Sosialisme Kebangsaan dan Katolik memegang pandangan serupa menyangkut permasalahan otoritas, organisasi, komunitas, disiplin, dan keadilan sosial. Ide “sosial” Nazisme dapat disamakan dengan “etika kemurahan Kristen, yang diterapkan pada komunitas politik”.
Banyak orang Nazi, gara-gara tradisi atau untuk tujuan taktis atau semata-mata karena kebingungan intelektual, masih berpegang pada Kristen dalam satu atau lain bentuk. Sebagai ganti Gentilisme anti-Kristen blak-blakan para komrad mereka yang lebih maju, mereka menganut amoralisme Pagan dan pemujaan Kekuatan dan Diri di bawah kedok Kristen yang kurang-lebih transparan. Penyalahgunaan demikian dimungkinkan oleh implikasi-implikasi keyakinan Kristen yang secara dangkal bisa diuraikan sebagai ekstase Pagan atau keduniawian murung. Upaya untuk mempaganisasi Kristen bisa bermula dari tiga poin dalam strukturnya. (1) Agama Kristen mendapatkan rasa jijik dari Yudaisme (sebuah komunitas kebangsaan dengan privilese keagamaan) terhadap komunitas sedunia, yang berarti, terhadap “para Gentil/Non-Yahudi” secara umum. Kepada poin ini bisa dibubuhkan ide nista bahwa Kristen bermaksud mengkonfirmasi dan merehabilitasi beberapa bentuk devosi dan moral “kebangsaan”, “etnis/kesukuan”, “lokal” alih-alih “Monisme intoleran” bentuk Yahudi. Kristennya “para Gentil” berpendapat semua bangsa kecuali Yahudi adalah “pilihan”; ini hanya bisa dibayangkan jika setiap ras berlagak sebagai yang terpilih kepada anggota-anggotanya sendiri. Sebagaimana kita lihat, komunitas Yahudi adalah contoh swa-kontradiktif luar biasa akan sebuah Suku anti-kesukuan, nukleus sempit tak manusiawi dari sebuah universalisme berperikemanusiaan masa depan; sedangkan Kristen datang betul-betul untuk menciptakan umat manusia sebagai sebuah kesatuan dalam kasih Tuhan, diperintah oleh keadilan dan nalar-Nya. Tapi para penyintas dan nabi-nabi baru Gentilisme bertekad memberikan makna berbeda, bahkan berseberangan, pada penelantaran Jahvisme/Jehovisme: perselisihan dan ketegangan internal mistik Suku anti-kesukuan tersebut harus menghilang demi pemulihan besar-besaran tribalisme musyrik yang tak terusik di seluruh dunia. Kristus, sebagaimana segera diusulkan oleh beberapa orang Gnostik, datang bukan untuk mendamaikan dan menyesuaikan semua bangsa-bangsa dengan Satu Tuhan Penciptaan dan Hukum Moral, tapi untuk menyelamatkan mereka dari tekanan tuntutan-tuntutan dan pretensi-pretensi-Nya. Garis ini diambil terutama oleh para penulis berakar Lutheran, tapi kadang juga oleh orang-orang yang menyebut diri mereka Katolik. Secara kebetulan, penyimpangan yang lebih rentan ditempuh oleh para Calvinis terdapat dalam tuntutan mereka (untuk bangsa mereka sendiri) akan privilese sebuah “ras pilihan”, bukan dalam pengertian Pagan tapi dalam pengertian moral monoteistik Yahudi, dan terdapat dalam memandang bangsa lain sebagai “Gentil” dan “keturunan rendah tak ber-Hukum”, mengutip “Recessional”-nya Kipling. (2) Paralel dengan penelantaran Suku suci dan bermoralnya Tuhan sendiri (bangsa tanpa raja yang diperintah oleh Hukum ilahi), Kristen juga memperkenalkan kode moral yang diubah parsial: kurang kaku dan yuridis, kurang picik dan angkuh, lebih sadar akan keserbaragaman dan saling ketergantungan nilai-nilai, dilonggarkan dari tradisi-tradisi historis dan ritual sebuah komunitas lokal, dan terutama kurang mudah diterapkan dalam hal “pengerjaan tepat” dan “pelanggaran”. Di beberapa cabang pemikiran Kristen, khususnya dalam Lutheranisme, penyempurnaan moralitas ini telah menjadi kurang-lebih terdistorsi ke dalam penegasiannya. Tak ada hukum perilaku moral, tak ada kanon “kebaikan” objektif, yang dihargai; yang tersisa hanya “iman belaka kepada Juru Selamat”, atau keputusan berdaulat hati nurani masing-masing, atau—dan ini poin penting—kompetensi moral berdaulat dari otoritas sekuler sebagai pengganti dan sarana untuk kebutuhan praktis manusia, manusia yang eksistensi duniawinya tanpa kecuali dan secara permanen dinodai dengan dosa dan harus dijalankan sesuai itu. Jalan kembali ke Paganisme ini tentu saja disediakan untuk orang-orang Protestan, yang konsepsinya tentang Gereja terombang-ambing antaran gagasan komunitas jiwa-jiwa yang tak diorganisir, tidak jelas, murni spiritual, dan gagasan badan sosial yang ditakdirkan untuk menjamin pelaksanaan otoritas untuk para Pangeran dan Squire. (3) Terakhir, ada beberapa mata rantai masyhur antara Kristen, terutama sebagai sebuah Gereja terorganisir dengan kekuasaan mapan dan kepentingan properti, dan sebuah sikap konservatif dalam politik, yang mungkin bahkan berujung pada kerjasama diam-diam antara cabang-cabang opini Kristen tertentu dan sebuah Negara Fasis Totaliter. Apa yang kita pikirkan adalah (a) ketegangan antara penekanan religius pada penyelamatan transenden (yang bersangkutpaut dengan kepasrahan tenang kepada kondisi-kondisi duniawi dan perbaikannya) dan semangat kemajuan sosial (selalu dicurigai berkeinginan membangun kerajaan Tuhan “di bumi”); (b) prinsip kependetaan sebuah otoritas mapan, yang nyata dan digabungkan ke dalam sebuah sistem kekuasaan duniawi, dan menuntut untuk memerintah tanpa pengawasan dan tanpa kritik “dari bawah”; (c) konsepsi zaman pertengahan akan masyarakat sebagai sebuah struktur “korporasi-korporasi” di mana individu disubordinasikan kepada “Kesatuan”. Poin-poin penghubung ini lebih menarik akal Katolik ketimbang akal Protestan; pun tidak bisa diingkari bahwa Gereja Katolik secara umum telah menunjukkan kecenderungan yang sangat besar untuk berhubungan gelap dengan absolutisme monarkis, dengan aristokrasi sosial, dan baru-baru ini bahkan dengan fasisme totaliter. Namun, juga sudah cukup sering terlihat—khususnya dalam kasus fasisme totaliter—bahwa aliansi ini memiliki hawa gencatan senjata temporer, kompromi luaran, barangkali bahkan ambiguitas. Kristen Katolik, betapapun ia mencela rencana-rencana subversif atau Utopis Kaum Kiri, juga sewajarnya tergerak untuk menentang kecampuradukan antara kekuasaan dan otoritas sekuler dan ilahi, selain untuk menegakkan standar moral yang dengannya semua jenis kekuasaan sosial dinilai. Tapi jika Katolik konservatif memiliki sisi-sisi problematisnya, jika Katolik fasis bersusah-payah di bawah perpecahan internal tak terobati, maka sudah pasti Katolik Nazi adalah sebuah anomali paradoks dari kreasinya dan, pada saat ini, sebuah tontonan paling memilukan, terkatung-katung di antara ombak-ombak Kulturkampf bergemuruh yang menyebar ke seluruh Kekaisaran Ketiga.
Houston Stewart Chamberlain adalah sponsor modern pertama sebuah Kristen “Arya” terpaganisasi ulang yang dibersihkan dari konstituen-konstituen Yahudi-nya. Dia berpandangan bahwa Kristen melambangkan perpaduan dua material yang secara fundamental berlainan: di satu sisi, “mitologi simbolis dan metafisik Indo-Eropa”; di sisi lain, “kepercayaan Yahudi berlandaskan sejarah dan kronologi”, yang dianut oleh “spekulasi-spekulasi chaos bangsa-bangsa tanpa ras dan tak beragama” pada masa perjalanan evolusi dogmatika Gereja. Mengingat Chamberlain tidak mau mengakui semua definisi dogmatis dan—boleh dibilang—yuridis, sulit untuk memastikan seperti apa “Kristen” yang diadaptasi dengan seleranya; jika mempertimbangkan semuanya, kita dapat menduga bahwa itu sederhananya berarti sebuah mitologi Teutonik yang dibangkitkan, dilebur dengan aspek-aspek reaksioner Kristendom zaman pertengahan dan zaman romantis, dan dibuat agak samar dan jinak dengan (sampai taraf tertentu) tetap sejalan dengan tradisi-tradisi estetik peradaban barat. Sebab Chamberlain, sang William II-nya ranah spiritual, hingga kini merupakan seorang peramal Paganisme baru yang waspada dan meraba-raba, seorang bentara barbarisme bangkit yang malu-malu dan tak yakin. Sebuah studi oleh Blüher menampakkan corak-corak yang lebih menyilaukan. Kristen, sebuah petualangan aristokratis indah selama ia terbatasi oleh penampilan dan efek personal Kristus, “sejak awal dikorupsi oleh Ras Sekunder dan dipalsukan oleh sisa-sisa Yudaisme yang darinya ia timbul”. Sebab ia terus memahami Wahyu dalam pengertian Yahudi sebagai sebuah kontrak dengan Jahveh (terlepas dari adanya pelunakan dan komplikasi), dan ia mengindahkan apresiasi keagamaan terhadap moralitas, ketimbang keagungan magik murni, yang mencakup perhatian kepada kesejahteraan duniawi. Kristen tercegah dari menjadi sebuah agama keselamatan sejati, sebab ia menolak bercerai dari konsepsi Yahudi akan sebuah agama keadilan, sebuah agama yang cocok dengan banyak kebenaran parsial tapi tentu saja menyimpangkan dari “kebenaran menyembuhkan”. Ini hanya bisa hinggap di sebuah medan yang dibersihkan dari bid’ah-bid’ah kehendak bebas, ganjaran moral, kompensasi rasional, dll. Moralitas kemurahan Kristen ortodoks juga sepenuhnya tidak Kristen dalam pengertian asli. Kemurahan mungkin ciri personal Kristus, seperti halnya kekejaman dalam kesempatan lain (pengkhianatan Yudas tidak hanya diramalkan tapi sebetulnya diilhami oleh Kristus sendiri; dengan pilihannya sendiri, dia memilih Yudas untuk menjadi pengkhianat); doktrinnya tak pernah berupa kemurahan, tapi hanya kerja sembarang substansi ilahi dalam keturunan mulia manusia. “Hukum kemurahan” dulu dan sekarang masih merupakan doktrin Yahudi; ketika Kristus mengatakan “Kasihi sesamamu”, dia tidak sedang menampakkan pandangannya sendiri tapi hanya mengulang prinsip gamblang Yahudi di bawah tekanan interogasi. Personalitasnya bebas seratus persen dari prasangka baik; dia tidak terpikir mengganjar kebaikan moral, dan penolakannya terhadap manusia pun sama sekali tidak diwarnai murka kejengkelan. Dia sudah pasti membela kasih, tapi hanya dalam pengertian Eros, sebagai nafsu penciptaan keturunan; apapun yang tidak dibutuhkan untuk permainan ilahi eksperimen visual yang sejalan dengan magik Alam, itu dikorbankan tanpa ragu. Sebagaimana kita simak, Blüher (yang mabuk oleh ide “nafsu penciptaan keturunan”), menciptakan—untuk kegunaannya sendiri—seorang Kristus yang mempersonifikasikan beberapa energi tak sadar dan redup manusia, yang menyandang ciri-ciri quasi-manusia seorang despot Timur dalam legenda, seorang Junker Prusia, dan seorang anak sadistik yang dilahirkan dari plutokrasi Amerika.
Sebagai penyembuhan, mari kita beralih ke renungan Gogarten yang lebih serius dan akademis mengenai kemenularan Keburukan yang menyehatkan. Kesalehan Lutheran berotot dari Profesor setengah Nazi ini dapat dirangkum dalam formula ringkas: adalah takdir kita untuk selamanya ditendang oleh iblis, dan itu setimpal untuk kita. Karya standarnya, “Etika Politik”, berawal sebagai “upaya untuk memahami keyakinan Kristen persis dari elemen-elemen anti-kemanusiaannya”. Nah, sudah pasti aku tidak termasuk orang-orang yang berpikir bahwa intisari Kristen sudah cukup diberikan dalam peringatan berikut, “Jangan kamu membunuh”; tapi menurutku kurang ada gunanya memadatkan Kristen menjadi kutukan lebih jahat, “Jangan kamu membunuh terlalu jarang”. Akan tetapi, sebetulnya, beberapa petikan dalam Gogarten hampir-hampir sebuah perwujudan religius keburukan, pokoknya keburukan riil, penuh dengki, tragis. Keburukan Absolut, yang bermakna komitmen diri intrinsik manusia untuk “dimiliki oleh dirinya sendiri”, persis sebagaimana Kebaikan absolut bermakna “perhambaan” sama-sama radikal kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya, adalah lebih disukai dibanding moralitas palsu nikmat kebajikan diri dalam kepatuhan kepada ajaran-ajaran “On” (das Man). Sebab Keburukan absolut mengimplikasikan setidaknya elemen formal dari komitmen diri riil yang sama-sama dimiliki oleh Kebaikan absolut. Maksimum Kebaikan yang bisa kita capai adalah mengakui penuh akan keburukan. Menaati hukum moral jenis apapun hanyalah berarti menyetujui moralitas palsu kesusilaan atau “jargon” sosial (Man-tut-das-und-das); sedangkan moralitas tulen Jangan kamu (“Thou shalt not”) ilahi, yang menyangkut eksistensi terdalam kita yang kontras dengan kegunaan atau ketidakenakan perilaku kita, hanya menuntut dari kita sebuah kesadaran dan pengakuan tulus akan keburukan. Berdasarkan ini, upaya apapun untuk “mengatasi keburukan dalam diri kita” tampak tidak mungkin, sebab itu akan “bertentangan dengan fitrah moral manusia”. Semua perjuangan untuk kesempurnaan etika adalah tanpa makna. Hanya ada satu fenomena etis sejati: kesadaran akan keburukan, akan fakta bahwa manusia dalam realitasnya, manusia sebagai “benar-benar dirinya”, adalah buruk. Hanya ada masalah moral untuk manusia karena dia buruk. (Aku sebaiknya mengatakan, sebagai sebuah koreksi kecil, yang membuat banyak perbedaan, “karena dia mungkin buruk, dan, karenanya, mungkin dan diseru untuk menjadi baik.”) Masalah moral, lanjut Gogarten, akan lenyap “kecuali jika Keburukan ‘ada’ untuk manusia, dan dengan kata lain, kecuali jika manusia sendiri adalah buruk”. Sebagaimana kita simak, kesimpulan yang diindikasikan dalam kata-kata “dan dengan kata lain” mengandung perluasan yang betul-betul sembarang, bahkan falasi mencolok. Sofistri ini mungkin tidak dimaksudkan untuk menyemangati atau menghibur para pelaku keburukan, mengingat bahwa hukuman berat disediakan untuk mereka oleh otoritas publik. Tapi hukuman itu adalah sebuah pengakuan ketimbang penghapusan keburukan; itu sendiri merupakan bagian dari “tatanan dosa” dan berfungsi menjadikan tatanan tersebut dapat dipikul secara praktek, selain berfungsi mengingatkannya kepada pikiran semua orang. Oleh karenanya, perilaku amoral memang didorong dan dalam arti tertentu dijustifikasi, sejauh itu dikecualikan dari tatanan konkret atau pembalasan hukum demikian; kedua amoralitas yang bukan pelanggaran pidana dan (lebih penting lagi) juga bukan ketidakadilan dan kejahatan oleh otoritas negara termasuk ke dalam kategori ini. Keburukan mereka adalah “kebaikan”; itu merupakan bagian dari keburukan universal manusia yang ditakdirkan untuk membantu mengawasi manifestasi-manifestasi umum keburukan tapi tidak butuh diawasi. Sebab keburukan secara intrinsik tidak buruk; itu hanya butuh pembersihan nama baik secara parsial demi penuntasannya sendiri.
Judul asli | : | Christianity Heathenized<i=1rkb0vcJmH2ItBAYd00AWISqntBbAJ6KS 370KB>Christianity Heathenized (1938) |
Pengarang | : | Aurel Thomas Kolnai |
Penerbit | : | Relift Media, April 2024 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |