Tata negara independen, berlawanan dengan Imperium yang menyerap segalanya, merupakan karya bangsa Teuton pemberontak, pejuang penyair, pemikir, manusia merdeka. Itu kemenangan hebat, tapi juga kemenangan di mana kekalahan belum pernah diakui.
Pendirian Negara ideal yang kita kenal hari ini merupakan hasil dari dua pergumulan hebat yang berkecamuk selama dua belas abad pertama era kita. Pertama, sebagaimana sudah kita lihat, adalah perebutan kekuasaan antara para Caesar dan para Paus untuk Kekaisaran dunia di mana kadang Caesar, kadang Paus, berkuasa. Kedua adalah pergumulan antara “Universalisme” dan “Nasionalisme”, yakni antara di satu sisi ide Kekaisaran tak berbatas, entah di bawah Caesar atau Paus, dan di sisi lain semangat kebangsaan dalam batas-batas pasti, sebuah tekad keras kepala untuk merdeka dari kedua raja tersebut, yang berujung pada pengorganisasian Negara-negara independen dan kemenangan Teuton. Kenaikan Teuton berarti fajar sebuah budaya baru, bukan sebagaimana kita diminta mengingat Renaisans dalam artian menghidupkan kembali masa lalu yang mati, tapi sebuah kelahiran baru ke dalam kebebasan, kelahiran baru di mana belenggu pengekang dan pengaruh perata-nya Imperium Romanum (Imperium Roma) dan Civitas Dei (Kota Tuhan) dibuang—di mana akhirnya, setelah berabad-abad perbudakan, manusia bisa hidup, berpikir, bekerja, dan berusaha menurut impuls mereka, beriman menurut keyakinan yang ada pada mereka.
Dengan demikian tata negara independen, berlawanan dengan Imperium yang menyerap segalanya, merupakan karya bangsa Teuton pemberontak, pejuang penyair, pemikir, manusia merdeka. Itu kemenangan hebat, tapi juga kemenangan di mana kekalahan belum pernah diakui. Dari penjaranya di Vatikan, Paus terus menerbitkan Bulla dan Breve yang melempar tantangan terhadap dunia dan akal sehat; santo-santo baru dikanonisasi, dogma-dogma baru diproklamirkan oleh konsili-konsili oikumenis yang dipanggil dari semua wilayah dunia berpenghuni; dan ada orang-orang baik dan, dalam banyak hal, orang-orang bijak, yang menundukkan kepala dan gemetar. Tak seorangpun bisa mengatakan bahwa Kepausan, meski tercukur dari domini-domini duniawinya, bukan lagi sebuah Kekuasaan yang patut diperhitungkan; konsistensinya mendatangkan rasa hormat; tapi Civitas Dei adalah cerita masa lalu; itu tidak lebih dari sebuah mimpi di malam hari, yang darinya seorang pak tua letih bangun dan menemukan satu-satunya bekasnya dalam wujud tandus sebuah istana zaman pertengahan, dan pembuat topi wanita untuk sebuah upacara yang ketinggalan zaman. Sungguh sosok yang menyedihkan!
Sebuah dunia baru telah muncul. Abad ke-13 adalah titik balik. Pembangunannya belum selesai bahkan sampai sekarang. Tapi bangsa Teuton bekerja di setiap tempat, dan fondasi-fondasinya diletakkan dengan baik dan sungguh-sungguh. Di Italia, utara dan selatan, tanahnya dibanjiri oleh orang-orang ras Indo-Eropa—Goth, Lombard, Nordik, Celtik. Kepada merekalah berutang pembentukan kabupaten-kabupaten dan kota-kota yang masih tersisa sebagai saksi kerja keras mereka. Anak-cucu merekalah, sudah pasti bukan peranakan dari Sengkarut, yang menyusun “Renaisans”, dan ketika (gara-gara perseteruan internal dan perang-perang remeh, selain gara-gara percampuran yang terlalu sering dengan peranakan) elemen Teuton menjadi semakin lemah, kejayaan Italia ikut menyusut. Dunia beruntung, ras tersebut dipertahankan dalam kemurnian lebih tinggi di tempat lain.
Judul asli | : | The struggle between “Universalism” and “Nationalism”<i=1H3NfrwmxvWxaakRFI9bhtgVP3Dghcv9a 438KB>The struggle between “Universalism” and “Nationalism” (1911) |
Pengarang | : | Algernon Bertram Mitford |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2023 |
Genre | : | Filsafat |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |