“Kapten Connor dari Amerika,” kata Chandro, “saat mesinmu yang kau sebut pesawat itu jatuh di tengah-tengah kaum kami, kami menyambutmu. Kami hanya memintamu tidak coba melarikan diri dan memberitahu dunia luar di mana dan bagaimana kami hidup.”
Tinggi di atas tebingnya di sebuah pegunungan tak terpetakan, Raja Chandro duduk mengadili seorang penjahat. Sang raja adalah orang dengan roman bangsawan, jangkung, bermata terang, berjanggut lebat. Tapi tak kurang kerennya adalah pemuda kurus yang berdiri dikawal ketat di depan singgasana. Para bangsawan istana menyimak dalam diam.
“Kapten Connor dari Amerika,” kata Chandro, “saat mesinmu yang kau sebut pesawat itu jatuh di tengah-tengah kaum kami, kami menyambutmu. Kami hanya memintamu tidak coba melarikan diri dan memberitahu dunia luar di mana dan bagaimana kami hidup.”
“Itu aturan yang sulit, Raja Chandro,” jawab kapten. “Hati setiap manusia tertuju pada negerinya sendiri.”
“Tapi kau sudah diberi perintah, dan kau berusaha membangkangnya,” tuduh raja. “Bukan sekali, bukan dua kali, tapi berkali-kali. Dan hukumannya, kali terakhir ini, adalah mati.”
Kapten Connor tersenyum. Dia tak terlihat takut. “Kematian sudah sering mendekatiku,” katanya. “Kami teman lama. Aku cuma minta dia datang tanpa rasa sakit dan dengan cepat. Perkenankan itu, Raja Chandro.”
Chandro mengelus janggut. Dia sendiri pria pemberani, dan dia mengagumi keberanian orang lain. “Baiklah, Kapten Connor. Aku akan coba membuat kematian tidak menyakitkan. Kau akan pilih cara kematianmu sendiri.”
Connor tersenyum lagi, dan memandang salah satu pengawalnya, lalu satu lagi. Mereka memberengut. Akankah dia, jangan-jangan, meminta untuk mati dalam pertempuran melawan mereka? Jika begitu, sebagian dari mereka bakal mati juga.
Tapi itu bukan pilihan si Amerika. Dia menunjuk tepi tebing, di mana sederet mesin kayu besar bercokol.
“Di sana itu adalah katapel-katapelmu,” katanya, “dilatih untuk melontarkan batu-batu besar jauh ke bawah, jika seorang musuh coba merebut benteng puncak tebingmu. Biarkan aku dilontarkan dari salah satunya menuju nasibku.”
Raja Chandro mengangguk. “Itu akan dituruti, dan dalam satu jam. Aku akan merindukan keberadaanmu, Kapten Connor, tapi titah raja harus ditegakkan. Apa keinginan terakhirmu yang lain?”
“Izinkan aku mendatangi rongsokan pesawatku,” kata kapten, dan raja berisyarat kepada para pengawalnya untuk membawanya ke sana.
Di rongsokan, Kapten Connor membongkar dan merabaraba bagian dalam pesawat remuk itu. Para pengawal memperhatikan saat dia menyeret sesuatu ke udara terbuka dan menyelempangnya ke tubuhnya, pinggangnya, dan pinggulnya. Benda itu pas di punggungnya, seperti ransel di atas keledai gunung. Lalu dia kembali kepada raja.
“Benda apa itu?” tanya Raja Chandro. “Kelihatannya seperti perbekalan. Apa kau mengira akan butuh perbekalan di alam berikutnya, Kapten Connor?”
Judul asli | : | Death by Catapult<i=1KAkgpCZAk1AJBOUSX57Pji-cfuLlY-Lu 284KB>Death by Catapult (1950) |
Pengarang | : | Anonim |
Penerbit | : | Relift Media, September 2023 |
Genre | : | Humor |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |