Sebuah Rusia baru akan muncul yang pada waktunya akan memperbarui dan membangkitkan Rusia lama dan akan menunjukkan kepada Rusia lama jalan yang harus ia tempuh. Akan tetapi ini memerlukan sebuah prinsip baru dan sebuah perbelokan.
Geok-Tepe sudah direbut. Para Turkoman sudah dikalahkan, dan walaupun mereka belum cukup ditenangkan, kemenangan kita tidak dapat diragukan. Masyarakat dan pers bersorak girang. Tapi bukankah dulu masyarakat, dan sebagian juga pers, bersikap sangat acuh tak acuh terhadap urusan ini? Terutama setelah kegagalan Jenderal Lomakin dan di awal persiapan ofensif kedua. “Mengapa kita mesti ke sana? Apa arti Asia untuk kita? Begitu banyak uang sudah dikeluarkan, sedangkan kita mengalami kelaparan, difteri, kita tak punya sekolah, dll.” Ya, opini-opini semacam itu disampaikan; kita mendengarnya. Tidak semua orang beropini demikian—sama sekali tidak. Meski begitu, kita harus akui belakangan banyak orang mulai mengambil sikap memusuhi kebijakan agresif kita di Asia. Benar, kurangnya informasi terkait ekspedisi yang dilakukan merupakan faktor yang turut berkontribusi pada mood ini. Baru belakangan berita mulai menyelinap masuk ke Rusia dari pers luar negeri, sedangkan telegram-telegram Skobelev dicetak di seluruh Rusia ketika usaha itu praktisnya telah selesai. Meski demikian, kita hampir tidak bisa berpendapat masyarakat kita punya konsepsi yang jelas akan misi kita di Asia—apa secara spesifik arti Asia bagi kita sekarang dan di masa mendatang. Secara umum, seluruh Asia Rusia kita, yang meliputi Siberia, masih eksis bagi Rusia hanya dalam bentuk semacam lampiran yang kepadanya Rusia Eropa tak ingin menaruh perhatian apapun. “Kita adalah Eropa,” disiratkan. “Apa urusan kita di Asia!” Bahkan suara-suara sangat kasar berbunyi: “Oh, Asia Rusia kita ini! Kita bahkan tak mampu menegakkan ketertiban dan menetap dengan baik di Eropa, dan kini kita harus mencampuri Asia! Ah, Asia sungguh berlebihan untuk kita! Bagaimana kita bisa melepaskan diri darinya!” Bahkan di masa kita, opini-opini semacam itu disampaikan oleh orang-orang sok bijak—tentu saja karena kebijaksanaan hebat mereka.
Kemenangan Skobelev menggaung di seantero Asia sampai pelosok-pelosok terjauhnya: “Satu lagi kaum ortodoks galak dan angkuh tunduk di depan Tsar Putih!” Dan biarkan desas-desus ini menggema dan menggema ulang. Biarkan keyakinan akan ketakterkalahan Tsar Putih dan pedangnya tumbuh dan menyebar di antara jutaan kaum-kaum itu—ke perbatasan India dan di India sendiri. Pasca kegagalan Jenderal Lomakin di seluruh Asia, pasti sudah menyebar keraguan perihal ketakterkalahan pedang kita, dan prestise Rusia tak diragukan lagi terancam bahaya. Inilah mengapa kita tidak bisa berhenti di jalan ini. Kaum-kaum itu boleh saja memiliki khan dan emir; dalam imajinasi mereka, Inggris (yang kekuatannya mereka kagumi) boleh saja berdiri sebagai ancaman, tapi nama Tsar Putih harus membumbung di atas nama para khan dan emir, di atas nama Khalifah sendiri. Demikianlah keyakinan yang harus merata di Asia! Dan, dari tahun ke tahun, itu memang menyebar di sana. Dan kita butuh itu karena itu mempersiapkan mereka untuk masa depan.
Untuk apa? Masa depan apa? Apa perlunya merebut Asia di masa depan? Apa urusan kita di sana?
Ini diperlukan karena Rusia berada tidak hanya di Eropa tapi juga di Asia; karena orang Rusia tidak hanya orang Eropa tapi juga orang Asiatik. Terlebih, Asia mungkin menawarkan janji-janji lebih besar untuk kita daripada Eropa. Dalam takdir-takdir kita di masa depan, Asia mungkin saluran keluar kita.
Aku menduga akan ada kejengkelan saat membaca usulan reaksionerku ini. Bagiku, bagaimanapun, ini adalah aksioma. Ya, jika ada satu dari akar-akar utama yang harus dijadikan sehat, itu adalah persis opini kita tentang Asia. Kita harus membuang ketakutan membudak bahwa Eropa akan memanggil kita kaum barbar Asiatik, dan bahwa akan dikatakan kita lebih Asiatik ketimbang Eropais. Ketakutan ini, bahwa Eropa bakal menganggap kita Asiatik, telah menghantui kita selama hampir dua abad. Itu terutama membesar pada abad 19 sekarang ini, hampir mencapai titik panik, semacam ragu bercampur takut yang disebabkan oleh kata-kata “enigmatik” yaitu “logam” dan “iblis” di kalangan isteri pedagang Moskow. Ketakutan keliru kita ini, pandangan keliru tentang diri kita sebagai orang Eropa saja, dan bukan orang Asiatik—padahal kita masih tetap orang Asiatik—rasa malu ini dan opini salah ini telah mendatangkan ongkos besar buat kita dalam dua abad terakhir, dan harga yang harus kita bayar adalah hilangnya kemerdekaan spiritual kita, adalah kebijakan-kebijakan gagal kita di Eropa, dan terakhir adalah uang—hanya Tuhan yang tahu berapa banyak uang—yang kita belanjakan demi membuktikan kepada Eropa bahwa kita adalah orang Eropa dan bukan orang Asiatik.
Namun, getaran Pyotr yang mendorong kita ke Eropa, mulanya perlu dan bermanfaat, ternyata terlalu kuat, dan untuk ini kita tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Dan ada batasan pada upaya-upaya kita untuk membuat Eropa mengakui kita sebagai miliknya, sebagai orang Eropa, hanya sebagai orang Eropa, dan bukan orang Tartar! Terus-menerus dan tak henti-henti kita telah menjengkelkan Eropa, mencampuri masalahnya dan urusan remehnya. Kadang kita menakutinya dengan kekuatan, mengirim balatentara kita “untuk menyelamatkan raja-raja”, kadang kita tunduk di depan Eropa—yang semestinya tidak kita lakukan—meyakinkannya bahwa kita diciptakan hanya untuk tujuan melayaninya dan membahagiakannya. Pada 1812, usai mengusir Napoleon dari Rusia, kita tidak berdamai dengannya, seperti disarankan oleh beberapa orang Rusia berpikiran tajam, tapi bergerak masuk ke Eropa sebagai tembok kokoh dalam rangka membahagiakannya dan membebaskannya dari agresornya. Tentu saja, ini gambaran mengkilat: di satu sisi adalah si despot dan si agresor, sementara di sisi lain si pendamai dan si pembangkit. Tetap saja, di masa itu peruntungan politik kita tidak terkandung dalam gambaran tersebut, melainkan dalam fakta bahwa si agresor, untuk kali pertama sepanjang karirnya, ada dalam posisi di mana dia bakal sudah berdamai dengan kita—sebuah perdamaian tulus awet, mungkin selamanya. Dengan syarat kita tidak boleh menghalanginya di Eropa, dia bakal sudah memberi kita Timur, sehingga persoalan Timur kita saat ini—ancaman dan malapetaka masa kini dan masa depan kita—bakal sudah terselesaikan dulu sekali. Si agresor belakangan mengatakannya langsung, dan tentu dia tidak berbohong, karena dia tidak bisa berbuat lebih baik selain menjadi sekutu kita dengan syarat Timur mesti menjadi milik kita, dan Barat menjadi miliknya. Dengan begitu dia pasti bakal sudah menguasai bangsa-bangsa Eropa, sementara bangsa-bangsa Eropa, termasuk Inggris, kala itu masih terlalu lemah untuk menghentikan kita di Timur. Sehabis itu, Napoleon, atau dinastinya pasca kematiannya, barangkali bakal sudah jatuh, tapi Timur bakal tetap milik kita. (Dengan begitu kita pasti sudah punya akses ke laut, dan kita mungkin sudah bertemu Inggris di lautan.) Tapi kita mengorbankan semua ini demi sebuah pertunjukan kecil. Apa hasilnya? Semua bangsa-bangsa yang kita bebaskan ini, sebelum mereka bahkan membunuh Napoleon, mulai memandang kita dengan kedengkian sejelas-jelasnya dan kecurigaan sepahit-pahitnya. Di Kongres-kongres, mereka semua seketika bersatu menentang kita, sebagai sebuah tembok kokoh, menjambret segalanya untuk mereka sendiri. Dan mereka tak hanya tidak menyisakan apa-apa untuk kita, tapi mereka juga menuntut kewajiban-kewajiban tertentu dari kita—memang kewajiban-kewajiban ini sukarela, namun kemudian terbukti sangat mahal.
Belakangan, terlepas dari pelajaran ini, apa yang kita lakukan sepanjang tahun-tahun berikutnya di abad kita, hingga hari ini? Bukankah kita berkontribusi pada konsolidasi negara-negara bagian Jerman? Bukankah kita menguatkan mereka sedemikian rupa sehingga hari ini mereka barangkali lebih kuat dari kita? Benar, tidaklah berlebihan jika dikatakan kita telah berkontribusi pada pertumbuhan dan kekuatan mereka. Bukankah kita, sebagai jawaban untuk permohonan mereka, pergi menumpas pertikaian-pertikaian mereka? Bukankah kita melindungi bagian belakang mereka ketika malapetaka-malapetaka mengancam mereka? Dan sekarang, sebaliknya, bukankah mereka mengancam bagian belakang kita ketika kita dihadapkan dengan malapetaka atau bukankah mereka mengancam hadir di bagian belakang kita ketika kita terancam oleh bahaya-bahaya lain? Itu sampai pada titik di mana setiap orang di Eropa, setiap suku dan setiap bangsa, memendam dalam dada mereka sebuah perasaan negatif terhadap kita dulu sekali, cuma menunggu konflik pertama pecah. Inilah yang sudah kita raup di Eropa dengan melayaninya. Tidak ada yang lain selain kebenciannya! Kita sudah memainkan peran Repetilov, yang, berpacu mengejar peruntungan, “Dalam mahar tidak mendapat apa-apa, dalam pengabdian tidak mendapat promosi.”
Tapi mengapa benci terhadap kita? Mengapa mereka semua tidak bisa, untuk penghabisan kali, mulai mempercayai kita dan menjadi yakin akan ketidakbahayaan kita? Mengapa mereka tidak bisa percaya bahwa kita adalah sahabat dan pelayan cakap mereka, dan bahwa seluruh misi Eropa kita adalah untuk melayani Eropa dan kemakmurannya? (Bukankah demikian? Bukankah kita bertindak demikian sepanjang abad ini? Apakah kita melakukan atau meraih sesuatu untuk diri kita sendiri? Segalanya dibelanjakan untuk Eropa!) Tidak, mereka tidak bisa menaruh kepercayaan pada kita. Alasan utamanya adalah bahwa mereka sama sekali tidak bisa mengakui kita sebagai milik mereka.
Biar bagaimanapun mereka tidak akan percaya bahwa kita benar-benar bisa—di atas landasan yang setara dengan mereka—berpartisipasi dalam takdir-takdir peradaban mereka di masa depan. Mereka menganggap kita asing bagi peradaban mereka; mereka memandang kita sebagai orang asing dan penyemu. Mereka mengira kita pencuri yang mencuri pencerahan mereka dan yang menyamar dalam pakaian mereka. Bangsa Turki dan Bangsa-bangsa Semit lebih dekat secara spiritual dengan mereka daripada kita, bangsa Arya. Semua ini memiliki alasan yang sangat penting; kita membawa kepada umat manusia sebuah ide yang sama sekali berbeda daripada mereka—yakni nalar. Dan ini terlepas dari fakta bahwa “orang-orang Eropa Rusia” kita mengerahkan upaya untuk meyakinkan Eropa bahwa kita tidak punya ide apapun, dan bahwa kita tidak punya apapun di masa depan; bahwa Rusia tak mampu memiliki idenya sendiri, hanya mampu meniru; bahwa kita akan selalu meniru; dan bahwa kita bukan orang Asiatik, bukan orang barbar, tapi sama seperti mereka—orang Eropa.
Judul asli | : | Geok-Tepe. What is Asia to Us?<i=1zeXJ17TRKScB8lsNbGl8QqLzfchIoLp2 288KB>Geok-Tepe. What is Asia to Us? (1881) |
Pengarang | : | Fyodor Dostoyevsky |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2023 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |