Harusnya aku sudah tahu apa dia. Tapi, berdasarkan sirkuit-sirkuit mesin dan Kota yang memberiku nyawa, aku tidak bakal bertindak berbeda seandainya aku tahu dan paham. Aku melihatnya berdiri di hutan dan aku menginginkannya.
Aku tidak sedang berdalih. Harusnya aku sudah tahu apa dia. Tapi, berdasarkan sirkuit-sirkuit mesin dan Kota yang memberiku nyawa, aku tidak bakal bertindak berbeda seandainya aku tahu dan paham. Aku melihatnya berdiri di hutan dan aku menginginkannya. Mencintainya, kalau kau mau sebut begitu. Aku tidak akan bicara tentang sepinya kehidupan seorang pengintai, tidak pula tentang pengkondisian cacat yang kuterima saat dilahirkan. Aku tahu sesuatu yang ditiadakan dari sebagian besar spesies kami. Sepenggal realitas dari masa sebelum Akhir. Aku merasakan beberapa penyesalan. Aku berburu untuknya. Sungguhan. Aku meninggalkan menara dan membunuh binatang-binatang kecil agar dia bisa makan. Aku membawakan mereka kepadanya dan mengamatinya melahap mereka setengah dimasak dan berdarah. Aku memandikannya dan membajuinya dan merawatnya dan hari-hari berlalu cepat tak terhitung. Namanya, terdengar aneh di telingaku, adalah Lillith. Aku mencintainya dan puas.
Si Pengintai terlalu manusia untuk pekerjaannya—si gadis terlalu manusia untuk hidup.Pertama kali aku melihatnya, dia sedang berdiri di hutan hujan di bawah menara pengintai dengan matahari tergelincir berkilauan di rambutnya. Dia mengenakan kulit hewan dan dagingnya terbakar kecokelatan karena matahari. Aku mengenalnya sebagai salah satu dari orang-orang tersesat dari balik perbukitan, di mana reruntuhan membara dekat laut. Dia berdiri compang-camping tak terawat, sosok memilukan di tanah yang basah-kuyup oleh hujan, mendongak pada puncak menara pengintai. Mungkin menunggu energi mematikan menghentikannya, tidak tahu bahwa melihatnya membuatku melalaikan amanatku. Mereka berbeda, orang-orang liar dari reruntuhan ini. Seberapa berbeda dari kami, aku tidak mengetahuinya ketika dia pertama kali muncul pada senja yang kelam. Tentu saja aku tahu harusnya kuhentikan dia, kuhancurkan dia, dan kemudian melapor kepada mesin agung di Kota. Itulah tugasku sebagai seorang pengintai. Aku malah membuka portal di bawah dan membawanya masuk dari hutan. Aku tak tahu kenapa. Melihatnya membuatku menyisihkan banyak hal. Pengkondisianku pasti cacat. Aku tak ingin menghancurkannya. Aku melihatnya dan menginginkannya untukku sendiri. Tentu saja menara berupaya menolaknya. Aku dipaksa mendeaktivasi layar alfa dan sirkuit supresor. Setelah itu pun, ketidaksenangan menara hampir jelas terlihat. Dia salah satu dari mereka yang disebut kaum pertengahan. Orang-orang barbar tak beruntung yang lahir sesudah Akhir dan sebelum awal Zaman Mesin. Orang-orang tersesat, setengah jadi dan kuno—pengingat rasial akan kaum sengit yang menyebabkan Akhir dan puing-puing udara menderum yang mengotori logam dan membuat alat-alat hitung berceklik ratapan. Ketika melihatku menuruni landaian ke arahnya, dia mengangkat senjata dan bersandar ke tembok menara. Aku berhenti dan membuat gestur bersahabat. Itu tidak dimengerti. Aku coba berkomunikasi dengannya, tapi saking kunonya dia, hanya kata-kata terucap yang akan berhasil. “Aku pengintai,” kataku. “Aku tahu.” Suaranya mengandung nuansa-nuansa yang tak kukenal. Nuansa marah, takut, hal-hal lain yang hanya bisa kubayangkan. “Apa kau ketakutan?” tanyaku. Mulut barbarnya terbuka, menampakkan gigi-gigi yang anehnya tajam dan liar. “Aku lapar,” katanya. Untuk sesaat aku tak mengerti. Kata itu berasal dari masa lalu yang sangat jauh. Dan kemudian aku mulai paham. Aku tersenyum padanya dan mengulurkan tanganku. “Ikut aku,” kataku. Dia ikut, dengan memegang tanganku, tapi kapak batunya tercengkeram kuat di tangan satu lagi. Kami berjalan menaiki landaian spiral ke lantai empat menara, di mana bank-bank energi berada dengan perangkai-perangkai yang dapat diraih. “Isi dirimu,” kataku. “Makanlah.” Aku terbata-bata dengan istilah tak familiar itu. Dia berdiri memandang hampa pada bank-bank menderum. Perangkai-perangkai itu tidak mencarinya. Tidak ada yang terjadi. Lalu terpikir olehku, dia lebih barbar dari yang kukira. Dia butuh makanan. Bahan bakar sungguhan, yang dicerna lewat mulut. Aku sedikit merinding, memahami kegunaan gigi-gigi tajam putih itu.
Aku tidak sedang berdalih. Harusnya aku sudah tahu apa dia. Tapi, berdasarkan sirkuit-sirkuit mesin dan Kota yang memberiku nyawa, aku tidak bakal bertindak berbeda seandainya aku tahu dan paham. Aku melihatnya berdiri di hutan dan aku menginginkannya. Mencintainya, kalau kau mau sebut begitu. Aku tidak akan bicara tentang sepinya kehidupan seorang pengintai, tidak pula tentang pengkondisian cacat yang kuterima saat dilahirkan. Aku tahu sesuatu yang ditiadakan dari sebagian besar spesies kami. Sepenggal realitas dari masa sebelum Akhir. Aku merasakan beberapa penyesalan. Aku berburu untuknya. Sungguhan. Aku meninggalkan menara dan membunuh binatang-binatang kecil agar dia bisa makan. Aku membawakan mereka kepadanya dan mengamatinya melahap mereka setengah dimasak dan berdarah. Aku memandikannya dan membajuinya dan merawatnya dan hari-hari berlalu cepat tak terhitung. Namanya, terdengar aneh di telingaku, adalah Lillith. Aku mencintainya dan puas.
Judul asli | : | Love Affair<i=1OERvF93dk-nZ1VvZ9BmNdRSGRHZK8geo 263KB>Love Affair (1953) |
Pengarang | : | Derfla Leppoc |
Penerbit | : | Relift Media, April 2023 |
Genre | : | Sci-Fi |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |