Walaupun terutama terkenal di Barat sebagai filsuf, dia sendiri tidak bakal mau mengakui gelar itu. Dia berkata bahwa tujuannya dalam mempelajari filsafat adalah untuk menyangkal para filsuf. Elemen sejati miliknya bukanlah filsafat tapi agama, yang mempenetrasi seluruh eksistensinya.
Al-Ghazali merupakan salah seorang pemikir paling mendalam, teolog paling besar, dan moralis paling menonjol dari Islam. Di semua tanah Muslim, dia dimuliakan sebagai apolog ortodoksi dan juga penganjur hangat mistikisme Sufi. Familiar dengan semua pengetahuan di eranya, dia bukan hanya salah satu dari banyak filsuf timur yang melintasi setiap ranah kegiatan intelektual, tapi juga salah satu dari pemikir-pemikir langka yang orisinilitasnya tidak digilas oleh pengetahuan mereka. Dia dikaruniai antusiasme sakral terhadap kemenangan agamanya, dan seluruh hidupnya dipersembahkan untuk satu tujuan—membela Islam. Seperti Browning katakan, “dia menjadikan hidup terdiri dari satu pemikiran”. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmed Algazzali, dan dia dilahirkan di Tus di Khurasan, 1058 M, di mana satu generasi sebelumnya, Firdausi (pengarang Syahnamah) meninggal. Tus sudah masyhur akan pengetahuan dan kultur, dan di kemudian hari kemasyhuran Ghazali sendiri membuat kota itu menjadi pusat ziarah untuk para Muslim saleh, sampai itu diporakporandakan oleh Jenghis Khan, seabad sesudah kematian Ghazali.
Kelahirannya terjadi pada masa ketika kekuasaan para Khalifah semakin menyusut, dan milisi Turki, mirip para garda Pretoria kekaisaran Romawi akhir, menjadi penyalur kekuasaan riil. Sementara kesatuan politik Islam dicerai-beraikan menjadi sejumlah negara yang saling bertentangan, Islam sendiri diancam oleh bahaya-bahaya dari luar. Di Spanyol, Alfonso II mulai mendesak kaum Moor dengan keras. Sebelum Ghazali berumur 40, Petrus sang Petapa mengkhotbahkan Perang Salib Pertama, dan semasa Ghazali hidup, Baldwin dari Bouillon diumumkan sebagai Raja di Masjid Umar di Yerusalem. Tapi yang lebih serius daripada musuh-musuh luar ini adalah perpecahan besar yang membelah Islam ke dalam dua golongan besar yang bertentangan, Syiah dan Sunni—sebuah perpecahan yang dipahitkan dan dirumitkan oleh pergulatan dinasti-dinasti yang saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan. Sementara kaum Syiah merata di Mesir dan Persia, bangsa Turki dan Seljuk adalah Sunni. Di Baghdad, pusat Kekhalifahan di masa kekuasaan Al-Qasim ketika Ghazali muda, benturan-benturan fatal antara kedua faksi berlawanan adalah kejadian sehari-hari. Kota kelahiran Ghazali adalah Syiah, dan baru ketika Khurasan ditaklukkan oleh dinasti Ghaznawiyah dan dinasti Seljuk-lah ajaran Sunni merata di sana. Tapi, betapapun pahitnya kaum Syiah dan kaum Sunni saling bertentangan, mereka sama-sama dihitung sebagai ortodoks dan sependapat menyangkut prinsip-prinsip fundamental Islam, pun perselisihan mereka tidak membahayakan agama itu sendiri. Tapi di samping dua golongan Syiah dan Sunni ini, sekumpulan sekte-sekte bid’ah (digolongkan di bawah nama bersama, yakni Mu’tazilah) tumbuh di dalam Islam. Orang-orang bid’ah ini mempelajari filsafat Aristoteles dan Yunani dalam terjemahan-terjemahan bahasa Arab, dan untuk waktu lama kaum ortodoks hanya bisa menghardikkan laknat kepada mereka dan mencela semua spekulasi. Tapi akhirnya, Al-Asha’ari (mantan Mu’tazilah) meninggalkan bid’ah-bid’ahnya, dan berusaha membela ortodoksi dan membantah kaum bid’ah di atas landasan filosofis.
Kaum Mu’tazilah membudayakan studi filsafat dengan kegairahan istimewa, dan karenanya pergulatan dengan mereka berlangsung sengit, dirumitkan oleh permusuhan politik. Sekte paling berbahaya di antara semuanya adalah sekte Ismailiyah dan Assassin, dengan doktrin mereka berupa Imam atau pemimpin tersembunyi. Dalam beberapa karyanya, Ghazali memberi perhatian khusus untuk membantah sekte-sekte ini.
Seluruh aspek dan kondisi Islam semasa hidup Ghazali sedemikian buruk sampai-sampai menyebabkan kesusahan dan kegelisahan mendalam bagi Muslim saleh. Oleh karena itu, sudah sewajarnya seseorang yang menemukan ketenangan dan kedamaian Islam, setelah pencarian panjang dan sungguh-sungguh, mengarahkan semua energi karakter antusiasnya untuk melawan kekuatan-kekuatan destruktif ini sekuat-kuatnya. Ghazali tak pernah bosan menasehati orang-orang tak beriman untuk mempelajari wahyu Muhammad; dia membela agama secara filosofis dari para filsuf, menyangkal para ahli bid’ah, mencaci kelonggaran kaum Syiah, membela prinsip-prinsip ketat mazhab Syafi’i, memperjuangkan ortodoksi, dan terakhir, melalui perkataan dan teladan, mendorong para pembacanya ke arah mistikisme dan asketisme kaum Sufi. Tulisannya yang berlimpah semua diarahkan pada salah satu tujuan-tujuan ini. Sebagai pengakuan atas usaha-usahanya, Muslim menganugerahinya gelar “Hujjatul Islam”, “saksi Islam”.
Adalah fakta yang patut dicatat bahwa ketika kekuasaan para Khalifah hancur dan Islam sedang merosot, persis pada masa itu teologi dan semua ilmu lain sedang berkembang.
Penyebabnya dapat ditemukan dalam fakta bahwa hampir semua dinasti Muslim, betapapun mereka saling bertentangan, sangat menyukai sastra dan sains. Selain ini, jiwa-jiwa yang lebih tekun—lelah dengan kekacauan politik pada masa itu—mencurahkan diri semakin kuat pada pembinaan kehidupan batin, di mana mereka mencari kepuasan dan pengungsian dari distraksi lahiriah. Ghazali adalah sosok paling mencolok di antara mereka ini. Riwayat awalnya tidak banyak diketahui. Ayahnya konon meninggal saat dia kanak-kanak, tapi dia memiliki seorang saudara, Abu al-Futuh Ahmed Alghazali, yang sangat disukai oleh Sultan Malik Shah dan berkat gairahnya untuk Islam mendapat gelar “Kejayaan Agama”. Dari kemiripan pencarian mereka, kita simpulkan hubungan di antara kakak-beradik ini pasti erat. Sejarawan Ibnu Khallikan memberitahu kita bahwa di kemudian hari Abu al-Futuh meneruskan kakaknya sebagai guru besar, dan mempersingkat karya sastranya yang paling penting, “Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama” (Ihya Ulumuddin). Semasa masih muda, Ghazali belajar teologi di Zarzan di bawah Imam Abu Nasr Ismail. Dalam perjalanan pulangnya dari Zarzan ke Tus, dia konon jatuh ke tangan para perampok. Mereka mengambil semua barang miliknya, tapi, karena permohonannya yang sungguh-sungguh, mengembalikan buku catatannya, seraya mengatakan bahwa sebetulnya dia tidak tahu apa-apa jika pengetahuannya bisa dirampas dengan begitu mudah. Ini membuatnya memutuskan untuk mempelajari segalanya dengan hafalan.
Judul asli | : | Al Ghazzali<i=1n1pu68jn6mI8cgiNmHzBN5VmHqVq4KvF 300KB>Al Ghazzali (1910) |
Pengarang | : | Claud Field |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2024 |
Genre | : | Sejarah |
Kategori | : | Nonfiksi, Biografi |