Suratkabar-suratkabar menguliahi, merecoki, dan mendikte; menyokong atau menghancurkan orang-orang, karakter, dan undang-undang. Barangkali bagus juga orang-orang yang mengarahkan suratkabar-suratkabar ini diberi pelajaran keras.
Di masa jaya Romawi, redaktur adalah orang yang memperkenalkan para gladiator saat mereka memasuki arena untuk bertarung dengan harimau.
Hari ini, redaktur mengarahkan suratkabar dan dia sering cenderung percaya bahwa misinya di bumi adalah untuk bertarung melawan harimau.
Redaktur golongan ini adalah orang barbar yang lupa bahwa Romawi hanyalah kenangan.
Redaktur sukses masa kini mengakui fakta bahwa suratkabar eksis untuk menghibur dan mendidik, untuk menegakkan kehormatan publik dan kebajikan privat sebanyak melaporkan penipuan/penggelapan dan membeberkan korupsi pejabat. Suratkabar itu kuat sepanjang ia sukses dalam merepresentasikan orang-orang yang membacanya; dalam mengikuti, ketimbang mendikte, garis kebijakan mereka; dan, entah ia eksis untuk masyarakat atau tidak, ia pasti bertahan hanya karena kesabaran dan itikad baik mereka. Oleh sebab itu, ada baiknya kita mempertimbangkan hubungan masyarakat umum dengan suratkabar; kemudian, hubungan redaktur dengan para tetangganya, publik; dan terakhir, keksatriaan para redaktur terhadap satu sama lain.
Suratkabar adalah bagian yang sangat besar dari kehidupan modern kita, jadi tidaklah ada artinya mempertanyakan apakah ia bisa dibuang. Orang-orang yang hidup mengikuti zaman tidak bersedia melewatkan komuni seharipun dengan berita dunia. Ketidakdatangan pos akan membuat seorang manusia aktif absen dari kota dalam keadaan sengsara. Pembeli suratkabar harian hari ini mendapatkan, seharga setengah yard kain belacu, sebuah artikel yang memerlukan modal jutaan untuk diproduksi—belum lagi orang jenius untuk dinafkahi.
Dan dia sering agak bersyukur.
Tapi keksatriaan publik terhadap suratkabar adalah ganjil. Publik terlihat percaya bahwa apapun yang bisa mereka pancing, gait, atau peras dari suratkabar adalah barang rongsokan lumayan dari belanja pokok kehidupan.
Baru-baru ini aku keheranan mendengar Pdt. Robert Collyer menyombong di sebuah acara makan malam Universitas Cornell bahwa dirinya sudah memperdaya suratkabar-suratkabar negeri ini. Dia bercerita bagaimana dirinya membuat skema dan mendapatkan uang untuk membangun gereja baru pasca kebakaran Chicago. Dia tidak menjelaskan bahwa anggota-anggota beradab dari rasnya berteriak-teriak meminta bangunan baru, tapi secara menyakitkan dia menjelaskan pemikirannya tentang keksatriaan terhadap pers.
“Dalam hal ini,” tuturnya, “aku selalu bangga dengan caraku ‘mengerjai suratkabar’. Aku berhasil menggalang uang, karena aku memancing para redaktur untuk bekerjasama denganku. Aku menulis sanjungan-sanjungan panjang tentang jemaat dan pastornya, dan membuatnya dicetak. Lalu aku tergesa-gesa berkeliling dengan daftar langganan dan satu eksemplar koran.”
Tentu saja semua ini dikatakan secara ramah, dimaksudkan untuk lucu, dan diucapkan dari mimbar publik dengan melupakan kemiringan mental yang akan terungkap jika dipikirkan sebentar. Itu meninggalkan pada benakku kesan yang sama dengan yang dulu terbentuk saat mendengar seorang pria terhormat menyombong telah mencuri sebuah payung dari rak hotel.
Kemudian malam itu, ketika pendeta terhormat menempati tempat duduk dekatku, aku bertanya senaif mungkin apakah dia sudah “mengerjai” para tukang patri, para arsitek, para tukang batu, para tukang kayu, dan para pengecor lonceng? Terhadap setiap pertanyaan ini dia menjawab “Tidak” dengan sesal.
Terlepas dari kepolosannya menyangkut tujuan pertanyaanku, aku ragu apakah pria ini bakal menyombong bahwa dia mendapatkan pakaiannya cuma-cuma, bahwa dia menggait dagingnya dari jagal, atau memancing sembakonya dari pemilik toko di sudut jalan.
Tapi, dia berbicara tentang redaktur dan mata pencahariannya dengan sikap merendahkan!
Secara teoritis, redaktur adalah daging dombanya publik. Orang-orang yang mengenalnya menyombongkan pengaruh mereka terhadapnya, dan atasnya. Mereka mendiktekan kebijakan untuknya—atau mengaku mendiktekan, yang mana sama saja tentunya. Orang-orang yang tak pernah bertemu dengannya mengklaim memilikinya. Orang-orang asing, yang diperkenalkan secara sambil lalu, menanyakan urusan pribadinya yang bakal langsung dibenci dalam profesi lain.
Pengalamanku sendiri akan mengilustrasikan maksudku. Di sebuah rumah pedesaan, dekat Philadelphia, aku diperkenalkan kepada seorang pria tua yang tampak terhormat. Sesudah makan malam, selagi kami duduk di beranda untuk menikmati rokok, orang asing ini menginterogasiku dengan sangat tak sopan. Ketika dia berhenti sejenak untuk bernafas, aku memberinya dosis obatnya sendiri. Kolom “paralel mematikan” berikut akan menceritakannya.
Judul asli | : | The Chivalry of the Press<i=1mG48uPBr3jWZB2HFfyJFqqtTmLQfNCeh 251KB>The Chivalry of the Press (1891) |
Pengarang | : | Julius Chambers |
Penerbit | : | Relift Media, Maret 2023 |
Genre | : | Jurnalisme |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |