Untuk mengetahui makna inderawi dari unit kata dalam kasus tertentu, pancaindera kita harus memeriksa kasusnya, dan kita akan temukan bahwa ketunggalan bayangan berbeda dari ketunggalan emas; ketunggalan emas berbeda dari ketunggalan air; dan ketunggalan air berbeda dari ketunggalan jeruk.
Bahasa mengimplikasikan ketunggalan yang tidak alam taati dalam semua kasus
§1.—Eksistensi yang kita namai bayangan memiliki lebih banyak ketunggalan alami daripada eksistensi yang kita namakan emas.
Usai membagi semesta inderawi ke dalam rupa, bunyi, rasa, raba, dan bau dalam diskursus terakhirku, analisa menunjukkan bahwa bahasa mengimplikasikan sebuah ketunggalan yang tidak alam taati dalam semua kasus; sebagai contoh, kata “bayangan” mengimplikasikan sebuah satuan. Jika kita merujuk ke alam untuk mencari makna kata “bayangan”, kita menemukan sebuah rupa. Di sini bahasa mengimplikasikan sebuah satuan, dan alam menampilkan sebuah satuan. Tapi kata “emas” mengimplikasikan sebuah satuan juga; dan jika kita merujuk ke alam untuk mencari makna kata “emas”, kita menemukan sebuah rupa dan sebuah raba, dua eksistensi berbeda.
§2.—Ketunggalan eksistensi-eksistensi alami tidak boleh ditafsirkan berdasarkan nama mereka, tapi berdasarkan indera kita.
Masing-masing dari panca indera kita dikenal begitu khas, sehingga kehilangannya tidak bisa digantikan oleh yang lain. Bahwa tak ada indera kecuali penglihatan bisa memberitahuku tentang rupa, bahwa tak ada indera kecuali pendengaran bisa memberitahuku tentang bunyi, bahwa tak ada indera kecuali perabaan bisa memberitahuku tentang raba, dst, semua ini adalah kenyataan gamblang. Tetap saja, kegamblangan eksis hanya ketika kita menggunakan kata rupa, bunyi, raba, dst; sebab jika kita menyatakan tak ada indera kecuali penglihatan bisa mengungkapkan emas kepadamu, aku akan diajari bahwa perabaan bisa mengungkapkannya sebagaimana penglihatan. Akan tetapi, ketunggalan informasi eksis hanya dalam bahasa. Seorang manusia yang tak punya penglihatan, dan seorang lagi yang tak punya perabaan (jika kita dapat membayangkan manusia semacam itu), bisa saja memiliki makna pasti untuk kata “emas” tanpa memiliki pengetahuan inderawi bersama tentang emas. Bagi si buta, kata tersebut akan menamai sebuah raba saja; dan bagi yang satu lagi, sebuah rupa saja. Pengetahuan yang tampak mereka miliki bersama akan bersifat verbal dan bukan fisik.
§3.—Kita harus mensubordinasikan bahasa di bawah apa yang kita temukan di alam.
Kau mungkin bertanya apakah aku hendak menyatakan bahwa emas bukanlah sebuah satuan? Itu sebuah satuan, tapi ketunggalannya harus ditafsirkan berdasarkan apa yang diungkapkan oleh panca indera kita. Dalam semua penggunaan bahasa, mensubrodinasikannya di bawah alam adalah tujuan seluruh lekturku. Bahasa telah merampas dari alam sebuah superioritas yang begitu mendarah-daging dan tak disangka-sangka sampai-sampai kita terus-menerus berpaling pada kata-kata untuk menafsirkan eksistensi-eksistensi alami, ketimbang berpaling pada eksistensi-eksistensi alami untuk menafsirkan kata-kata.
§4.—Secara verbal, ketunggalan setiap eksistensi sama sederhananya, tapi ketunggalan alami bervariasi pada eksistensi-eksistensi berbeda.
Bahasa Inggris memuat beberapa ribu kata saja, sementara objek-objek yang kepadanya kita terapkan kata-kata tersebut adalah banyak sekali. Untuk menjalankan penerapan yang tak terhingga ini, setiap kata menerima banyak makna: salju adalah putih, kertas adalah putih, perak adalah putih, udara adalah putih, kaca adalah putih, kau adalah putih, dan lantai adalah putih; karenanya, setelah kau puas akan patutnya menyebut sebuah objek sebagai putih, aku akan tahu sedikit saja tampilannya, tanpa betul-betul melihat objeknya. Kau lihat, kata putih menamai karakteristik-karakteristik umum tertentu dan mengesampingkan individualitas-individualitas yang kurang nyata. Keumuman bahasa merupakan cacat tak terobati dalam strukturnya; sebab andaikata kita menciptakan nama terpisah untuk setiap rupa yang kini kita denominasikan putih, bahasa akan terlalu berjilid-jilid untuk berguna dan barangkali untuk memori kita. Pernyataan yang sama berlaku pada setiap kata. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna inderawi dari unit kata dalam kasus tertentu, pancaindera kita harus memeriksa kasusnya, dan kita akan temukan bahwa ketunggalan bayangan berbeda dari ketunggalan emas; ketunggalan emas berbeda dari ketunggalan air; dan ketunggalan air berbeda dari ketunggalan jeruk. Bayangkan, misalnya, empat orang yang begitu cacat sehingga masing-masing memiliki satu indera saja. Indera yang mereka miliki adalah melihat, atau mencicipi/merasa, atau meraba, atau mencium/membaui. Bagi salah satu dari mereka, kata jeruk akan menamai rupa; bagi satu lagi, rasa; bagi satu lagi, bau; dan bagi satu lagi, raba; empat eksistensi berbeda. Padahal, sebuah jeruk adalah satu eksistensi, sebagaimana sebuah bayangan; tapi kita harus menafsirkan ketunggalan dengan apa yang kita temukan pada jeruk, dan bukan menafsirkan apa yang kita temukan pada jeruk dengan kata satu. Salahtafsir semacam itu lazim, dan itu semakin mengacaukan penyelidikan spekulatif.
§5.—Dalam semua spekulasi kita, kita menaksir eksistensi-eksistensi ciptaan dengan ketunggalan nama mereka.
Uskup Berkeley mempersepsikan bahwa kata “kebulatan” menandakan rupa dan raba. Dia tidak tahu bahwa dualitas alam membatasi ketunggalan nama. Dia menyangka bahwa ketunggalan nama membuktikan dualitas alam sebagai falasis; dan bahwa entah rupa atau raba adalah kebulatan hakiki. Dia memutuskan memihak raba, dan karenanya dia menyatakan kebulatan sebagai tak kasat mata; tak kasat mata karena dia membatasi nama pada raba!
§6.—Karena alam tidak memperagakan ketunggalan yang kita temukan dalam bahasa, kita menisbatkan diskrepansi tersebut pada falasi alam, alih-alih mengetahui bahwa itu hanya ketetapan bahasa.
Ketika kita memandang kebulatan, kita mengetahui raba yang dengannya alam telah menyangkutpautkan rupa. Pengetahuan ini diperoleh dari pengalaman, sebab melihat tidak bisa memberitahu kita akan raba; tapi kita tidak usah memisteriuskan sebuah kebenaran yang didirikan di atas organisasi pancaindera kita dan dapat diterapkan pada semua informasi mereka. Santo Pierre menyatakan seorang filsuf yang kehilangan penglihatan karena terlalu asyik memandangi matahari mengira kegelapan yang dihasilkan timbul dari kepunahan matahari secara mendadak. Sarkasme cerdik ini seringkali dapat diterapkan pada kesimpulan-kesimpulan manusia, dan alhasil Berkeley tak pernah mengira bahwa ketidak-kasat-mataan dapat dipredikatkan pada kebulatan dengan membatasi nama pada raba; tapi dia menuduh penglihatan menghasilkan falasi.
§7.—Alih-alih mempergunakan pengalaman kita untuk mengajari kita bahwa ketunggalan bahasa adalah falasis, kita mempergunakannya untuk menunjukkan bahwa dualitas alam adalah falasis.
Rees’s Cyclopedia mencatat perolehan penglihatan secara tiba-tiba oleh seseorang yang sebelumnya selalu buta. “Ketika dia sudah belajar membedakan benda-benda berdasarkan tampilan mereka, dia terkejut bahwa tonjolan-tonjolan zahir sebuah gambar ternyata terasa rata saat disentuh.” Pengalaman orang ini dikemukakan oleh Cyclopedia untuk menunjukkan bahwa pancaindera adalah falasis, karenanya orang tersebut dibuat bertanya indera yang mana yang mengelabuinya. Padahal, tak satupun indera mengelabuinya. Tonjolan rupa dan tonjolan raba begitu lazim dipersangkutpautkan sampai-sampai kita menyangka akan ada raba ketika kita melihat rupa; padahal mereka fenomena-fenomena berbeda, dan dapat dipisahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh gambar. Jika kita berasumsi bahwa rupa dan raba selalu bersangkutpaut, kekeliruan terletak dalam tidak adanya pengalaman kita, bukan dalam pancaindera kita, bukan pula di alam. Seorang bisu tuli, ketika dia pertama kali melihat tonjolan rupa yang terpisah dari raba, entah dalam gambar atau cermin, dia akan sangat kecewa seperti kita; tapi dia akan segera mengetahui dualitas alam, dan merasa puas. Tapi kita memperkontraskan dualitas alam dengan ketunggalan kata tonjolan; dan alih-alih mempergunakan diskrepansi tersebut untuk menunjukkan bahwa ketunggalan bahasa adalah falasis, kita mempergunakannya untuk menunjukkan bahwa dualitas alam adalah falasis. Delusi ini luar biasa, yang karenanya kita jadi memuliakan bahasa di atas alam: menjadikan bahasa sebagai perawi alam, alih-alih menjadikan alam sebagai perawi bahasa.
§8.—Kita menjadikan bahasa sebagai perawi alam, alih-alih menjadikan alam sebagai perawi bahasa.
Dalam Gentleman’s Magazine Juli 1796, diterbitkan di London, seorang buta lain bersaksi bahwa bentuk tidaklah kasat mata. “Ketika dia pertama kali mendapatkan penglihatan, dia tidak bisa membedakan bentuk yang satu dari bentuk yang lain.” Kita siap mendengar dia mengumumkan bahwa dia tidak mengetahui nama warna-warna; tapi sebuah ketidaktahuan berbeda tampaknya diimplikasikan oleh ketidakmampuan untuk membedakan sebuah bulatan dari sebuah dataran melalui penglihatan. Kekagetan kita timbul lebih karena ketidakcurigaan akan falasi ketunggalan bahasa ketimbang karena ketidaktahuan praktis akan dualitas alam; sebuah ketidakcurigaan yang menyebabkan kita untuk percaya bahwa ketika seorang buta mengetahui bulatan dan dataran melalui raba, dia mengetahui satuan-satuan yang sama yang dapat dia lihat sesudah itu. Tapi aku mengajukan kutipan di atas untuk menunjukkan bahwa pengalaman orang buta dipergunakan bukan untuk membongkar falasi ketunggalan kata bentuk, tapi untuk meyakinkan alam atau pancaindera kita akan sebuah falasi dalam tidak memperagakan ketunggalan yang sama yang diimplikasikan oleh kata bentuk. Kita berasumsi bahasa adalah perawi alam; dan berhubung bahasa mengimplikasikan bahwa bentuk adalah sebuah satuan, kita membatasi kata pada raba, dan mengumumkan (bukan sebagai ketetapan konvensional bahasa, tapi sebagai falasi alam yang terdeteksi) bahwa gambar tidaklah kasat mata; tidak kasat mata karena kita membatasi nama pada raba.
Judul asli | : | A Treatise on Language: or, The Relation which Words Bear to Things. Lecture III.<i=1IZX9oe9oxW5Y-Gd4o7bS_HlWvoJMktPW 357KB>A Treatise on Language: or, The Relation which Words Bear to Things. Lecture III. (1836) |
Pengarang | : | Alexander Bryan Johnson |
Seri | : | Risalat Bahasa #3 |
Penerbit | : | Relift Media, November 2023 |
Genre | : | Sains |
Kategori | : | Nonfiksi, Lektur |