Para bangsawan ini biasa menyatakan yang tak ada, dan menyangkal yang ada. Mereka begitu terbiasa menggunakan fraseologi sebagai ganti berpikir, dan membaca sebagai ganti merenung, sampai-sampai otak mereka hanya memuat kata-kata, bukan ide-ide.
Perjanjian Baru mengandung—bahkan bagi mereka yang tak banyak menguraikan wahyunya—argumen dan apotegma yang sangat selaras dengan semangat abad 19. Moralitasnya adalah moralitas kita, semangat keagamaannya adalah semangat keagamaan kita, dan ia tidak menjengkelkan kita dengan pandangan-pandangan sains. Orang-orang yang tak sekadar melihat sepintas peristiwa-peristiwa yang direkam hari demi hari di halaman-halaman pers, dan yang dalam pemencilan dan kesendirian merenungkan ketiadaan rasa moral yang dipertontonkan di seluruh dunia, pasti merasa bahwa, meminjam ilustrasi Yesus Kristus, “garam sudah kehilangan rasanya”. Ranah-ranah peradaban telah menjadi tak bergaram, dan Kristen tidak berdaya dalam perkara ini.
Lebih penting menemukan penyebab ini daripada menemukan Kutub Utara, atau menetapkan standar proporsi tepat antara emas dan perak. Sudah pasti banyak orang berpikiran cakap telah melihat bahwa agama Kristen tak lagi mempertahankan pengaruh lamanya atas pikiran manusia, tapi, sebagai pendeta, satu-satunya solusi mereka adalah meningkatkan praktek formula-formula ini yang inefisiensinya mereka akui dan sesalkan. Jika garam sudah kehilangan rasanya, air asin yang dibuat darinya tidak akan mengawetkan daging sapi, tak peduli seberapa banyak garam digilaskan ke dalamnya. Jika pertemuan doa tak lagi manjur terhadap kebiasaan dan praktek umat manusia, penambahan jumlahnya tentu tidak ada manfaatnya. Garam sudah kehilangan rasanya dan tidak bisa mengawetkan daging sapi. Kesungguhan ministrasi Kristen diketahui luas sepanjang dasawarsa lalu; dan dasawarsa lalu mencolok bukan hanya akan skandal-skandalnya, tapi akan ketidakacuhan dunia terhadap ministrasi ini.
Di sini aku dapat menggambarkan kebusukan masyarakat, dan dengan sungguh-sungguh mendeskripsikan keadaan yang berbahaya dan mendemoralisasi. Aku dapat menunjukkan hubungan tegang dan tak bahagia antar jenis kelamin, ketidaksukaan para pria terhadap pernikahan, kejijikan para gadis terhadap keibuan. Aku dapat menyinggung karakter buruk sistem keuangan kita, dan cara bagaimana negara raksasa kita sedang dirantai dengan utang yang secara njlimet dinamai “sekuritas” dan penyalahgunaan otoritas secara keji dan curang dalam menerbitkan “sekuritas-sekuritas” ini. Aku dapat membicarakan panjang-lebar massa buruh bersenjata yang dianiaya dan disakiti. Aku dapat menyebutkan secara detil kerugian-kerugian yang didatangkan oleh sistem transportasi saat ini kepada agrikultur. Aku dapat menguraikan panjang-lebar perbudakan kepentingan manufaktur oleh politisi. Tapi aku tidak merasa perlu. Orang-orang yang punya keberanian untuk membaca apapun di luar novel, atau suratkabar harian, tidak perlu diyakinkan bahwa zaman sedang kacau.
Tapi mengapa? Karena garam sudah kehilangan rasanya.
Manusia-manusia masa kini tidak mempercayai Kristen, dan tidak mempercayai satupun pernyataan yang dibuat dalam kredo tersebut, bahkan dalam kredo Para Rasul, dan apalagi dalam kredo Nikea, atau dokumen tak kristen dan biadab itu, yakni kredo Athanasius. Bagi kita semua, “kebenaran Kristen” adalah kepalsuan bodoh; dan mayoritas kita memandang—dengan jijik dan sepantasnya marah—semangat cekcok remeh-temeh yang St. Athanasius peragakan ketika dia menyusunnya. Pikiran kita sudah diasah sampai tajam oleh hampir seribu tahun investigasi sungguhan dan saintifik. Kita begitu terbiasa dengan pemaparan sempurna fakta-fakta dan ide-ide yang sains mutakhir berikan sebagai jawaban untuk tuntutan kita, sampai-sampai kita menolak dengan jijik pengelakan di balik kata-kata St. Athanasius. Kita menolak dengan jijik kredo Athanasius. Kita tak mau menerimanya, karena itu adalah permainan kata yang menyimpangsiurkan, bukan menampakkan, kebenaran-kebenaran maha penting di balik frasa-frasanya. Tak ada orang, betapapun inteleknya, atau betapapun tak berbias niatnya, yang bisa memahami paradoks-paradoksnya.
Meski begitu, kredo Athanasius adalah satu-satunya pemaparan saintifik akidah yang umat Kristen mengaku peluk—diekpresikan secara dogmatis tentu saja dan dengan kebencian tertentu antara baris-barisnya terhadap mereka yang memegang ide-ide lain, tapi tetap, diekspresikan oleh orang yang memahami sains bahasa. St. Athanasius, ketika menyusunnya, tidak sadar bahwa dia sedang mencoba menyembunyikan kesimpangsiuran pemikiran dengan kejernihan sempurna ekspresi. Semangat paganisme masih tersebar ketika Athanasius adalah pemimpin umat Katolik Alexandria; dan lawan besar Arius ini tak bisa membersihkan pikirannya sama sekali dari impresi-impresi zaman Konstantin. Bagi orang-orang yang hidup di tengah kesimpangsiuran akibat kerancuan-kerancuan yang ke dalamnya paganisme ofisial telah jatuh, satu fakta manjur akan seorang Guru dan Penebus Ilahi begitu menyentuh, begitu menyenangkan, begitu menyembuhkan di antara semua impuls baik fitrah manusia, sampai-sampai paradoks-paradoks yang mengelilingi fakta tersebut tidak diperhatikan. Para konvert Kristen heran dengan kontroversi-kontroversi sengit antara Arius dan Eusebius di satu sisi, dan Athanasius, Eusthatius dari Antiokh, dan Paulus dari Konstantinopel di sisi lain. Konstantin adalah kaisar Kristen pertama, dan tak pernah bisa memahami alasan pertengkaran mereka. Dia menegur para kasuis itu dengan lemah-lembut; dia menulis kepada mereka dengan martabat penghukuman; dia membuang pemimpin kedua pihak secara bergiliran; tapi dia tak pernah tahu mengapa mereka berselisih. Fitrah etikanya merespon hangat moralitas yang diajarkan Kristus. Fitrah intelektualnya jomplang dengan metafisika yang dikembangkan oleh pernyataan-pernyataan tertentu berkenaan dengan asal-muasal dan fitrah sang Guru.
Kita, di zaman kita, telah mengurai simpul Gordian secara khas. Pertama para kakek-moyang kita beriman tanpa bertanya, dan pergi seperti domba ke dalam kawanan yang disiapkan oleh mereka yang bertanya. Lalu para ayah kita bertanya, dan kebingungan bukan main, mendapati diri mereka berada di sebuah labirin yang darinya tak ada kemungkinan jalan keluar. Mereka memutuskan, di bawah keadaan menyusahkan ini, untuk beriman tanpa menalar, atau dengan kata lain untuk menerima—tanpa diskusi—pernyataan-pernyataan berkenaan dengan agama mereka yang memiliki otoritas zaman kuno, tapi yang tidak bisa dimengerti. Para pemuda yang ingin memahami kebenaran-kebenaran Kristen dinasehati untuk membaca tulisan orang-orang aman, dan dibujuk untuk tidak membaca karya-karya yang Spinoza dan Berkeley tulis. Ini adalah lonceng kematian Kristen. Ini adalah penyisihan intelek dari dunia agama, dan buah-buahnya terlihat jelas pada generasi-generasi berikutnya. Orang-orang berjiwa lemah, berhati miskin, berakal cetek, tetap mengelilingi altar; orang-orang kuat, orisinil, kreatif, datang ke situ hanya ketika diminta datang, dan punya cara tersenyum tak mengenakkan dengan iba ramah kepada orang-orang yang mengaku Kristiani. Masyarakat menoleransi keserongan, dan lebih dari itu, sebab mereka mendengarkan dengan restu tak terucap setidaknya, ketika para ilmuwan mengisyaratkan secara luas bahwa, di antara Monoteisme Yahudi dan Trinitas Kristen, mungkin nyatanya tidak ada Tuhan. Mereka yang paling toleran terhadap kelemahan para pemikir keagamaan bersedia, dalam semangat murah hati, untuk mengakui bahwa di suatu tempat di ruang mungkin terdapat monad Intelejensia murni; tapi mereka pun tak mau melampaui ini.
Akan tetapi, monad Intelijensia murni belum melakukan apa yang dibutuhkan oleh umat manusia rapuh. Pendirian bahwa di suatu tempat di ruang terdapat sebuah faktor, sebuah kuasa matematis yang mengetahui segalanya, tidak akan menahan orang-orang jahat dari melakukan segala sesuatu yang dinafsui oleh hati mereka, bahkan dengan ongkos kesengsaraan bagi ribuan orang. Dengan menyimpangnya pendirian keagamaan, niscaya terjadi kematian moralitas publik yang bergantung sepenuhnya pada hal itu. Tak ada orang bernalar berani mengatakan hari ini ada moralitas publik. Orang-orang yang berpengakuan agama akan menyangkal, sampai wajah mereka hitam, bahwa pendirian keagamaan ataupun moralitas publik belum betul-betul menghilang, tapi para bangsawan ini biasa menyatakan yang tak ada, dan menyangkal yang ada. Mereka begitu terbiasa menggunakan fraseologi sebagai ganti berpikir, dan membaca sebagai ganti merenung, sampai-sampai otak mereka hanya memuat kata-kata, bukan ide-ide, dan mereka takkan pernah percaya bahwa Kristen sudah mati, selama sebuah jemaat tetap menggaji mereka untuk berkhotbah mengenai Kristus. Tapi keadaan mengerikan di seluruh dunia pasti meyakinkan orang-orang yang terbuka untuk diyakinkan, bahwa tak satupun orang bertindak menurut kredo keagamaan yang dia mengaku imani. Bukan kepada statistik kita akan menengok, tapi kepada etika/perilaku; dan kita tentu buta jika tidak melihat bahwa orang-orang sudah tak lagi beriman. Ada jurang absolut antara tindakan manusia dan pengakuan keagamaan mereka. Orang-orang paling agamis akan berkata, “Bisnis adalah bisnis, dan agama adalah agama,” jika kau tanya mereka bagaimana mereka bisa mengakurkan itu dengan hati nurani mereka untuk menggaji para gadis 50 sen per hari untuk kerja keras 15 jam. Itu soal “bisnis”, soal “pasokan dan permintaan”. Jika 50.000 gadis ingin dipekerjakan dalam membuat barang perabotan milik tuan terpandang, jauh lebih besarnya pasokan dibanding permintaan pasti menurunkan nilai kerja para gadis tersebut. Itu aksioma hukum ekonomi. Tapi bagaimana dengan “Kasihilah sesama manusia seperti kamu mengasihi dirimu sendiri”? Ah, itu lain hal! Itu sesuatu untuk upah Minggu; dan saat itu semua pasti bersatu dalam berharap ada suatu cara untuk meringankan nasib keras para gadis pekerja malang ini.
Garam sudah kehilangan rasanya, jelas karena semangat zaman menuntut kebenaran tanpa campuran kepalsuan. Maka, di manakah kepalsuan dalam kredo Athanasius, atau dalam akidah pengaku Kristen hari ini? Apakah Trinitas dalam Keesaan adalah palsu? Apakah tidak ada Roh Kudus? Ataukah Yesus hanya manusia? Bagi banyak orang terkesan bahwa menjadi seorang Unitarian, dan menerima Kristus hanya sebagai manusia yang dipilih oleh Tuhan untuk kerja besar dan diberi wahyu secara khusus, adalah solusi masalah. Tapi ini berarti melepaskan lebih banyak lagi dari apa yang kaum Unitarian—atau sekte manapun yang keberatan terhadap Trinitas dalam Keesaan—rela lepaskan hingga kini. Yaitu melepaskan kedua Perjanjian, yaitu menghapus perjamuan Tuhan, dan praktisnya membuang bukti apapun bahwa Tuhan yang kita sembah pernah merawat kira secara khusus. Sebab wahyu khusus seorang manusia sangat berbeda dari kelahiran inkarnat/jelmaan seorang Tuhan-Manusia. Siapa yang bisa membedakan antara derajat wahyu khusus Kristus yang berdakwah di usia 30 tahun, dan Mozart muda yang memainkan biola di usia 3 tahun? Wahyu khusus adalah hal yang mudah diklaim, dan mudah disangkal; dan sulit untuk menarik garis antara itu dan bakat khusus. Seperti pembedaan antara nalar dan insting, itu bergantung sepenuhnya pada penerapan. Tindakan yang sama yang dilakukan oleh seekor kucing dan seorang manusia merupakan insting pada si empus dan nalar pada Profesor, tuannya si empus. Jadi kekuatan musikal Mozart adalah bakat khusus, dan ajaran Kristus adalah wahyu khusus, karena yang satu adalah milik Mozart, dan yang lain milik Kristus.
Judul asli | : | Is There One God?<i=1uCBXUV55yr-C_v8ZL9PZ4NPHG5cSWjQC 358KB>Is There One God? (1889) |
Pengarang | : | Edward Rudolf Garczynski |
Penerbit | : | Relift Media, November 2023 |
Genre | : | Filsafat |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |