Kaum Tartar Beijing, seperti halnya Negara-negara Besar Sekutu, berbaris di bawah delapan panji. Sejak awal dinasti mereka, mereka sudah dikenal oleh bangsa China sebagai Pachi—delapan panji—sejak mereka melintasi tembok besar dan menyerbu Beijing.
Sejak musim semi tahun ini mata dunia terpaku pada China sebagai medan tragedi raksasa. Bukan saja bahwa bangsa China dan Tartar, pangeran dan petani, memasuki layar di istana dan kemah, tapi banyak bangsa naik ke pentas dalam semua unjuk perang. Itu tontonan mentereng, berkumpulnya angkatan-angkatan laut besar dari ujung-ujung bumi di muara Pei Ho, penyerbuan benteng-benteng Taku untuk ketiga kalinya dalam 40 tahun, pendudukan Tien Tsin setelah empat minggu konflik tak putus-putus, dan merangseknya kekuatan gabungan di bawah panji delapan negara besar ke Peking.
Enam puluh tahun lalu bendera Britania tampil sendirian dalam kesatuan perang, dengan hasil berupa pembuatan traktat di Nanking, pembukaan lima pelabuhan bagi perdagangan, kediaman, dan usaha misionaris. Empat tahun lalu bendera Britania Raya dan Prancis bersatu dalam sebuah ekspedisi, yang membuka ibukota bagi kediaman duta asing, menambah banyak daftar pelabuhan terbuka, dan membukakan seluruh negeri bagi pengaruh ide-ide Barat. Lima tahun lalu China dihinakan dalam debu oleh tetangga yang sebelumnya dipandang rendah yang menjadi kuat karena mengadopsi ide-ide itu. Panji Matahari Terbit kini tampil bersama panji tujuh negara besar Barat, sekali lagi menggelegar di gerbang-gerbang Kekaisaran Kayangan.
Seisi dunia menanyakan makna pergerakan yang tak ada presedennya ini. Apa gerangan motif yang begitu kuat sampai memaksa negara-negara besar itu mengubur permusuhan politik mereka dan bersatu dalam satu ekspedisi? Jawabannya terletak dalam satu kata, Kemanusiaan. Kemanusiaan telah diperkosa, dan setiap bangsa bumi mengirim kontingen untuk membalaskan ketidakadilan atau bersimpati pada bangsa-bangsa yang mengirim. Seandainya Amerika, Austria, Britania, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Rusia mencari semboyan klasik untuk dituliskan pada panji masing-masing, mereka hampir tidak bisa menemukan ekspresi perasaan lebih pas yang menggiring mereka melebur beberapa tujuan dan kredo dalam satu maksud bersama selain baris masyhur Terence, “Homo sum et nihil humani a me alienum puto,”—“Aku adalah manusia, dan semua yang manusiawi tidaklah asing bagiku.”
Di dalam tembok-tembok Beijing terkurung pendeta-pendeta dari sebelas bangsa (bangsa-bangsa tersebut di atas, ditambah Belanda, Belgia, dan Spanyol) beserta umat mereka hingga mencapai seribu pria, wanita, dan anak-anak, dan diancam dengan horor pembantaian tak pandang bulu. Para pengepung bukanlah gerombolan teriak-teriak yang mengalahkan pemerintahan kerajaan, sebagaimana diterangkan oleh diplomasi China, melainkan sebuah bala tentara terorganisir di bawah titah pemerintah. Bukti dokumenter akan dikemukakan nanti, cukup memadai untuk membuktikan keterlibatan Pemerintah China (mestinya aku menyebut Manchu). Dengan memerangi semua orang yang berpegang pada prinsip-prinsip kemajuan manusia, ia telah menempatkan diri di luar batas peradaban, dan mengorbankan posisi terhormat yang tadinya ia duduki di antara bangsa-bangsa bumi.
Jika sejarah diobrak-abrik untuk mencari contoh yang paralel dengan pengepungan kawasan legasi, itu tidak akan ditemukan di Mafeking atau Ladysmith, sebab di sana Kristen diadu dengan Kristen. Mereka hanya harus meletakkan senjata untuk menjamin perlakuan terbaik. Guna menemukan sesuatu yang serupa dalam kebarbaran biadabnya, kau harus mundur ke Lucknow, di mana massa campur-aduk yang terkurung di Keresidenan bertahan dalam keadaan mengerikan saat menunggu pertolongan dari pasukan Highlanders-nya Havelock; mereka memutuskan untuk mati kelaparan daripada menyerah, sebab nasib pengepungan Cawnpore menanti mereka.
Untuk menambah poin pada contoh paralel ini, ingat bahwa para penguasa Tartar China adalah sepupu pertama Mogul Agung yang mengepalai Pemberontakan Sepoy.
Raja Delhi punya dalih bahwa dia sedang berusaha mendapatkan kembali singgasananya. Tapi apologi demikian tidak bisa disodorkan untuk Janda Permaisuri China. Dia telah mengadakan perang terhadap semua bangsa-bangsa dunia beradab tanpa ada provokasi, tapi sama sekali tak beralasan. Bersekutu dengan kekuatan-kekuatan kegelapan, dia mengadakan konspirasi iblis, dan mendukung kekejaman yang belum pernah dikenal dalam rangka membuat rakyatnya tetap jahil dan dalam rangka melindungi keluarganya dari kompetisi cahaya superior dan pengetahuan. Itu adalah satu lagi pameran konflik Ahriman dan Ormuz, perang abadi antara roh kegelapan dan Tuhan cahaya.
Untuk memahami sebab-sebab pergumulan kompleks ini, dan untuk memprediksikan hasilnya, mungkin ada gunanya memberi perhatian terpisah pada beberapa pihak dalam konflik ini, khususnya mereka yang muncul dari awan gelap yang berdiam di Timur Jauh—Kaisar dan pihak progresif; Janda Permaisuri dan kaum reaksioner; kaum Boxer dan rekan-rekan mereka. Tiga motif berpadu untuk menghasilkan pergolakan mengejutkan ini: kecemburuan politik, antagonisme keagamaan, dan persaingan industri. Yang pertama dicontohkan dalam tindakan kaum Tartar, yang, sebagai ras asing, selalu tampak curiga terhadap segala sesuatu yang cenderung menambah prestise orang asing di dalam teritori mereka. Yang kedua, jika takhayul jimat boleh dimuliakan dengan nama agama, dapat dilihat dalam asal-usul kabur propaganda Boxer ini. Yang ketiga ditunjukkan dalam kemajuan perkumpulan rahasia [Boxer] tersebut ketika—usai diubah menjadi partai politik—ia menghancurkan produk-produk permesinan luar negeri karena mengganggu metode lamban kaum jahil. Jika pembaca tak sabar ingin segera menyisir insiden-insiden pengepungan, kau boleh melewatkan beberapa bab berikut; tapi ada alasan untuk khawatir kau takkan merasakan situasi yang sama jelasnya.
Yang cukup aneh, kaum Tartar Beijing, seperti halnya Negara-negara Besar Sekutu, berbaris di bawah delapan panji. Sejak awal dinasti mereka, mereka sudah dikenal oleh bangsa China sebagai Pachi—delapan panji—sejak mereka melintasi tembok besar dan menyerbu Beijing 256 tahun silam; jumlah divisi kesukuan mereka juga bukan satu-satunya titik kemiripan yang patut diperhatikan. Mereka muncul pertama kali di depan gerbang-gerbang Beijing dengan pesan yang tidak berbeda dari delapan bangsa kita, yakni: “Selamatkan atau Balaskan.”
Judul asli | : | The Eight Banners of the Allies and the Eight of the Manchus<i=1rwS4o2KimnuqwzGplc6RJc8veSCoz4EI 414KB>The Eight Banners of the Allies and the Eight of the Manchus (1900) |
Pengarang | : | William Alexander Parsons Martin |
Seri | : | Pengepungan Beijing – China Melawan Dunia #1 |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2023 |
Genre | : | Perang |
Kategori | : | Nonfiksi, Memoir |