Apakah yang kita maksud dengan manusia adalah kesadaran diri, sadar akan identitasnya sendiri dan akan perbedaan identitas dari semua entitas spiritual lain, dan akan keterbatasan pengetahuan dan kekuatan yang merupakan sifat dari daging manusia?
Artikel-artikel karangan Profesor Warfield, “The Two Natures” (“Dua Fitrah”) dan “Recent Christological Speculation” (“Spekulasi Kristologis Terkini”), dalam American Journal of Theology edisi Juli dan Oktober 1911, mengangkat lagi pertanyaan-pertanyaan lama, tapi pertanyaan-pertanyaan yang harus dipertimbangkan sekali lagi jika isinya memiliki arti bagi akal yang akrab dengan psikologi dan ilmu-ilmu lain masa kini. Dalam artikel-artikel tersebut Profesor Warfield berbicara agak serius tentang “sesederhana hipotesis dua fitrah” dan mengatakan “itu hadir kepada kita bukan sebagai pembuat tapi sebagai pemecah kesukaran-kesukaran”. Penulis tidak mengakui tesis Warfield, “Tak ada dua fitrah, berarti tak ada inkarnasi; tak ada inkarnasi, berarti tak ada Kristen dalam arti khusus apapun,” tapi jika sampai harus memilih antara mengajarkan kebenaran dan membuang ide Kristen sebagai khusus, dia lebih memilih yang kesatu. Itu terasa lebih selaras dengan kehendak Tuhan, semangat Kristus, dan kebaikan umat manusia.
Definisi-definisi kata “misteri” yang diberikan dalam Standard Dictionary, adalah: “Sesuatu yang sifat/hakikatnya tidak diketahui atau tak bisa dipahami; hal yang tetap tersembunyi atau sangat samar dan karenanya membangkitkan kekaguman atau keheranan; sebuah fenomena yang tak terjelaskan atau tak bisa dijelaskan.” Barangkali definisi kesatu dan ketiga lumayan mengekspresikan apa yang umumnya dimaksud oleh para cendekiawan dalam menyebut inkarnasi sebagai misteri. Itu sesuatu yang tidak diketahui atau tak bisa dipahami, tak terjelaskan atau tak bisa dijelaskan. Kata pengantar untuk Philosophy of the Christian Religion-nya Fairbairn membahas secara menarik misteri dalam agama dan khususnya misteri inkarnasi. Dalam sejarah agama dia menemukan dua jenis misteri, kesatu misteri Fitrah, yang menjadi semakin tak tertembus ketika diperiksa semakin seksama oleh nalar; dan kedua misteri seni, yang “menampakkan diri dalam keterampilannya dalam memadukan yang fantastik dengan yang riil, dan menenun tekstur dasar kehidupan dari yang mustahil”. Dia lantas mengilustrasikan dan menganalisa dua jenis misteri ini, kesatu, misteri yang tetap tak bisa dijelaskan karena nalar tidak bisa pergi cukup jauh, dan kedua, misteri yang tetap tak bisa dijelaskan karena itu mustahil atau melibatkan kontradiksi. Dia mendapati inkarnasi tergolong kepada varietas kesatu.
Bahwa orang beriman tidak bisa menyelaraskan beraneka fase kepercayaannya secara lengkap, atau menunjukkan relasi tepat kepercayaannya dengan fakta-fakta pengalaman lazim, bahwa orang beriman tidak bisa melakukan itu bukanlah argumen kontra keimanan pada Tuhan. Namun, adalah argumen kontra bentuk kepercayaan jika itu melibatkan elemen-elemen yang saling kontradiktif. Kita tidak bisa menuntut seorang teolog agar memberi kita konsepsi jelas dan memadai tentang Tuhan, kekuatan-Nya, dan pengetahuan-Nya, mode eksistensi-Nya dan mode operasi-Nya. Jika Tuhan adalah ananta dan manusia adalah anta, maka manusia tidak akan mampu memahami Tuhan secara lengkap. Namun, kita punya hak untuk menuntut seorang teolog agar mendefinisikan kata-kata yang dia pakai untuk mendeskripsikan Tuhan dan karya-karya-Nya, dan agar deskripsi yang dia berikan tidak melibatkan kontradiksi-kontradiksi nyata. “Misteri” adalah nama yang selalu diberikan pada kontradiksi dalam agama oleh orang yang ingin membelanya sebagai kredibel dan benar, tapi tentu seorang teolog ilmiah masa kini tidak bisa membiarkan dirinya kembali ke metode-metode skolastik semacam itu.
Oleh karenanya, demi kepentingan kebenaran, kami ingin menyatakan beberapa pertanyaan terkait doktrin tradisional inkarnasi, dan menyelidiki apakah definisi yang wajar untuk pengertian item-item kepercayaan akan melibatkan misteri riil atau kontradiksi nyata.
Tentu saja, doktrin inkarnasi tidak bisa dipisahkan dari doktrin Tuhan, dan jika kita sedang menegaskan identitas oknum/persona, atau personalitas atau fitrah, kita perlu mendefinisikan istilah-istilah tersebut jika mereka memiliki arti sama sekali. Kita berasumsi bahwa si teolog Kristen adalah monoteistis, dan bahwa trinitarianisme dan Kristologi-nya harus selaras dengan monoteismenya, dengan kata lain monoteisme dan Kristologi tidak boleh saling kontradiktif. Kita juga berasumsi bahwa monoteisme ini teistik, yakni bahwa itu adalah doktrin satu Tuhan personal. Tidak ada keraguan bahwa banyak sekali orang Kristen meyakini tiga tuhan, yang melalui suatu “misteri” adalah satu, dan menganggap bahwa diri mereka sangat “ortodoks” dalam meyakini demikian. Akan tetapi, seorang teolog harus mampu mendefinisikan trinitarianismenya untuk menjaga monoteismenya, dan teismenya, karena dia berusaha ilmiah.
1. Oleh karenanya, pertanyaan pertama berkenaan dengan doktrin personalitas Tuhan. Apa yang dimaksud dengan perkataan bahwa Tuhan adalah satu oknum/persona? Tentu kita tidak perlu menunjukkan fakta familiar bahwa ketika si teolog cerdas menyebut Tuhan sebagai “subsis/eksis dalam tiga persona”, dia tidak memakai kata persona dalam pengertian bahasa Inggris biasa, tidak pula dalam pengertian yang sama di mana dia memakai ide persona dalam menyebutkan personalitas Tuhan. Pertanyaan kita sekarang adalah, “Apa yang kita maksud dengan doktrin personalitas Tuhan? Seberapa jauh kata personalitas, ketika diterapkan pada Tuhan, akan didefinisikan sebagaimana dipakai sehubungan dengan manusia? Apakah yang kita maksud adalah kesadaran diri terpadu, di mana pikiran dan perasaan hadir, dan di mana apa yang bukan diri bisa dibedakan dari diri? Apakah Tuhan adalah entitas yang sadar akan identitas personal-Nya sebagai berbeda dari semua entitas spiritual lain manapun? Menurut pengetahuan, pikiran, dan maksud-Nya, adakah kesatuan sedemikian rupa sehingga Dia membedakan itu dari pengetahuan, pikiran, dan maksud setiap entitas personal lain, besar ataupun kecil, kuat ataupun lemah, betapapun miripnya pengetahuan, pikiran, dan maksud personalitas-personalitas lain itu dengan pengetahuan, pikiran, dan maksud-Nya sendiri? Apakah Tuhan satu dan personal sedemikian rupa sehingga meniadakan ide bahwa terdapat satu kesadaran diri lengkap secara intrinsik, yang mempunyai sikap tertentu terhadap manusia, misalnya sikap tekad untuk memberikan keadilan tepat kepada semua manusia, dan satu kesadaran diri lengkap lainnya (dengan kata lain setidaknya selengkap seperti yang kita ketahui dalam manusia manapun) yang mempunyai sikap agak berbeda terhadap manusia, lebih pengasih—kurang keras—dan bahwa kedua kesadaran diri ini beserta sikap-sikap berbeda terhadap manusia adalah Tuhan yang satu atau sekaligus komponen-komponen dari Tuhan yang satu? Tentu saja kita tahu Katolik Roma dan lain-lain memegang ide-ide Tuhan demikian (misalnya bahwa “Putera” lebih pengasih terhadap manusia dibanding “Bapak”), tapi kita percaya para teolog Protestan bakal menganggap itu tak konsisten dengan monoteisme. Kendati kita tidak bisa memahami Tuhan, tentunya kita dibenarkan dalam meminta definisi apa yang kita maksud dengan menyebut Tuhan sebagai personal dan satu dalam beberapa istilah seperti ini! Dengan penjelasan-penjelasan ini, kita dapat menyatakan lagi pertanyaan pertama kita sebagai berikut: A. Apakah kepercayaan pada satu Tuhan personal berarti kepercayaan pada satu kesadaran diri, sadar akan pikiran dan maksud, dan akan perbedaan identitas dari semua personalitas atau kesadaran diri lainnya? Kita menduga jawaban si teolog Kristen terhadap pertanyaan ini akan berupa “ya”, dan kita berharap bahwa jika itu dijawab sebaliknya, perbedaan konsepsi akan dijelaskan.
2. Pertanyaan kedua yang jawabannya harus diberikan, jika konsepsi inkarnasi hendak dibuat cukup definit untuk pertimbangan ilmiah, berkenaan dengan arti kemanusiaan. Apa itu manusia? Dan sebelum meminta definisi, kita mesti mempertimbangkan maksud yang menjadi pertimbangan untuk pendefinisiannya. Teologi ortodoks tak pernah mengakui hak kita untuk bertanya apapun tentang kemanusiaan riil dan tulen Yesus, sebab itu perlu untuk doktrin-doktrin lain, khususnya doktrin penebusan. Kita tahu teorinya Anselm yang, dalam mempertimbangkan kemanusiaan Yesus, menganggap perlunya seorang anak-cucu Adam, dan anggota riil ras manusia, menderita demi dosa ras, sebagai satu-satunya kemungkinan alasan pengampunan ras manusia. Dan kita tahu teorinya Presiden Mackenzie bahwa “esensi tindakan agung itu [yakni inkarnasi] terletak dalam ini... bahwa Diri Abadi bersedia merasakan pengalaman manusia dari sisi manusia, bersedia mengetahuinya sebab hanya roh manusia ciptaan, dependen, tumbuh, bersusah-payah, dan meraih yang bisa mengetahuinya.” Dan kita tahu berbagai teori lain, tapi semuanya mensyaratkan manusia tulen, dengan kata lain, manusia yang seperti manusia-manusia lain secara esensi. Doktrin Yesus sebagai contoh sempurna dan tipe kemanusiaan yang disempurnakan mensyaratkan konsepsi ini pula. Dia harus “terjamah oleh perasaan kelemahan-kelemahan kita” dan “dicoba dalam semua hal seperti kita” jika dia hendak menjadi model/teladan kita dalam arti yang sebenarnya.
Maka kita menanyakan pertanyaan utama kedua kita berkenaan dengan arti kemanusiaan: B. Apakah yang kita maksud dengan manusia adalah kesadaran diri, sadar akan identitasnya sendiri dan akan perbedaan identitas dari semua entitas spiritual lain, dan akan keterbatasan pengetahuan dan kekuatan yang merupakan sifat dari daging manusia? Profesor Warfield dalam artikel kedua mengatakan dengan baik bahwa kita tidak bisa memakai ide mulitipel personalitas, sebagaimana yang kita jumpai pada manusia-manusia abnormal dalam investigasi-investigasi psikologis mutakhir, untuk menjelaskan personalitas Yesus. Dia pasti manusia normal, dan pasti memiliki kesadaran terpadu, bukan kesadaran bergonta-ganti. Kita tidak melihat kemungkinan selain memberi jawaban “ya” untuk pertanyaan ini, jika yang kita maksud dengan kemanusiaan adalah hal tersebut ketika berbicara tentang inkarnasi dalam menyebutkan manusia waras sehat manapun selain Yesus. Jika ada perbedaan opini di sini, tolong kemukakan dan pertahankan.
Judul asli | : | Is the “Two-Nature” Theory of the Incarnation a Mystery or a Contradiction?<i=1S6M1SRfS3G2usQCiO9wdPtyHG2Oa_ORl 382KB>Is the “Two-Nature” Theory of the Incarnation a Mystery or a Contradiction? (1912) |
Pengarang | : | E. Albert Cook |
Penerbit | : | Relift Media, April 2024 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |