Monoteisme mau tak mau bersifat euhemeris dalam penaksirannya terhadap agama-agama mitologis. Tak paham akan divinisasi primitif kekuatan-kekuatan alam, yang merupakan sumber semua mitologi, ia hanya punya satu cara untuk memaknai konstruksi-konstruksi besar kejeniusan kuno ini.
Dengan tipe bahasa tertentunya sendiri, orang Semitik, seperti halnya orang Arya, tampaknya mula-mula memiliki tipe agama tertentu sebagai jatah bersama. Ide fundamental agama ini adalah supremasi satu master bersama di langit dan bumi. Semua ini tetap sangat samar dan simpang-siur sampai abad 9 SM, tapi itu tetap berbenih sejak sangat awal dan terutama disebabkan oleh, seperti kubilang, karakter kehidupan nomaden yang mencetak tanda begitu dalam pada semua ras tanpa pandang bulu. Satu bukti tegasnya adalah kurang sukanya para nomaden secara umum terhadap gambar-gambar dalam lukisan atau pahatan. Sebuah bangsa yang memiliki penyajian-penyajian bergambar hampir pasti menjadi musyrik. Pelarangannya oleh para legislator Ibrani boleh dibilang dikenakan kepada orang-orang nomaden oleh hukum dasar eksistensi mereka. Kehidupan nomaden memustahilkan perhiasan-perhiasan yang diperlukan untuk pemujaan musyrik; panteon harus sama portabelnya dengan douar, dan kebiasaan Badui membatasinya pada beberapa terafim remeh dan sebuah tabut portabel yang melingkupi objek-objek sakral.
Yang jauh lebih sering absen pada orang Semit dibanding selera seni visual adalah mitologi, yang, sebagaimana seni lukis dan seni pahat, merupakan induk politeisme. Prinsip mitologi adalah menanamkan kehidupan ke dalam kata-kata; sedangkan bahasa-bahasa Semitik tidak cocok untuk personifikasi seperti ini. Sebuah ciri pada kaum-kaum yang menuturkan bahasa-bahasa Semitik adalah ketidaksuburan imajinasi maupun bahasa. Bagi orang Arya primitif, setiap kata sarat arti, jika aku boleh berkata begitu, dan mengandung mitos ampuh. Subjek frasa-frasa semisal “maut mematikannya”, “penyakit membawanya pergi”, “guntur menggemuruh”, “sedang hujan”, dll, di matanya adalah seorang makhluk yang dalam kenyataannya sedang melakukan perbuatan yang diekspresikan oleh kata kerja bersangkutan. Di mata orang Semit, sebaliknya, semua fakta yang sebabnya tidak diketahui memiliki satu sebab yang sama. Semua fenomena, terlebih fenomena meteorologi, yang begitu menarik bagi kaum-kaum primitif, dinisbatkan pada entitas yang sama. Berkenaan dengan kehidupan, nafas yang sama menjiwai semua makhluk. Guntur adalah suara Tuhan; kilat adalah cahaya-Nya; awan badai adalah selubung-Nya; hujan es adalah misil-misil murka-Nya. Hujan, dalam semua mitologi primitif ras Indo-Eropa, dilambangkan sebagai buah dari penyatuan langit dan bumi. Dalam Kitab Ayub, yaitu ekspresi sebuah teologi yang sangat kuno, Tuhan-lah yang membuka jendela-jendela langit, yang “membagi-bagi anak-anak sungai untuk pelimpahan air”, dan “melahirkan tetes-tetes embun”. Aurora, dalam mitologi-mitologi Arya, adalah objek banyak sekali mitos, di mana ia diberi peran personal dan menyandang banyak nama berbeda. Ia adalah anak perempuan Malam; ia dinikahi oleh Matahari; ia melahirkan Tithonus, atau Siang; ia mencintai Kephalos (kepala besar, Matahari); ia memiliki rival yaitu Procris (Embun); ia lari dari kejaran Matahari, dan hancur oleh pelukannya. Dalam Kitab Ayub, sebaliknya, Tuhan memerintahkan pagi dan menutup bintang-bintang, dan menetapkan batas masing-masing untuk cahaya dan kegelapan.
Dengan demikian, hampir semua akar bahasa-bahasa Arya mengandung embrio divinitas, sedangkan akar-akar Semitik kering, anorganik, dan agak tak mampu melahirkan mitologi. Ketika seseorang sepenuhnya menyadari kekuatan akar div, yang melambangkan kecerahan langit jernih, dia dapat dengan mudah memahami bagaimana dies, divum (sub dio), Deva, Zeus, Jupiter, Diespiter, Diauspiter berasal dari akar ini. Kata-kata Agni (ignis), Varouna (ουρανος), Ge atau De (Δημητηρ), juga mengandung benih individualitas-individualitas yang—semakin jauh terpisah dari arti naturalis primitif mereka—lama-lama dan setelah selang waktu berabad-abad jadi tidak lebih tokoh-tokoh untung-untungan belaka. Percuma mencoba menderivasikan teologi setaraf itu dari kata-kata paling esensial dalam bahasa-bahasa Semitik, semisal or (“cahaya”), samâ (“langit”), ars (“bumi”), nâr (“api”). Tak satupun dari nama dewa-dewa Semitik terkait dengan kata-kata tersebut. Akar-akar dalam rumpun bahasa ini adalah, jika boleh kubilang, realistik dan non-transparan; mereka tidak cocok untuk metafisika atau mitologi. Kesulitan untuk menjelaskan dalam bahasa Ibrani gagasan-gagasan filsafat paling sederhana di dalam Kitab Ayub dan Kitab Pengkhotbah adalah sesuatu yang agak mengherankan. Citraan fisik, yang dalam bahasa-bahasa Semitik masih nyaris dangkal, mengaburkan deduksi abstrak dan menghalangi apapun semisal latar halus dalam omongan.
Kemustahilan bahasa-bahasa Semitik untuk mengekspresikan konsepsi mitologis dan epik kaum-kaum Arya tak kurang mencoloknya. Orang tidak menyadari akan seperti apa Homer atau Hesiod jika diterjemahkan ke dalam Ibrani. Pasalnya, di kalangan orang Semit, yang betul-betul monoteistik bukanlah cuma ekspresi, tapi alur pikiran itu sendiri. Di bawah perlakuan Semit, mitologi-mitologi asing jadi ditransformasi ke dalam cerita-cerita historis tumpul. Euhemerisme merupakan sistem penafsiran mereka satu-satunya, sebagaimana kita baca dalam karya-karya Berosus, Sanchoniathon, dan semua penulis lain yang meriwayatkan detil-detil mengenai mitos-mitos Suriah dan Babilonia, dalam karya-karya para sejarawan dan poligraf Arab, dan dalam halaman-halaman pertama Kitab Kejadian sendiri. Sistem ganjil ini disebabkan oleh hukum-hukum susunan intelektual mereka yang sangat berurat akar. Sebab monoteisme mau tak mau bersifat euhemeris dalam penaksirannya terhadap agama-agama mitologis. Tak paham akan divinisasi primitif kekuatan-kekuatan alam, yang merupakan sumber semua mitologi, ia hanya punya satu cara untuk memaknai konstruksi-konstruksi besar kejeniusan kuno ini, yaitu memandang mereka sebagai sejarah yang begitu banyak dibumbui dan sebagai rangkaian begitu banyak manusia yang dipertuhankan.
Judul asli | : |
Monotheism, Absence of Mythology Monothéisme, Absence de Mythologie<i=1_nUVbiJttKc9JGp5Nfjdo67ENNCmsepv 360KB>Monotheism, Absence of Mythology<br/> Monothéisme, Absence de Mythologie (1887) |
Pengarang | : | Ernest Renan |
Penerbit | : | Relift Media, November 2023 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |