Jika penafsiran kita atas istilah Ketuhanan, atau θεότης, adalah penafsiran yang benar, dan hal-hal yang terlihat konon dilihat, atau θεατά, dan apa yang melihat mereka dinamakan θεός, atau Tuhan, maka tak satupun dari Persona-persona dalam Trinitas bisa dikecualikan dari sebutan itu.
Wahai kau yang kuat dengan segala kekuatan dalam manusia batin semestinya patut menjalankan perjuangan melawan musuh-musuh kebenaran, dan tidak surut dari tugas itu, agar kami para bapak digembirakan oleh kerja keras mulia putera-putera kami; sebab ini adalah dorongan hukum alam; tapi karena kau memutar barisanmu, dan mengirim terhadap kami serangan anak-anak panah yang dilemparkan oleh lawan-lawan kebenaran, dan meminta agar “bara api panas” mereka dan anak-anak panah mereka yang ditajamkan oleh pengetahuan palsu dipadamkan dengan perisai keimanan oleh kami para orang tua, kami menerima komandomu dan menjadikan diri kami contoh ketaatan, supaya kau sendiri memberi kami balasan setimpal atas komando-komando serupa, wahai Ablabius, prajurit mulia Kristus, jika kami sampai memanggilmu ke dalam pertempuran demikian.
Nyatanya, persoalan yang kau kemukakan kepada kami bukan persoalan kecil, dan akan menimbulkan kerugian yang tak kecil jika itu tak ditangani secara memadai. Sebab kekuatan persoalan itu sepintas memaksa kita untuk menerima salah satu dari dua pendapat keliru, dan untuk mengatakan “ada tiga Tuhan” (yang mana tidak sah) atau untuk mengakui Ketuhanan Putera dan Roh Kudus (yang mana mungkar dan rancu).
Argumen yang kau nyatakan adalah seperti ini: Petrus, Yakobus, dan Yohanes, dalam satu fitrah manusia, disebut tiga manusia; dan tidak ada kerancuan dalam mendeskripsikan orang-orang yang fitrahnya menyatu (jika mereka lebih dari satu) berdasarkan jumlah jamak nama yang diperoleh dari fitrah mereka. Maka, dalam kasus di atas, jika adat-kebiasaan mengakui ini, dan tak seorangpun melarang kita untuk menyebutkan orang-orang yang dua sebagai dua atau orang-orang yang lebih dari dua sebagai tiga, bagaimana bisa dalam kasus pernyataan misteri-misteri Keimanan kita, kendati mengkaulkan Tiga Persona dan tidak mengakui perbedaan fitrah di antara mereka, kita dalam arti tertentu berselisih dengan kaul kita, ketika kita mengatakan bahwa Ketuhanan Bapa, Putera, dan Roh Kudus adalah satu, tapi di saat yang sama melarang orang-orang mengatakan “ada tiga Tuhan”? Persoalan ini, seperti kubilang, sangat sulit diurus; tapi, jika kita bisa menemukan sesuatu yang dapat menopang ketidakpastian pikiran kita, agar tak lagi terombang-ambing dan ragu-ragu dalam dilema dahsyat ini, itu bagus; di sisi lain, sekalipun penalaran kita ternyata tak seimbang dengan masalah, kita harus selamanya mempertahankan, dengan kukuh dan tak bergeming, tradisi yang kita terima berturutan dari para bapa, dan meminta dari Tuhan nalar yang membela keimanan kita; dan jika ini ditemukan oleh siapapun di antara mereka yang dianugerahi rahmat, kita harus berterimakasih kepada-Nya yang melimpahkan rahmat itu; tapi jika tidak, kita tetap akan memegang keimanan kita tanpa dapat diubah, pada poin-poin yang sudah ditetapkan.
Lantas, apa alasannya bahwa ketika kita menghitung satu demi satu mereka yang dipertontonkan kepada kita dalam satu fitrah, kita biasanya menyebutkan mereka dalam bentuk jamak dan menyebut “begitu banyak orang”, alih-alih memanggil mereka semua satu; sementara dalam kasus fitrah Ilahi, definisi doktrinal kita menolak kemajemukan Tuhan-tuhan, menyebutkan satu persatu Persona-persona dan di saat yang sama tidak mengakui arti majemuk? Barangkali tepat jika seseorang mengatakan (bicara begitu saja kepada orang-orang polos) bahwa definisi ini menolak menghitung Tuhan-tuhan dalam suatu bilangan demi menghindari kemiripan dengan politeisme kaum pagan, kalau-kalau, jika kita juga menyebutkan satu persatu Tuhan, bukan dalam bentuk tunggal tapi jamak (seperti yang biasa mereka lakukan), akan disangka ada suatu himpunan doktrin juga. Jawaban ini, kukatakan, jika diberikan kepada kaum yang semangatnya lebih jujur, tampaknya akan memiliki suatu bobot; tapi dalam kasus orang-orang lain yang menuntut agar salah satu dari alternatif-alternatif yang mereka usulkan mesti ditegakkan (bahwa kita tidak semestinya mengakui Ketuhanan dalam Tiga Persona, atau bahwa, jika kita mengakuinya, kita semestinya menyebutkan persona-persona yang berbagi Ketuhanan sebagai tiga), jawaban ini tidak akan menyediakan pemecahan masalah. Dan karenanya kita perlu memberi jawaban kita secara panjang-lebar, menelusuri kebenaran sebaik yang kita bisa; sebab persoalan ini bukan persoalan biasa.
Maka, pertama-tama kita katakan bahwa praktek memanggil persona-persona yang fitrahnya tak terbagi dengan nama fitrah bersama mereka dalam bentuk jamak, dan menyebut mereka adalah “banyak orang”, merupakan penyalahgunaan bahasa yang biasa, dan bahwa sama saja dengan mengatakan mereka adalah “banyak fitrah insani”. Dan kebenaran perkataan ini dapat kita lihat dari contoh berikut. Ketika kita menyapa seseorang, kita tidak memanggilnya dengan nama fitrahnya (“manusia”—penj.), agar tak timbul kecampuradukan akibat persamaan nama tersebut, sebagaimana bakal terjadi jika setiap orang dari mereka yang mendengarnya berpikir bahwa dia sendiri adalah orang yang disapa, karena panggilan tersebut tidak dilakukan dengan sebutan sebenarnya tapi dengan nama umum fitrah mereka; tapi kita memisahkan dia dari orang banyak dengan menggunakan nama miliknya sendiri, maksudku nama yang berarti subjek tertentu. Dengan demikian ada banyak orang yang memiliki fitrah yang sama—banyak murid, atau rasul, atau martir—tapi manusia dalam mereka semua adalah satu; sebab, sebagaimana sudah dikatakan, istilah “manusia” tidak tergolong kepada fitrah individu sebagai manusia, tapi kepada apa yang umum. Luke adalah manusia, atau Stephen adalah manusia; tapi tidak berarti bahwa jika siapapun adalah manusia, maka dia adalah Luke atau Stephen; tapi ide persona-persona memperkenankan pemisahan yang dibuat oleh atribut-atribut khas yang dipertimbangkan pada masing-masing, dan ketika mereka dipadukan ditampilkan kepada kita melalui bilangan; tapi fitrah mereka adalah satu, menyatu dengan sendirinya, dan sebuah satuan yang sama sekali tak dapat dibagi, tidak bisa ditambah melalui penambahan atau dikurangi melalui pengurangan, tapi adalah satu dalam esensinya dan senantiasa tetap satu, tak bisa dipisahkan meskipun itu tampak jamak, berketerusan, lengkap, dan tidak dibagi dengan individu-individu yang berpartisipasi di dalamnya. Dan berhubung kita berbicara tentang sebuah kaum, atau sebuah gerombolan, atau sebuah balatentara, atau sebuah majelis dalam bentuk tunggal dalam setiap kasus, meski masing-masing dari ini dipahami sebagai jamak, maka menurut ekspresi yang lebih akurat, “manusia” akan dikatakan sebagai satu, kendati mereka yang ditampakkan kepada kita dalam fitrah yang sama menyusun kemajemukan. Dengan demikian, akan jauh lebih baik mengoreksi kebiasaan keliru kita, agar tak lagi memperluas nama fitrah menjadi majemuk, daripada (gara-gara keterikatan kita pada kebiasaan) memindahkan kekeliruan dalam kasus di atas ke pernyataan-pernyataan kita mengenai Tuhan. Tapi karena pengoreksian kebiasaan tidak dapat dilaksanakan (sebab bagaimana kau bisa membujuk siapapun untuk tidak menyebut persona-persona yang ditampakkan dalam fitrah yang sama sebagai “banyak orang”—bahkan dalam setiap kasus, kebiasaan adalah hal yang sulit diubah), sejauh ini kita tidak salah dalam berlawanan dengan kebiasaan yang berlaku dalam kasus fitrah lebih rendah, sebab tak ada kerugian dihasilkan dari penggunaan nama secara keliru; tapi dalam kasus pernyataan mengenai fitrah Ilahi, berbagai penggunaan istilah-istilah tidak lagi begitu bebas dari bahaya; sebab apa yang kurang penting tidak lagi kurang berarti dalam subjek-subjek ini. Oleh karenanya kita harus mengkaulkan satu Tuhan, menurut kesaksian Kitab Suci, “Dengarlah, hai Israel. Tuhan Allah-mu adalah Tuhan yang satu,” meskipun nama Ketuhanan meluas kepada Trinitas Kudus. Aku mengatakan ini menurut keterangan yang sudah kita sampaikan dalam kasus fitrah manusia, di mana kita sudah belajar bahwa tidak tepat memperluas nama fitrah dengan ciri kemajemukan. Namun, kita harus lebih hati-hati memeriksa nama “Ketuhanan”, dalam rangka memperoleh suatu pertolongan untuk menjernihkan persoalan di depan kita, melalui arti yang terlibat dalam kata tersebut.
Kebanyakan orang berpikir kata “Ketuhanan” dipakai dalam kadar khusus berkenaan dengan fitrah; dan sebagaimana langit, matahari, atau anggota alam semesta lainnya ditunjuk dengan nama diri yang berarti subjek-subjek tersebut, demikian pula mereka berkata bahwa dalam kasus fitrah Tertinggi dan Ilahi, kata “Ketuhanan” pas dengan apa yang direpresentasikannya kepada kita, sebagai semacam nama khusus. Kita, di sisi lain, mengikuti saran-saran Kitab Suci, telah belajar bahwa fitrah tidak bisa disebutkan namanya dan tidak bisa dikatakan, dan kita mengatakan bahwa setiap istilah yang diciptakan oleh kebiasaan manusia atau diwariskan kepada kita oleh Kitab Suci sebetulnya menjelaskan konsepsi-konsepsi kita akan Fitrah Ilahi, tapi tidak mencakup arti fitrah itu sendiri. Dan dapat ditunjukkan dengan mudah bahwa ini benar adanya. Sebab semua istilah lain yang digunakan pada ciptaan mungkin dapat diterapkan pada subjek-subjek secara tak sengaja, lantaran kita puas menunjuk benda-benda dengan kata yang diterapkan pada mereka untuk menghindari kecampuradukan dalam pengetahuan kita tentang benda-benda yang dinyatakan. Tapi semua istilah yang dipergunakan untuk menuntun kita kepada pengetahuan tentang Tuhan telah mengandung maknanya sendiri, dan kau tak bisa menemukan suatu kata di antara istilah-istilah yang diterapkan khusus pada Tuhan yang tak memiliki pengertian berbeda. Karenanya jelas bahwa dengan istilah apapun yang kita pakai, fitrah Ilahi itu sendiri tidak ternyatakan, tapi salah satu dari lingkungan-lingkungannya diberitahukan. Sebab kita katakan bahwa Tuhan tidak dapat rusak, atau berkuasa, atau apapun yang lain yang biasa kita katakan tentang-Nya. Tapi dalam setiap istilah ini kita menjumpai pengertian khas, pas untuk dipahami atau dinyatakan terkait fitrah Ilahi, tapi tidak mengekspresikan fitrah tersebut dalam esensinya. Sebab subjek tersebut, apapun itu, tidak dapat rusak; tapi konsepsi kita akan ketidak-dapat-rusakan adalah begini: bahwa apa yang tidak dapat rusak tidak larut ke dalam pembusukan; jadi ketika kita bilang Dia tidak dapat rusak, kita menyatakan apa fitrah-Nya yang tidak rusak, tapi kita tidak mengungkapkan apa itu yang tidak mengalami kerusakan. Jadi, sekali lagi, jika kita katakan Dia adalah Pemberi kehidupan, meski kita tunjukkan melalui sebutan tersebut apa yang Dia berikan, kita tidak menyatakan dengan kata tersebut apa itu yang memberikannya. Dan dengan penalaran yang sama kita menemukan bahwa semua hal lain yang dihasilkan dari arti yang terlibat dalam nama-nama yang mengekspresikan atribut-atribut Ilahi, menghalangi kita untuk mengkonsepsikan apa yang tidak semestinya kita konsepsikan tentang fitrah Ilahi, atau mengajari kita apa yang semestinya kita konsepsikan, tapi tidak mencakup penjelasan tentang fitrah itu sendiri. Maka, karena kita mengindera berbagai operasi kekuasaan di atas kita, kita membentuk sebutan-sebutan kita dari beberapa operasi yang kita ketahui, dan karena kita mengenali operasi pensurveyan dan penginspeksian, atau orang mungkin menyebutnya operasi pelihatan (di mana Dia mensurvey semua hal dan memandang mereka dari atas, mendeteksi pikiran kita, dan bahkan memasuki hal-hal tak kasat mata dengan daya kontemplasi-Nya), sebagai salah satu dari sebutan-sebutan ini, kita menyangka bahwa Ketuhanan (Godhead), atau θεότης, dinamakan demikian dari θέο, atau “melihat”, dan bahwa Dia yang merupakan θεοτής atau pelihat kita, karena kebiasaan penggunaan dan karena instruksi Kitab Suci, dinamakan θεός, atau Tuhan. Nah jika seseorang mengakui bahwa melihat dan mendeteksi adalah hal yang sama, dan bahwa Tuhan Yang mengawasi semua hal merupakan dan juga dinamakan pengawas semesta, biarlah Dia mempertimbangkan operasi ini dan menilai apakah itu milik salah satu dari Persona-persona yang kita imani dalam Trinitas Kudus, atau apakah kekuasaan tersebut meluas kepada Tiga Persona. Sebab jika penafsiran kita atas istilah Ketuhanan, atau θεότης, adalah penafsiran yang benar, dan hal-hal yang terlihat konon dilihat, atau θεατά, dan apa yang melihat mereka dinamakan θεός, atau Tuhan, maka tak satupun dari Persona-persona dalam Trinitas bisa dikecualikan dari sebutan itu atas dasar indera yang dilibatkan dalam kata tersebut. Sebab Kitab Suci mengatributkan aksi melihat kepada Bapa, Putera, dan Roh Kudus secara sama rata. Daud mengatakan, “Lihatlah, wahai Tuhan pelindung kami”; dan dari ini kita tahu bahwa penglihatan adalah operasi yang pantas dari ide Tuhan, sejauh Tuhan dikonsepsikan, karena dia berkata, “Lihatlah, wahai Tuhan.” Tapi Yesus juga melihat pikiran orang-orang yang menghukum-Nya, dan Dia bertanya mengapa, dengan kekuasaan-Nya sendiri, Dia mengampuni dosa-dosa manusia? sebab dikatakan, “Yesus, melihat pikiran mereka.” Dan perihal Roh Kudus juga, Petrus berkata kepada Ananias, “Mengapa Iblis memenuhi hatimu sehingga kamu berbohong kepada Roh Kudus?” ini menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah saksi yang benar, tahu apa yang Ananias berani lakukan diam-diam, dan yang melalui-Nya rahasia tersebut ditampakkan kepada Petrus. Sebab Ananias menjadi pencuri barang-barangnya sendiri, secara diam-diam, sebagaimana dia duga, dari semua manusia, dan menyembunyikan dosanya; tapi Roh Kudus di saat yang sama ada dalam Petrus dan mendeteksi niatnya, yang terseret turun kepada ketamakan, dan memberikan kepada Petrus dari Dia sendiri kemampuan untuk melihat rahasia, seraya jelas bahwa Dia tak mungkin melakukan ini seandainya Dia tidak bisa melihat hal-hal tersembunyi.
Judul asli | : |
On “Not Three Gods”, To Ablabius Περὶ του μὴ εἴναι τρεις Θεούς, προς Ἀβλάβιος<i=17yELv4HMPFkjAMCNIA63W89aodw-xGUR 643KB>On “Not Three Gods”, To Ablabius<br/> Περὶ του μὴ εἴναι τρεις Θεούς, προς Ἀβλάβιος (Abad 4) |
Pengarang | : | Gregory Nyssen |
Penerbit | : | Relift Media, Desember 2023 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Surat |