekat ini. Tidak banyak yang diketahui perihal kehidupan al-Jili; dalam salah satu bukunya dia menyatakan dirinya lahir di Kalikut/Kozhikode di India, dan kemudian pergi bersama ayahnya ke Adan, di mana ayahnya meninggal. Dia sudah pasti bepergian di India, dan kita tahu dia belajar di bawah Syeikh Sharaf al-Din Ismail bin Ibrahim al-Jabarti az-Zabid. Namun, namanya, yang lantas dikenal luas sebagai nama seorang mistikus dan guru agung, berkaitan utamanya dengan Baghdad, di mana dia menghabiskan sebagian besar hidupnya, dan tampaknya dia berakar Persia. Kita punya bukti bahwa dia menganggap dirinya Muslim setia dan ortodoks, sebab dia dengan jelas menyatakan ajarannya didasarkan pada ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Di saat yang sama, kita juga tahu dari tulisan-tulisannya bahwa doktrinnya merupakan hasil dari pengalaman mistisnya sendiri. Dia sudah tahu bagaimana merasakan dirinya menyatu dengan Ilah, mendengar hal-hal tak terkatakan, melihat penampakan tempat-tempat surgawi, dan mengobrol dengan para wali yang sudah tiada. Dia seorang penulis subur; kita mendengar sekurangnya 20 karya mistiknya, dan tidak diragukan lagi ada banyak lainnya yang judul-judulnya tidak sampai kepada kita. Buku paling dikenalnya adalah al-Insān al-kāmil fi ma’rifat al-awākhir wa’l-awā’il (Manusia yang Sempurna dalam Pengetahuan Tentang Hal-hal Akhir dan Awal), di mana dia mencantumkan sebagian ode-nya berjudul “al-Nawādir al-ayniyya fi’l-bawādir al-ghaybiyya” (Misteri-misteri Esensi dalam Kemegahan Sang Gaib). Judul dan konsepsi Manusia yang Sempurna tersebut al-Jili pinjam dari pendahulu agungnya, Ibnu al-Arabi; dia menulis sebuah tafsir terhadap salah satu bukunya. Sementara mode pemikiran Ibnu al-Arabi sudah pasti mempengaruhi al-Jili secara luas dalam mengembangkan ajaran mistiknya sendiri, doktrinnya—sebagaimana akan kita simak—juga berutang pada al-Hallaj dan mungkin pada Suhrawardi. Karya al-Jili berpengaruh besar pada perkembangan keagamaan Islam kemudian, dan khususnya di India Timur. Tujuannya dalam menulis Manusia yang Sempurna, sebagaimana dia katakan di awal buku itu, adalah untuk mengemukakan doktrinnya tentang Tuhan, dan dia merasa dibebani keharusan untuk berbicara tentang Tuhan, Ketuhanan Absolut, selain Tuhan yang menjelma, dan hubungan Tuhan dengan manusia, di dalam buku itu. Dia bilang akan menulis sesuai dengan metode-metode pemaparan yang disetujui oleh para Sufi, dan bahwa dia akan membawa pembaca kepada pengetahuan tentang misteri-misteri yang tak satupun penulis pernah masukkan ke dalam sebuah buku, pengetahuan tentang Tuhan—gnosis mistik—dan tentang alam semesta; dan dalam mengemukakan doktrinnya dia akan mengikuti jalan tengah antara kebungkaman dan pembocoran. Dasar ajaran al-Jili adalah ide Satu Realitas, Pikiran Murni, yang memanifestasikan diri di segenap alam semesta, dan terungkap dalam keanekaragaman di dunia Alam, tapi mendapatkan kembali kesatuannya di Manusia, yang di dalam dirinya menggabungkan kuasa-kuasa Alam yang dicontohkan dalam kemanusiaannya dengan kuasa-kuasa Ilahi Esensi; dengan jalan ini dia ambil bagian dalam Keilahian. Ketika dia, melalui disiplin diri, telah mencapai pengetahuan diri dan—sesudah dicerahkan—telah menjadi Manusia Sempurna, dia berlalu dari individualitasnya sendiri dan menjadi satu dengan Esensi Ilahi, yang darinya dia muncul.
Judul asli | : | Al Jilli: The Apostle of Thought<i=18OtYJ3xV5zKmHKWX0VcFDB2B02-KAvxj 181KB>Al Jilli: The Apostle of Thought (1931) |
Pengarang | : | Margaret Smith |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |