Para Sufi abad-abad berikutnya melihat dalam dirinya seorang teosofis tulen, orang yang dimabukkan oleh cintanya kepada Tuhan sampai tergirang-girang sedemikian rupa sehingga dia yakin dirinya menyatu dengan Esensi Ilahi, dan dia disalahkan hanya karena mengungkapkan misteri Ketuhanan.
[Dr. Margaret Smith adalah pakar ternama mengenai subjek-subjek Islam. Rabiá the Mystic karangannya sangat dipuji. Pembaca kami dibuat familiar dengan karyanya pada Maret 1930, ketika dia menulis “Mistikisme Islam Persia”, dan kemudian Desember lalu ketika dia mempersembahkan “Jalan Menurut al-Hujwiri”. Dalam edisi-edisi berikutnya kami akan menerbitkan studi-studinya tentang Abu S’aid, Suhrwadi, dan al-Jili.
Sebagaimana ditunjukkan oleh pengarang kita, Al-Hallaj mengumumkan “ana-al-haqq” (“aku adalah Kebenaran”), sebuah fakta yang jelas-jelas mengindikasikan konsepnya akan Tuhan sebagai Roh Maha Ada dan Maha Kuasa, bukan Tuhan personal, antropomorfik, luar kosmik. Pembaca kami sebaiknya mencamkan ini selagi membaca artikel ini. Jalaludin Rumi, juga seorang mistikus, memahami apa yang dimaksud dan dalam jilid kelima Matsnawi, dia berkata:
Al-Husain bin Mansur al-Hallaj dilahirkan sekitar 858 M di Beyza, Fars, Persia Selatan, dan seorang penulis mengatakan kakeknya adalah seorang Zoroaster. Dia menghabiskan masa kecil di Wasit, Irak, dan pada usia 16 pergi ke Tustar, di mana dia menjadi murid Sahl bin Abdallah Tustari, selama dua tahun. Sahl, seraya menyatakan kemahakuasaan Tuhan, mengajarkan bahwa manusia harus berusaha mengembangkan kehidupan batin. Langkah pertama menuju ini adalah pertobatan; dan karena mengajarkan bahwa pertobatan adalah kewajiban perlu (tampaknya dia orang pertama dalam Islam yang mengajarkan demikian), dia diusir ke Basra, diikuti oleh al-Hallaj. Al-Hallaj, setelah berhaji ke Mekkah, kembali ke Baghdad, dan bergaul dengan para Sufi di sana, khususnya al-Junaid. Pemimpin Sufi ternama ini mengajarkan bahwa roh para wali dalam status pra-eksistensi dulunya berdiam di Hadirat Tuhan dan bahwa Dia sedang membimbing mereka melewati eksistensi fana dunia ini kembali ke status purba tersebut, ketika mereka akan kembali berdiam selamanya dengan-Nya. Al-Hallaj belajar kepada al-Junaid untuk jangka waktu lama, menempuh kehidupan asketik keras. Dia kemudian melakukan perjalanan ke Khurasan, Sijistan, dan Kerman, dan kembali ke Fars dan mulai berdakwah di depan umum, menyeru masyarakat untuk kembali kepada Tuhan, mengajari mereka perlunya bertobat, dan perlunya mempersembahkan diri kepada Tuhan dalam shalat dan renunsiasi, dan menceritakan anugerah-anugerah Tuhan kepada para wali-Nya. Karena bisa membaca pikiran rahasia manusia dan menyingkap isi hati mereka, sebagaimana penyisir wol memisahkan bulir-bulir dari katun, dia dijuluki “penyisir kata hati”, “Hallaj al-asrar”, dan nama belakang al-Hallaj terus melekat padanya. Sekitar tahun 905 dia berangkat dalam sebuah perjalanan misi ke India, Khurasan, Turkistan, dan China, dan memperoleh gelar Pemberi Syafaat, Si Berpandangan Jernih, Si Zuhud, Si Ekstatik. Setelah ini dia kembali berhaji ke Mekkah, untuk kali ketiga, dan menghabiskan dua tahun di sana dalam penyendirian. Pada saat itulah dia merasa bahwa dirinya telah mencapai penyatuan mistik dan bahwa kata-kata yang dia ucapkan dan amal-amal yang dia lakukan bukanlah dari dirinya sendiri, tapi bahwa Tuhan sedang berbicara dan bertindak melalui dirinya. Dia kembali ke Baghdad dan menetap di sana, berdiskusi dengan para Sufi dan berdakwah di depan umum. Pada 913 dia ditangkap lantaran mendakwahkan doktrin-doktrin bid’ah dan terus berada di penjara selama lebih dari 8 tahun, sampai kematiannya pada 922. Dia menghabiskan malam terakhir hidupnya di sel, dalam shalat, dan ketika pelayannya meminta wasiat terakhir, al-Hallaj berkata kepadanya, “Jika kau tidak memperbudak dirimu, ia akan memperbudakmu.” Dia dibawa ke tempat eksekusi, dicambuk dengan 500 cambukan dan kedua tangan dan kakinya dipotong. Lalu dia disalib, seraya mempertahankan hubungan dengan Tuhannya dalam ekstase, dan berkata:
Wahai pengoceh, “Aku Adalah Dia”-nya Mansur adalah perkataan mistik yang dalam, Mengekspresikan penyatuan dengan Cahaya, bukan inkarnasi belaka.Dan Rumi memprotes eksekusi Mansur:
Kapanpun hakim zalim menguasai pena, Seorang Mansur mati di tiang gantung.Pengalaman Mansur menyatu dengan Tuhan adalah pengalaman Yogi dalam Samadhi, pengalaman menggapai mukti atau pembebasan.—Editor The Aryan Path]
Al-Husain bin Mansur al-Hallaj dilahirkan sekitar 858 M di Beyza, Fars, Persia Selatan, dan seorang penulis mengatakan kakeknya adalah seorang Zoroaster. Dia menghabiskan masa kecil di Wasit, Irak, dan pada usia 16 pergi ke Tustar, di mana dia menjadi murid Sahl bin Abdallah Tustari, selama dua tahun. Sahl, seraya menyatakan kemahakuasaan Tuhan, mengajarkan bahwa manusia harus berusaha mengembangkan kehidupan batin. Langkah pertama menuju ini adalah pertobatan; dan karena mengajarkan bahwa pertobatan adalah kewajiban perlu (tampaknya dia orang pertama dalam Islam yang mengajarkan demikian), dia diusir ke Basra, diikuti oleh al-Hallaj. Al-Hallaj, setelah berhaji ke Mekkah, kembali ke Baghdad, dan bergaul dengan para Sufi di sana, khususnya al-Junaid. Pemimpin Sufi ternama ini mengajarkan bahwa roh para wali dalam status pra-eksistensi dulunya berdiam di Hadirat Tuhan dan bahwa Dia sedang membimbing mereka melewati eksistensi fana dunia ini kembali ke status purba tersebut, ketika mereka akan kembali berdiam selamanya dengan-Nya. Al-Hallaj belajar kepada al-Junaid untuk jangka waktu lama, menempuh kehidupan asketik keras. Dia kemudian melakukan perjalanan ke Khurasan, Sijistan, dan Kerman, dan kembali ke Fars dan mulai berdakwah di depan umum, menyeru masyarakat untuk kembali kepada Tuhan, mengajari mereka perlunya bertobat, dan perlunya mempersembahkan diri kepada Tuhan dalam shalat dan renunsiasi, dan menceritakan anugerah-anugerah Tuhan kepada para wali-Nya. Karena bisa membaca pikiran rahasia manusia dan menyingkap isi hati mereka, sebagaimana penyisir wol memisahkan bulir-bulir dari katun, dia dijuluki “penyisir kata hati”, “Hallaj al-asrar”, dan nama belakang al-Hallaj terus melekat padanya. Sekitar tahun 905 dia berangkat dalam sebuah perjalanan misi ke India, Khurasan, Turkistan, dan China, dan memperoleh gelar Pemberi Syafaat, Si Berpandangan Jernih, Si Zuhud, Si Ekstatik. Setelah ini dia kembali berhaji ke Mekkah, untuk kali ketiga, dan menghabiskan dua tahun di sana dalam penyendirian. Pada saat itulah dia merasa bahwa dirinya telah mencapai penyatuan mistik dan bahwa kata-kata yang dia ucapkan dan amal-amal yang dia lakukan bukanlah dari dirinya sendiri, tapi bahwa Tuhan sedang berbicara dan bertindak melalui dirinya. Dia kembali ke Baghdad dan menetap di sana, berdiskusi dengan para Sufi dan berdakwah di depan umum. Pada 913 dia ditangkap lantaran mendakwahkan doktrin-doktrin bid’ah dan terus berada di penjara selama lebih dari 8 tahun, sampai kematiannya pada 922. Dia menghabiskan malam terakhir hidupnya di sel, dalam shalat, dan ketika pelayannya meminta wasiat terakhir, al-Hallaj berkata kepadanya, “Jika kau tidak memperbudak dirimu, ia akan memperbudakmu.” Dia dibawa ke tempat eksekusi, dicambuk dengan 500 cambukan dan kedua tangan dan kakinya dipotong. Lalu dia disalib, seraya mempertahankan hubungan dengan Tuhannya dalam ekstase, dan berkata:
Wahai Tuhanku, aku akan memasuki kediamanku yang kuinginkan, dan merenungkan keajaiban-keajaiban-Mu di sana! Wahai Tuhanku, karena Kau memanifestasikan kasih-Mu bahkan kepada orang yang menzalimi-Mu—maka bagaimana Kau tidak akan memanifestasikan Diri-Mu kepada orang yang dizalimi demi Engkau?Paginya, dia diturunkan dari tiang gantung dan terdengar berkata dengan suara nyaring, “Apa yang kekasih sejati inginkan adalah berdua dengan Dia.” Kemudian dia dipancung dan abunya ditebar ke permukaan sungai. Malam itu, al-Shibli, salah seorang Sufi, memohon kepada Tuhan, berkata, “Berapa lama Kau akan membunuh kekasih-kekasih-Mu?” dan jawaban datang kepadanya, “Sampai mereka menemukan harga yang Kubayar untuk darah mereka.” Dan al-Shibli berkata, “Wahai Tuhan, apa hukuman-Mu atas penumpahan darah?” dan Tuhan menjawab, “Berjumpa denganku dan melihat Keindahan-Ku adalah apa yang kuberikan sebagai balasan atas darah kekasih-kekasih-Ku.” Attar si penyair menyebut al-Hallaj sebagai “si Syahid di jalan Allah, si Singa Semak-Belukar dalam Pencarian Kebenaran, si Penyelam di Laut Bergelombang Keras”, dan mengangkatnya sebagai teladan cinta setia yang ditarik oleh daya tarik tak tertahankan untuk merenungi Wajah Tuhan; dan sebagai orang yang direnggut ke dalam ekstase oleh cinta membara yang memakannya. Meski doktrin-doktrin al-Hallaj disalahkan oleh kaum ortodoks, dan pendapat para penulis belakangan tentang dia berbeda-beda, para Sufi abad-abad berikutnya melihat dalam dirinya seorang teosofis tulen, orang yang dimabukkan oleh cintanya kepada Tuhan sampai tergirang-girang sedemikian rupa sehingga dia yakin dirinya menyatu dengan Esensi Ilahi, dan dia disalahkan hanya karena—setelah diamanahi pengetahuan tinggi tersebut—mengungkapkan misteri Ketuhanan kepada orang-orang yang tak pantas menerimanya. Oleh para penyair mistik Persia, al-Hallaj dianggap sebagai syahid, yang hasratnya kepada Ilahi menyebabkannya menyerahkan nyawa agar dapat mencapai penyatuan sempurna dan kekal. Doktrin kewalian milik al-Hallaj, yang didasarkan pada pengalaman pribadinya, dikemukakan dalam Kitab al-Ṭawāsīn, yang mengambil namanya dari Ṭā Sīn, dua huruf mistis yang dijumpai di awal Surat-surat tertentu dalam al-Qur’an. Menurut ajaran al-Hallaj, “Ṭā” berarti Kemurnian Abadi (Tuhūriya) Sang Absolut, sedangkan “Sīn” berarti Kemuliaan Kekal-Nya (sana). Ada banyak penggalan tulisan-tulisan al-Hallaj lain, yang juga memberi wawasan tentang ajaran mistisnya. Dia mengajarkan transendensi Tuhan, yang berada di atas semua batas-batas makhluk, eksis sebagai Roh Ilahi Tak Dicipta. Dalam salah satu doanya pada malam terakhir hidupnya, al-Hallaj menyatakan:
Dalam kemuliaan-Mu-lah kami berlindung, dan dalam semarak kemuliaan-Mu-lah kau akan membuat cahaya nampak pada akhirnya, sebagaimana Kau kehendaki. Sebab Kau-lah Tuhan di Langit dan Tuhan di bumi. Wahai Engkau yang menegakkan langit dan membentuk semua wujud/rupa, wahai Engkau yang di hadapan-Mu zat-zat merendahkan diri dan hal-hal tak pasti bersujud—yang dengan keputusan-Mu tubuh-tubuh dibentuk, dan yang dalam diri-Mu pertimbangan-pertimbangan dirumuskan. Kau-lah yang menampakkan Diri-Mu, secara kasat mata, ketika Kau berkehendak, kepada siapa yang Kau kehendaki, sebagaimana Kau kehendaki, dan sebagaimana Kau telah memanifestasikan Diri-Mu di bawah citra “wujud terindah” (yakni wujud manusia), sebuah wujud yang berisi roh, satu-satunya yang dihiasi dengan pengetahuan, kefasihan, dan kebebasan, sebagai sarana untuk bersaksi atas-Mu!Dengan demikian, dia menganggap Tuhan sebagai Ke-ada-an Murni, dan dunia fenomena sebagai semata-mata pantulan Ke-ada-an pada ketidakadaan; Dia adalah “al-Haqq”, Satu Realitas, Kebenaran Kreatif.
Judul asli | : | Al Hallaj, Mystic and Martyr<i=1CqFhIKcQNGHZCM-QIYHknZltAg9jKg9P 364KB>Al Hallaj, Mystic and Martyr (1931) |
Pengarang | : | Margaret Smith |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |