Dalam langkah selanjutnya dari proses tersebut, gagasan yang dibangunkan dengan cara itu mempersonifikasi objeknya, dan memberinya nama; Personifikasi ini, mulanya samar dan fana, pada akhirnya menjadi jelas dan tetap.
Dalam sebuah resensi terhadap “Ecce Homo” pada saat buku tersebut pertama kali diterbitkan tahun 1868, Tn. Gladstone berbicara tentang inkarnasi Kristen dan menjustifikasi kecocokannya dengan kebenaran dan nalar, dan menggambarkan maksudnya dengan berkata: “Mitologi tua Yunani, yang membuang penyembahan elemen-elemen [alam] ke kanan dan penyembahan hewan ke kiri, secara jasmani memiliki tokoh sentral yaitu tiada lain ide yang hendak Warta Rahayu bangkitkan secara rohani: yakni apa yang dinamakan antropomorfisme, atau pemanusiaan dewa-dewa/tuhan-tuhannya, beserta imbangan yang sama mapannya yaitu pendewaan/penuhanan pahlawan-pahlawannya.” Mengakui kebenaran umum yang dinyatakan di sini, dan juga bahwa orang akan ragu untuk mengkritik apa yang Tn. Gladstone katakan, tetap saja sudah sewajarnya menjadi pertanyaan apakah dalam kalimat yang dikutip barusan dia memakai bahasa dengan cukup tepat. Apakah tidak terlalu berlebihan menyebut antropomorfisme mitologi Yunani, atau mitologi lain manapun, adalah “tiada lain ide yang Warta Rahayu hendak bangkitkan secara Kristen”.
Namun, dalam kalimat sesudahnya, sang cendekiawan dan negarawan Inggris mengusulkan apa itu prinsip kesepadanan hakiki, jika bukan keserupaan seratus persen, dalam kasus-kasus yang diduga tersebut. “Persatuan erat,” katanya, “dua dunia dan dua fitrah ini telah menyediakan untuk para penyair Yunani bagian utama bahan-bahan mereka, dan telah menjadi prinsip yang mengilhami seni Yunani.” “Persatuan erat dua dunia dan dua fitrah” tersebut, meski bermanfaat (sebagaimana kita tahu) untuk maksud-maksud paling tinggi yaitu syair dan seni, bukan cuma bagi bangsa Yunani tapi juga semua bangsa berbudaya, merupakan bagian dari agama pula, dan bahkan ekspresi pertama dan orisinilnya ada di situ. Bahkan, adalah fitrah dan niat agama untuk mendekatkan Tuhan kepada manusia dan untuk membantu manusia memperoleh suatu konsepsi jelas tentang Entitas yang diajarkannya untuk disembah. Selubung tak kasat mata, yang bergelantung antara jiwa manusia dan objek pemujaan dan pelayanan ilahinya, tentu saja esensial dengan caranya sendiri bagi tujuan-tujuan tertinggi agama; dan tetap saja, tujuan-tujuan ini sendiri akan dikalahkan jika selubung itu sedemikian rupa sehingga semua yang menyangkut dunia spiritual dan Tuhan sendiri tersembunyi secara absolut. Ide agnostik dalam agama menjadikan agama mustahil. Oleh karenanya, tanpa mengurangi secara esensial penghakiman pantas yang kita jatuhkan pada antropomorfisme-antropomorfisme paganisme kasar dan seringkali amoral itu, kita sepenuhnya patut mengakui kebenaran di dalam mereka, dan bahkan kenyataan di dalam mereka, betapapun mereka palsu dan menyakitkan. Orang mungkin akan berkata bahwa mereka tidak dapat dihindari, karena dibentuk sebagaimana manusia. Manusia pasti bakal merepresentasikan kepada dirinya sendiri tuhannya dengan suatu cara yang kasat mata, mungkin suatu cara yang manusiawi, sepasti dia bakal mengenali tuhan apapun sama sekali.
Maka mungkinkah untuk melacak asal-muasal beberapa manifestasi mencolok dari tendensi ini sebagaimana terlihat dalam agama-agama mitologis? Bisakah kita katakan bahwa apa yang akhirnya tampak sebagai inkarnasi, setidaknya dalam pengertian mitikal, bagaimanapun juga pada awalnya merupakan, dalam beberapa mitologi utama, personifikasi? Prof. Blackie, dalam sebuah catatan untuk terjemahannya atas Iliad, berbicara tentang personifikasi-personifikasi semisal Tidur, Mati, Mimpi, dan Rumor, yang mudah diingat oleh para pembaca Iliad ataupun Æneid: “Personifikasi-personifikasi ini menempatkan ke depan mata kita proses hidup yang dengannya semua mitologi dihasilkan.” Rupanya dia hendak mengatakan bahwa dewa-dewa di panteon apapun, entah Yunani, Romawi, Fenisia, Mesir, atau Arya, pada awalnya merupakan personifikasi, perlambangan (dalam banyak kasus, boleh jadi dalam semua kasus) dari kekuatan-kekuatan atau fenomena-fenomena alam, atau ide-ide yang disiratkan oleh kekuatan atau fenomena tersebut, yang mungkin paling pertama memalingkan pikiran manusia dari gagasan yang benar akan Tuhan. Jadi, jika objek sembahan yang dalam keyakinan Vedik kuno memiliki nama Dyaus, dalam agama Yunani menjadi Zeus, dan dalam penyembahan Latin menjadi Jove, adalah langit luas cerah, yang secara redup dipandang sebagai simbol kedaulatan maha luas, simbol naungan dan perlindungan, maka hampir tidak mungkin bahwa penyembahan langit atau ide abstrak yang terlibat di dalamnya bakal tetap dalam keadaan mentahnya yang asli. Alih-alih, gagasan yang diperlambangkan dari perlindungan, supremasi, kedaulatan yang disiratkan tersebut akan, dalam operasi alami pemikiran dan keyakinan manusia, memangku suatu macam wujud persona; karenanya dipersonifikasi. Tapi proses itu tidak berhenti di situ. Dyaus atau Varuna bagi bangsa Arya, Zeus bagi bangsa Yunani, dan Jove bagi bangsa Romawi menjadi personalitas aktual, dalam wujud manusia tapi dengan atribut-atribut ilahi. Begitu pula dengan dewa-dewa lain, yang mulanya dipersonifikasi sebagai perlambangan ide-ide yang disiratkan oleh fenomena-fenomena alam, tapi mendapatkan personalitas aktual dalam konsepsi si penyembah, seraya di sekeliling konsepsi ini tumbuh mitos, ibadah, ritual, ujung-ujungnya kultus terperinci.
Judul asli | : | Incarnations in Historical Religions<i=1SjOTjn8zmbMk8nikHEBBVcQ0Ovo3eJET 364KB>Incarnations in Historical Religions (1886) |
Pengarang | : | Justin A. Smith |
Penerbit | : | Relift Media, April 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |